Tuesday, July 3, 2007

Menangkap Lelaki Tujuh Alias

Oleh :

Ali Mocthar Ngabalin
Anggota Komisi Bidang Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri dan Komunikasi Informasi DPR RI

Ingatan kita mungkin belum hilang saat Detasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia mencokok 'gembong' teroris Indonesia, Yusron Mahmudi di Banyumas, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Lelaki dengan tujuh alias, belakangan menurut Polisi bernama Abu Dujana itu kemudian dibawa ke sebuah tempat untuk pengembangan informasi dan membongkar jaringan teroris lainnya. Dari pengembangan itu, akhirnya Polisi berhasil membekuk setidaknya empat orang yang diduga kuat merupakan bagian dari jaringan teroris Abu Dujana.

Kepolisian sah-sah saja mendapatkan acungan jempol karena telah menunjukkan prestasinya kepada publik berjaya menangkap pentolan teroris di Indonesia. Namun pada kesempatan ini, saya ingin mempertanyakan kepada pimpinan Kepolisian Republik Indonesia dalam menangani kasus teroris di Indonesia. Di mana letak independensi Kepolisian Republik Indonesia? Mengapa Amerika Serikat dan Australia menjadi negara terdepan memerangi terorisme di Indonesia? Bahkan negara mini Singapura sempat pula menyebut bahwa Indonesia merupakan sarang teroris. Pertanyaan ini muncul karena adanya kejanggalan dalam berbagai upaya memerangi terorisme.

Independensi kepolisian Sejak Indonesia memasuki 'arena' demokrasi yang luar biasa pasca-lengser-nya rezim orde baru pada 1998 lalu, negeri ini hiruk-pikuk dengan urusan politik. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai kelompok masyarakat yang mendirikan partai politik. Di samping itu, disusul pula maraknya peledakan bom di mana-mana. Mulai dari Bom Bali I dan II, Bom Mariott, serta Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia 2004 lalu. Semua peristiwa itu, kabarnya, dilakukan oleh jaringan teroris yang bergerak di Indonesia. Pertanyaan saya, mengapa setiap muncul isu terorisme di republik ini, negara besar Amerika Serikat dan Australia selalu ikut campur? Bahkan Australia menyediakan peralatannya untuk menumpas teroris di Indonesia, sementara Amerika Serikat memberikan pelatihan dan persenjataan kepada Kepolisian Republik Indonesia.

Apakah Indonesia sebagai negara berdaulat yang memiliki segudang pengalaman menangani kerusuhan di Tanah Air tidak mempunyai keterampilan dalam menangani kekerasan berdarah, yang kini disebut terorisme itu? Atau, di Indonesia sudah tak ada lagi polisi yang memiliki jiwa pengayom. Secara lebih jauh, hal ini kemudian menyebabkan negeri gemah ripah loh jinawi ini melahirkan orang-orang yang gemar protes dengan aksi kekerasan berdarah?

Saya sangat prihatin dengan sejumlah aksi kekerasan di Indonesia yang melumat ratusan jiwa tak berdosa. Apapun alasannya, memaksakan kehendak dengan cara kekerasan, lebih-lebih dengan peledakan bom, sangat tidak bisa dibenarkan. Bila perlu aksi kekerasan yang menyengserakan banyak orang itu dikutuk. Saya sangat meyakini bahwa tindak kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya, tindak kekerasan itu menimbulkan masalah baru dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Namun, saya ingin mempermasalahkan, sekali lagi, di mana kemandirian sikap kepolisian dalam mengatasi segala kekerasan tersebut?

Jaringan teroris memang sudah mengglobal dan telah masuk ke sudut-sudut kota di berbagai negara tanpa sekat-sekat kewilayahan. Dengan kondisi yang sudah seperti itu, penanganan kasus teroris pun harus dilakukan dengan cara menjalin kerja sama antarnegara. Namun demikian, tidak berarti Amerika Serikat dan Australia bisa dengan mudah ikut campur dalam urusan terorisme di Indonesia.

Kondisi yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa mereka bisa seenaknya mengatur Indonesia untuk melakukan pekerjaan A sampai Z, seperti yang ada dalam skenario mereka. Kendati sudah memberikan bantuan peralatan dan pelatihan untuk para anggota kepolisian, mereka tidak semestinya bisa berbuat seperti itu. Aparat keamanan kita pasti jauh lebih tahu dalam urusan dalam negeri, terutama bagaimana memperlakukan rakyat Indonesia agar tak terlibat dalam jaringan teroris ketimbang negara-negara asing.

Saya yakin mereka memiliki agenda tersembunyi dalam penangan kasus teroris di Indonesia. Sehingga, bila perlu, bantuan mereka kita tolak. Sebab agenda tersebut jelas menguntungkan mereka, sementara negeri kita diobok-obok semaunya. Oleh sebab itu, menjadi tugas kita bersama termasuk kepolisian untuk mengatasi masalah kekerasan yang telah banyak merugikan masyarakat Indonesia.

Berantas terorisme
Memberantas kekerasan termasuk terorisme di manapun, termasuk di Indonesia, akan menghadapi kesulitan selama di tempat tersebut tidak ada keadilan. Baik di negara maju maupun negara berkembang, yang namanya keadilan tetap sangat diperlukan untuk mengatasi masalah terorisme. Karena itu bisa dikatakan bahwa keadilan merupakan faktor mutlak. Sejarah telah menunjukkan terutama di Eropa bahwa terorisme pernah tumbuh subur selama keadilan yang diinginkan masyarakatnya tak dipenuhi oleh penguasa. Hal tersebut bisa ditemukan di Spanyol, Italia, Irlandia, Rusia, dan sebagainya

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Apakah para gembong teroris tersebut juga merasa dirinya dizalimi oleh penguasa? Saya kira tidak, sebab umat Islam di Indonesia masih memiliki kebebasan melakukan ibadah seperti yang disyariatkan dalam agama Islam. Menurut saya, sesungguhnya mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan adalah orang-orang yang menjadi korban skenario kekuatan asing yang ingin mencederai Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Sesunggunya, umat Islam Indonesia tidak mengenal budaya kekerasan seperti uang saat ini tumbuh subur. Oleh karena itu, selain harus memberantas kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia, umat Islam harus bahu-membahu bekerja keras sehingga bisa hidup sejahtera. Sumber yang menyebabkan munculnya aksi terorisme bukanlah sebuah ideologi. Berbagai aksi terorisme itu muncul dengan berakar pada kezaliman yang menyeruak secara luas di tengah masyarakat.

No comments:

A r s i p