Kita tahu di Ambon ada sisa gerakan Republik Maluku Selatan yang mendukung separatisme. Kita tahu secara sembunyi-sembunyi mereka mengibarkan bendera.
Pengibaran bendera RMS mereka lakukan sembunyi-sembunyi pada peringatan ulang tahun gerakan itu.
Bahwa mereka juga berani tampil di depan Presiden Republik Indonesia dengan berkedok menari tarian perdamaian cakalele dan menyebarkan pamflet mendukung RMS, hal itu sungguh tidak kita duga. Pemudapemuda RMS menari sambil membawa bambu dan pedang kayu di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang menghadiri Hari Keluarga Nasional di Ambon. Bisa kita bayangkan ancaman bahaya yang ada di hadapan Presiden dan rombongannya.
Masuk akal, pertanyaan pertama yang menggugat, bagaimana mungkin mereka bisa sampai ke depan Presiden. Mau tidak mau, pertanggungjawaban diminta dari pihak keamanan, polisi dan TNI. Seperti dijelaskan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto dan Kepala Polri Jenderal Sutanto, pengusutan sedang dilakukan.
Pertanyaan juga timbul, kenapa pendukung RMS begitu berani bahkan nekat? Apakah mereka mengira, karena kini demokrasi, kebebasan semacam itu juga ditenggang. Perlu ditegaskan dan dijelaskan dengan cara yang jelas dan efektif bahwa gerakan separatisme tetap tidak memperoleh tempat yang legal di Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Kebangsaan, dan Berbhinneka Tunggal Ika. Yang bisa dan sedang dilaksanakan adalah desentralisasi lewat otonomi.
Apakah proses desentralisasi untuk mewujudkan otonomi itu ikut memberi peluang yang sengaja disalahgunakan oleh gerakan-gerakan separatis? Insiden Tari Cakalele di Ambon karena itu juga mengangkat sisa-sisa gerakan serta pemikiran separatis yang kiranya tidak hanya berada di Ambon. Memang analisis dan sikap tak perlu eksesif, tetapi refleksi ulang bermanfaat untuk kita lakukan. Apalagi jika masalahnya juga kita kaitkan dengan semacam proses "pencairan masyarakat" yang mulai dirasakan serta diamati oleh banyak warga dan pengamat. Hal itu di antaranya diekspresikan oleh munculnya pertanyaan perihal seberapa jauh sendi dan sikap dasar seperti Persatuan, Kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal Ika tetap hadir secara aktual dan relevan. Dalam konteks transisi reformasi yang disertai pembelajaran demokrasi dan pelaksanaan otonomi, masuk akal berbagai dinamika sikap, pemikiran, dan kecenderungan muncul. Diperlukan sikap cerdas, kritis, dan konstruktif.
Kita ulangi lagi, dalam konteks perkembangan dan kecenderungan itu, sangat menentukan keberhasilan pemerintah dan kita semua memperbaiki perikehidupan rakyat banyak dalam bidang sosial-ekonomi. Kekurangan, kemiskinan, dan pengangguran merupakan tanah subur sekaligus pupuk untuk meningkatnya berbagai kecenderungan tak sehat serta peka di atas. Kita maklum, menyelenggarakan pemerintahan dalam masa transisi dan globalisasi lebih sulit dan muskil. Sebaliknya, justru karena kondisi dan beragam persoalan itu, bekerjanya pemerintah dan pemerintahan yang berwibawa dan efektif amat sangat diperlukan.
10 Tahun Hongkong bersama China
Sepuluh tahun untuk perjalanan satu masyarakat mungkin belum terlalu panjang. Tetapi banyaklah yang dapat diceritakan mengenai Hongkong, bekas koloni Inggris.
Minggu kemarin, satu dekade kembalinya Hongkong ke pangkuan China diperingati dengan upacara yang dihadiri Presiden China Hu Jintao. Saat upacara pengibaran bendera, upaya pengunjuk rasa yang bermaksud bergabung sambil menyerukan "Kekuasaan bagi Rakyat" dan mencoba membakar boneka yang menggambarkan pemimpin China yang represif telah dihalangi polisi.
Kejadian itu menggambarkan, meski Hongkong tetap menjadi salah satu masyarakat yang paling maju dan paling makmur di Asia, potensi ketegangan masih ada. Beijing masih belum memberikan gambaran, kapan demokrasi penuh akan diizinkan.
Realitasnya, warga Hongkong hingga sekarang tidak bisa secara langsung memilih pemimpinnya dan juga wakil-wakil mereka. Tsang sendiri dipilih oleh komite pemilihan beranggotakan 800 orang yang didominasi loyalis Beijing. Sementara itu, lembaga perwakilan yang beranggotakan 60 orang hanya separuhnya yang dipilih dan separuhnya lagi diangkat oleh profesional dan kelompok kepentingan khusus.
Pemerintah Beijing sendiri telah berjanji, suatu saat nanti Hongkong akan bisa menerapkan demokrasi secara penuh, tetapi tidak menyebut kapan persisnya. Sekadar catatan, semenjak Hongkong kembali ke China, wilayah ini diperintah dengan formula "satu negara, dua sistem". Hal ini memungkinkan teritori ini terus menerapkan ekonomi kapitalis, sistem hukum bergaya Inggris, pers bebas, dan kebebasan sipil.
Dalam banyak hal Beijing memang menghormati janjinya untuk memberi Hongkong otonomi besar, tetapi pengamat menyebut media di sana banyak menerapkan sensor diri dan pejabat China diam-diam ikut campur dalam urusan Hongkong.
Dalam hal ekonomi tampak ada fakta menarik. Di satu sisi ada persaingan sengit, di sisi lain ada upaya untuk saling mendukung. Turis dari daratan berbondong-bondong berwisata ke Hongkong, sementara banyak perusahaan Hongkong yang berinvestasi di wilayah delta Sungai Mutiara.
Perkembangan berikut masih akan berwarna dinamis, karena dalam hal pasar saham, Hongkong juga disaingi Shanghai, yang pelabuhannya juga berhasil melewati Hongkong sebagai bandar kedua paling sibuk di dunia setelah Singapura. Mungkin Hongkong perlu mengerahkan daya kreatif dan inovatifnya untuk bisa terus bertahan di tengah gegap gempitanya pertumbuhan di tanah induknya.
No comments:
Post a Comment