Tuesday, July 3, 2007

Kalau Bisa Dipersulit, Kenapa Dipermudah?

Oleh Khairina

Perjuangan mendapat keadilan rupanya tak selalu mudah bagi rakyat kecil seperti Ny Hari (58). Niat untuk membuat sertifikat hak milik bagi tanah seluas 1.415 meter persegi miliknya di Ciawi, Bogor, malah membawa petaka. Status tanah yang awalnya hak guna bangunan itu kini malah berubah menjadi hak guna pakai.

"Katanya tanah di Puncak tidak boleh dijadikan hak milik. Kalau begitu, kenapa status tanah saya malah diturunkan menjadi hak pakai?" keluh Ny Hari. Dia telah mengeluarkan uang lebih dari Rp 25 juta untuk mengurus surat-surat yang dibutuhkan.

Bagi Ny Hari, aturan itu dirasa tak adil. Soalnya, tepat di sebelah tanah Ny Hari berdiri rumah milik saudara seorang pejabat tinggi Ibu Kota. Selang dua rumah dari tanah milik Ny Hari, terdapat tanah yang juga dimiliki "orang penting". Anehnya, kedua tanah itu berstatus hak milik.

"Apakah aturan itu berlaku hanya bagi rakyat kecil saja?" gugat Ny Hari.

Ny Hari bukan satu-satunya warga di Bumi Indonesia ini yang dirugikan soal tanah. Trisno, kepala desa di sebuah kawasan di Riau, bahkan berencana pergi ke Jakarta untuk mempertanyakan nasib tanah yang selama ini dikelola warga. Tanah yang selama ini menghidupi warga desa itu tiba-tiba saja diakui sebagai milik sebuah perusahaan besar.

"Padahal itu tadinya HPH yang diberikan kepada pengusaha. Tetapi, perusahaan itu tidak melaksanakan kewajibannya. Dia hanya mengambil kayu di hutan, namun tak melakukan penanaman kembali," katanya.

Kasus-kasus tanah di Indonesia memang pelik, rumit, dan sering kali merugikan rakyat kecil. Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, pada tahun 2006 terdapat 2.865 kasus sengketa tanah skala besar yang belum terselesaikan. Kasus itu menghambat penyelesaian pendaftaran dan pemberian hak atas tanah.

Selain itu, dari 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang terdaftar dan diberikan hak atas tanah. Dalam sebuah kesempatan, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyebutkan, separuh lebih kasus yang masuk ke Mahkamah Agung adalah perkara tanah. Akar permasalahannya, sebagian besar karena kacaunya administrasi pertanahan.

Kekacauan administrasi

Pengamat masalah agraria, Agustinus Riyanto, mengatakan, sistem pendaftaran tanah di Indonesia bahkan belum tercatat di peta. Pemerintah belum memiliki kemampuan untuk melakukan pencatatan administrasi dengan rapi. Di sisi lain, kedisiplinan masyarakat untuk menaati aturan juga semakin rendah.

"Dulu orang patuh pada patok tanah. Tidak ada yang berani memindahkannya. Tetapi sekarang, orang semakin tidak disiplin," ujar Riyanto, yang pernah menjabat Kepala BPN.

Kekacauan administrasi tanah sebenarnya telah dimulai sejak proses awal pembuatan sertifikat. Untuk membuat surat rekomendasi hak atas tanah negara yang bisa didapat di kelurahan atau kecamatan, misalnya, masyarakat harus membayar sejumlah uang.

Sriadi (40-an) mengaku pernah dipersulit saat harus mengurus surat rekomendasi hak atas tanah negara di kecamatan. Dia diminta membayar Rp 800.000 oleh pegawai kecamatan sebagai biaya administrasi.

"Saya menolak membayar dan akhirnya mengadukan masalah ini kepada camat. Namun, menurut camat, pungutan semacam itu hal yang biasa," katanya.

Dari kantor kecamatan, Sriadi yang memilih mengurus sendiri sertifikat tanahnya ini lalu mengikuti semua prosedur yang berlaku. Dia harus membayar biaya administrasi dan biaya untuk pengukuran tanah. Lalu, setelah didaftarkan dan membayar bea perolehan hak atas tanah, dia berhak mendapat sertifikat. Proses menunggu ini juga memakan waktu berbulan-bulan.

"Agar cepat, saya ditawari membayar beberapa juta. Tetapi saya tidak mau," katanya.

Seorang lelaki yang duduk di sebelah Sriadi mengaku membayar Rp 8 juta kepada petugas BPN agar sertifikat tanahnya cepat selesai. Sebagian warga yang malas mengurus sendiri akhirnya menggunakan jasa notaris, yang kebanyakan juga memberi jasa pengurusan sertifikat. Biayanya tinggi, mencapai puluhan juta rupiah, namun tidak jarang yang gagal, seperti kasus Ny Hari.

"Kebanyakan orang tidak berani dan tidak mengerti cara pengurusan sertifikat. Selain itu, banyak orang yang takut sertifikatnya tidak selesai jika tidak membayar lebih," katanya.

Praktik seperti ini tidak akan ada jika pemerintah menerapkan aturan tegas dan memberikan informasi yang jelas. Dalam situs www.bpn.go.id memang dicantumkan layanan pertanahan, salah satunya pemberian hak tanah pertama kali, namun tidak dijelaskan dengan rinci prosedur yang harus ditempuh.

Situs itu juga tidak memuat nomor telepon hotline yang mudah dihubungi. Bahkan, nomor telepon kantor BPN pusat juga tidak tercantum dalam situs itu. Nomor telepon itu baru didapat dari kantor penerangan dan tidak dapat dihubungi masyarakat.

"Memang kami tidak memiliki operator. Jadi harus tahu nomor extention yang dituju baru bisa menelepon ke sini," kata seorang pegawai BPN.

Sistem administrasi yang karut-marut dan masih berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 memperuwet status kepemilikan tanah. Dengan UU tersebut, tidak hanya sertifikat yang diakui sebagai bukti kepemilikan tanah, girik juga masih diakui keabsahannya.

Peradilan agraria, kata Riyanto, belum bisa memenuhi keinginan masyarakat. Hakim yang menangani kasus-kasus tanah sering kali tidak menguasai hukum pertanahan. Beberapa hakim menguasai sedikit masalah agraria dan dalam beberapa hal, kasus pertanahan bahkan bisa "direkayasa". Lalu, kapan benang kusut masalah agraria ini bisa diluruskan?

No comments:

A r s i p