Tuesday, July 3, 2007

Dipermainkan Calo

Oleh Jannes Eudes Wawa

Sejak awal tahun 2002, PT Jasa Marga mulai membangun proyek Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road) yang menghubungkan ruas Pondok Indah-Ulujami dan Taman Mini-Cikunir sejauh 13 kilometer. Akan tetapi, hingga awal Juli 2007, pembangunan proyek itu belum tuntas karena terkendala pembebasan tanah di kawasan Cikunir.

Kasus seperti yang terjadi di Cikunir sudah berkali-kali terjadi, tetapi belum tertangani dengan tuntas. Berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah juga sepertinya tidak mampu menolong kelancaran proses pembebasan lahan bagi investasi pemerintah dan swasta.

Direktur Utama PT Jasa Marga Frans Sunito mengatakan, sedikitnya ada tiga masalah pokok yang dihadapi dalam pembebasan tanah. Pertama, adanya penyamaan antara pembebasan tanah untuk pembangunan fasilitas umum (seperti jalan tol) dan untuk bisnis murni (antara lain pusat perbelanjaan).

Padahal, pembangunan fasilitas umum merupakan tanggung jawab pemerintah. Mengingat keterbatasan biaya, pemerintah meminta bantuan swasta untuk mendanai proyek itu. Konsekuensinya adalah pembebasan lahan untuk proyek fasilitas umum harus dibedakan dengan keperluan bisnis murni.

Kedua, adanya perlakuan sama terhadap proyek untuk kepentingan umum dan bisnis murni membuat proses pembebasan tanah mengutamakan musyawarah. Proses musyawarah itulah memberi ruang bagi para calo (spekulan) untuk memengaruhi pemilik tanah. Harga tanah pun langsung meroket tajam sebab calo pun ingin meraih keuntungan besar dari transaksi tanah tersebut.

Lihat saja pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol ruas Hankam-Cikunir (Jakarta). Harga tanah setempat di pasar berkisar Rp 350.000-Rp 500.000 per meter persegi. Oleh PT Jasa Marga, ganti kerugian dihargai Rp 900.000-Rp 1,1 juta per meter persegi, tetapi sebagian pemilik tanah menolak dan menuntut nilai Rp 1,35 juta per meter persegi.

Lebih parah lagi di Jawa Timur. Untuk pembangunan jalan tol ruas Juanda-Waru, harga tanah di lokasi tersebut sekitar Rp 800.000 per meter persegi, tetapi pemiliknya menuntut ganti kerugian Rp 10 juta per meter persegi.

"Penggelembungan harga tanah ini karena permainan spekulan yang ingin menikmati keuntungan yang besar. Ini yang menjadi pemicu utama yang hingga kini sulit dikendalikan," kata Frans Sunito.

Ketiga, sistem pendataan dan pencatatan kepemilikan tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih amburadul. Buruknya sistem administrasi pertanahan itu menghambat proses pembebasan tanah. Pernah ada satu lokasi yang dimiliki delapan orang, dan masing-masing mereka mengklaim sebagai pemilik sah tanah itu yang dibuktikan dengan sejumlah dokumen dari BPN dan instansi terkait lainnya.

"Bahkan, ada jalan tol ruas tertentu yang telah selesai dibangun dan dioperasikan selama beberapa tahun tiba-tiba ada orang yang mengklaim tanah itu miliknya dengan menunjukkan sejumlah bukti. Dia meminta ganti rugi yang besar dan menuntut dihentikan pengoperasian jalan tol," ujar Frans.

Menyerupai sindikat

Mengapa para calo tanah begitu bergentayangan dan sulit ditertibkan? Bagaimana sistem kerja yang dilakukan sehingga mereka mampu memainkan peran yang begitu besar?

Informasi yang dihimpun menyebutkan: pertama, calo biasanya sudah mendapatkan rencana pembangunan jalan tol atau fasilitas umum lainnya jauh sebelum dilakukan tender investasi. Dokumen tersebut dibeli dari oknum aparat atau pejabat instansi yang berwenang dengan harga yang cukup mahal.

Kedua, setelah mendapatkan peta lokasi, para calo langsung mendekati pemilik tanah dan meyakinkan tentang peluang mendapatkan harga yang tinggi dari transaksi tersebut. Jika terjadi kesepakatan di antara pemilik tanah, para calo kadang langsung berperan sebagai negosiator dengan pembeli.

Ketiga, para calo juga selalu menjalin kerja sama dengan oknum Panitia Pengadaan Tanah (P2T) agar harga yang disepakati tetap tinggi. Oknum P2T dijanjikan akan mendapatkan sejumlah bonus jika menyetujui harga seperti ditawarkan calo. P2T dibentuk bupati atau wali kota setempat melibatkan sejumlah instansi terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan BPN.

Jadi, permainan calo tersebut sudah menyerupai jaringan laba-laba dan melibatkan banyak pihak terkait. Masing-masing pihak aktif bermain di lapangan karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang besar.

"Makanya, saya usulkan agar P2T sebaiknya dibubarkan. Peran mereka langsung ditangani BPN, instansi itu yang paling tahu tentang sejarah, status, dan kepemilikan tanah di setiap lokasi. Ini untuk menutup ruang bagi calo," ujar Ketua Umum Asosiasi Jalan Tol Indonesia (AJTI) Fatchur Rochman.

Di Malaysia, setiap ruas tanah yang telah ditetapkan untuk dibangun fasilitas umum, hak kepemilikan tanah langsung dicabut negara. Akan tetapi, pemilik tetap dibolehkan untuk meminta ganti kerugian. Jika tidak ada kesepakatan harga, pemilik tanah diperkenankan mengajukan keberatan ke pengadilan. Namun, proses hukum atas gugatan itu tidak boleh menghambat pembangunan fasilitas umum.

No comments:

A r s i p