Thursday, July 19, 2007


Politik untuk Kesejahteraan Bangsa

Oleh : Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Memanasnya suhu politik di Jakarta, sehubungan dengan akan diadakannya Pemilihan Kepada Daerah (pilkada) Gubernur DKI Jakarta, menjadi headline dari berbagai media massa Ibu Kota (seperti Republika, Jumat 6 Juli 2007). Tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah, apalagi pilkada secara langsung ini merupakan yang pertama kali terjadi di Ibu Kota DKI Jakarta dan sekaligus dijadikan sebagai barometer bagi kota-kota yang lainnya.

Jika pilkada di DKI Jakarta berlangsung dengan baik, jujur, transparan, tentu akan memberikan dampak politis yang positif terhadap pilkada-pilkada di daerah lainnya. Sebaliknya, apabila pilkada tersebut dilakukan dengan penuh kecurangan, saling jatuh menjatuhkan, fitnah memfitnah, dan disertai dengan politik uang, maka akan punya pengaruh yang negatif terhadap pelaksanaan pilkada-pilkada di tempat yang lainnya. Karena itu kita berharap suhu politik yang memanas sekarang ini haruslah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam sebuah proses demokrasi di negara kita. Mudah-mudahan tidak disertai dengan saling memfitnah, saling menjatuhkan, dan saling menggunting dalam lipatan.

Pilkada yang dilakukan secara langsung sesungguhnya hanyalah merupakan sebuah sarana untuk menghasilkan kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan masyarakat. Yaitu agar masyarakat memilih pemimpinnya, orang yang mereka ketahui kejujurannya, kredibilitasnya, serta visi dan misinya, sehingga diharapkan mereka kelak akan mendukung sekaligus mencintainya. Masyarakat pun akan menolak kepemimpinan yang tidak berorientasi pada kepentingan mereka; yang dzalim, berkhianat, korup, dan perilaku-perilaku buruk yang lainnya.

Dalam perspektif ajaran Islam, sesungguhnya kepala daerah atau pemimpin secara lebih luas, adalah sebagai khadimul ummah (pelayan dari masyarakat). Seorang presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, bahkan sampai dengan seorang RT, semuanya adalah pelayan-pelayan dari masyarakat, dan bukan orang-orang yang meminta dilayani.

Ketika Umar bin Abdul Azis Khalifah Islam yang sangat terkenal, yang sering disebut dengan Khulafaur Rasyidin yang kelima datang ke suatu daerah melakukan kunjungan inkognito, disambut oleh masyarakat dengan sambutan yang luar biasa, akan tetapi kemudian beliau turun dari kendaraannya dan meminta supaya hal ini tidak dilakukan. Semua persiapan yang berbau kemewahan ini harus ditinggalkan dan dikembalikan kepada kepentingan masyarakat. Semenjak dari itu, tidak pernah ada lagi seorang pemimpin yang jika melakukan kunjungan ke daerah disambut dengan sambutan yang luar biasa. Sambutan-sambutan yang mewah tersebut, sesungguhnya menunjukkan adanya jarak antara seorang pemimpin dengan rakyatnya.

Pemimpin yang tidak ada jarak dengan rakyatnya, adalah pemimpin yang mau datang ke suatu daerah dalam keadaan biasa (sederhana), tidak disambut dengan sambutan yang meriah, dan terlebih lagi tidak menghabiskan uang yang cukup banyak. Hal ini mudah-mudahan akan menjadi watak dari para pemimpin kita, sehingga tidak akan lagi terdengar, kalau seorang pemimpin dan pejabat datang ke suatu daerah, maka untuk keamanannya pun harus disediakan ratusan juta rupiah. Demikian pula untuk konsumsi dan lain-lainnya. Dan hal ini, tentu saja akan memberatkan.

Pemimpin yang dipilih langsung oleh masyarakat, diharapkan juga adalah pemimpin yang betul-betul memahami apa sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, bahwa kondisi masyarakat kita sekarang ini adalah kondisi masyarakat yang sangat berat menghadapi realitas kehidupan. Kita tahu, bahwa berbagai macam kebutuhan yang bersifat primer; sandang, pangan, maupun papan, banyak yang tidak terjangkau lagi oleh sebagaian besar masyarakat. Demikian pula dalam bidang pendidikan, masih banyak anak di daerah-daerah yang seharusnya masuk sekolah, tetapi tidak mampu melakukannya, karena ketiadaan biaya yang dimiliki keluarganya.

Kita berharap, pemimpin yang kelak akan terpilih, adalah pemimpin yang seluruh waktu dan tenaganya dicurahkan untuk mengurus rakyat dan masyarakat. Apalah artinya pilkada yang panas, yang mengajak partisipasi seluruh masyarakat, kalau tidak ada manfaat buat mereka?
Seluruh agenda politik bangsa sekarang ini harus diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan perorangan atau kelompok yang sifatnya sesaat dan temporer. Insya Allah jika demikian, maka keberkahan hidup akan dilimpahkan-Nya kepada kita semua. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

No comments:

A r s i p