Tuesday, July 31, 2007

Keadilan Sosial, seperti Apa?


Tata Mustasya

Banyak orang merindukan "keadilan sosial" dan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Ada kesepakatan tentang tujuan, yaitu keyakinan bahwa keadilan sosial harus mengoreksi kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Namun, seperti apa bentuk keadilan sosial itu? Bagaimana mewujudkannya?

Dibandingkan empat sila lain dalam Pancasila, tafsir atas sila kelima, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"—yang terkait dengan cita-cita perekonomian Indonesia—merupakan yang terumit.

Pertama, terwujudnya keadilan sosial—dalam dekade terakhir—tidak dalam kontrol negara. Ada konsumen, sektor privat, dan—dalam dunia yang menurut Thomas Friedman kian "datar"—dunia internasional.

Kedua, sesuatu yang secara kasatmata (visible) dan jangka pendek (short term) bersifat mulia kerap merugikan warga. Kebijakan populis sering menjelma menjadi alat buruk untuk mencapai tujuan baik. Contohnya, ekonomi terpimpin di negara-negara komunis yang dijalankan untuk pemerataan dan keadilan. Hasilnya mengecewakan: mismanajemen karena pemerintah tidak mampu mengoordinasi ribuan barang dan jasa, korupsi, dan lenyapnya insentif individu untuk menggerakkan roda perekonomian.

Masalah itu membuat pernyataan Presiden Yudhoyono dalam peringatan Hari Koperasi Nasional Ke-60 beberapa waktu lalu, perlu penjelasan lebih jauh dan implementasi nyata. Menurut Yudhoyono, ekonomi yang dibangun di Indonesia adalah ekonomi berkeadilan sosial, bukan ekonomi kapitalisme, komunisme, dan neoliberalisme.

Keadilan ekonomi

Berbicara tentang ekonomi berkeadilan sosial tak berarti tanpa kemampuan memformulasikan kebijakan yang layak dijalankan. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah keadilan ekonomi dalam satu generasi dengan mengoreksi output pasar, sebuah bentuk keadilan dalam "hasil". Di sini, kebijakan bisa mengintervensi pasar melalui keberpihakan: terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor pertanian, atau mengalokasikan anggaran lebih besar bagi daerah yang relatif tertinggal. Bentuk lain adalah kebijakan sosial (social policy), terutama untuk mereka yang tersingkir dalam perekonomian.

Ada dua masalah berpotensi timbul. Pertama, terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang merupakan penyokong utama perbaikan kesejahteraan. Berbagai literatur mencatat, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kesejahteraan hingga ratusan persen. Sementara berbagai aturan pro-yang lemah, seperti kebijakan proburuh, berperan lebih rendah, memperbaiki kesejahteraan hingga 20 persen.

Ekonomi berkeadilan sosial— yang bertujuan memperbaiki kesejahteraan—memerlukan pertumbuhan ekonomi sebagai syarat wajib. Tantangan bagi pencapaian ekonomi berkeadilan sosial adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keadilan dan efisiensi ekonomi, termasuk agar program pro-poor tidak menghancurkan insentif bagi individu dalam perekonomian.

Masalah selanjutnya, potensi kegagalan pemerintah (government failure). Target ekonomi berkeadilan sosial, secara teoretis, memerlukan peran pemerintah lebih luas. Dalam perspektif kaum libertarian, pasar—bukan pemerintah—yang terbukti berhasil menjalankan fungsi "koordinasi perekonomian". Dalam konteks Indonesia, budaya korupsi bisa mengubah perluasan pemerintah menjadi perluasan ruang korupsi, seperti berlangsung di banyak BUMN.

Bentuk kedua, keadilan sosial antargenerasi, di mana seharusnya tak ada pewarisan kemiskinan. Yang diperlukan dalam konteks ini adalah keadilan dalam "kesempatan". Untuk itu, pemerintah harus menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara merata, terutama bagi daerah tertinggal dan Indonesia bagian timur.

Peran pemerintah berkorelasi dengan keadilan antargenerasi. Tulisan Alister Bull di Washington Post beberapa bulan lalu mengutip studi ekonom Tom Hertz dari American University, "Understanding Mobility in America" menyatakan, anak terlahir dari keluarga miskin di AS hanya memiliki peluang 1 persen untuk menjadi kaya saat dewasa. Anak dari keluarga kaya berpeluang 22 persen. Studi ini menyebutkan, AS memiliki mobilitas antargenerasi terburuk di antara negara-negara maju. Jauh lebih buruk daripada negara-negara Eropa, seperti Denmark, yang pemerintahnya berperan lebih luas.

Langkah kunci

Ekonomi berkeadilan sosial adalah sebuah amanat dan harapan yang relevan. Untuk itu, pertama, kita harus mampu menerjemahkan konsep ini ke bentuk rinci. Juga, menyelaraskannya dengan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Untuk implementasi konsep yang telah disusun, kita memerlukan pemerintahan yang efektif dan korupsi yang minim. Dan itu belum kita miliki.

Tata Mustasya Analis Kebijakan Publik dan Ekonomi-Politik

No comments:

A r s i p