Sunday, July 29, 2007

Ke Arah Mana Aliansi Golkar-PDIP?



Politics is the art of the possible. Itu kata Karl W. Deutsch dalam bukunya Politics and Government: How People Decide Their Fate. Dalam dunia politik, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Antara Partai Golkar dan PDIP misalnya, yang hubungannya kerap diumpamakan bagai minyak dan air, kini muncul tanda-tanda untuk melakukan aliansi taktis.

Sejatinya, di tingkat lokal, aliansi antara keduanya sudah kerap terjadi. Di banyak tempat, termasuk di DKI Jakarta, Golkar beraliansi dengan PDIP (plus partai-partai lain) dalam mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Namun ribuan kader PDIP dan Partai Golkar yang memenuhi Balai Tiara, Medan, Sumatera Utara, dalam acara "Silaturahmi Nasional Partai Golkar dan PDI-P" yang digelar baru-baru ini sungguh membuat banyak kalangan terhenyak.

Kabarnya, kedua partai peraih suara terbanyak dalam Pemilu 2004 itu tengah memantapkan langkah, membangun aliansi dan mengonsolidasikan kadernya menuju Pemilu 2009. Meskipun, seperti sudah disebutkan, dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi, dengan mencermati beberapa hal berikut, menurut saya, aliansi Golkar-PDIP di tingkat nasional masih sangat muskil, untuk tidak dikatakan mustahil. Mengapa?

Pertama, umumnya tokoh-tokoh Golkar, terutama yang merasa sudah berjuang cukup lama di partai ini, masih sulit melupakan perlakuan sejumlah kader PDIP yang merusak properti Golkar seperti di Bali atau di beberapa tempat lain. Di sisi lain, dendam sejumlah kader PDIP terhadap kesewenang-wenangan Orde Baru yang kerap diidentikkan dengan Golkar juga masih cukup melekat. Intinya, secara institusional, Golkar dan PDIP masih sulit bertemu.

Kedua, acara silaturrahmi nasional di Medan itu ternyata bukan keputusan resmi partai melainkan hanya gagasan pribadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas dan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh. Artinya, di tingkat elite pun, aliansi itu belum terjadi. Baru sebatas seremonial, atau bahkan hanya manuver individual. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, untuk memutuskan aliansi dengan PDIP di tingkat nasional bukan persoalan mudah, harus melibatkan semua unsur kader di semua tingkatan.

Ketiga, kalau kita cermati, (rencana) aliansi ini belum merupakan langkah genuin sebagai upaya membangun konsolidasi partai yang berideologi relatif sama (nasionalis). Tapi, baru sekadar memanfaatkan momentum dari kecenderungan menurunnya popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam hal ini Golkar tampaknya ingin bermain dua kartu. Satu, tetap menjadi ”pendamping” Yudhoyono di pemerintah. Tapi karena pemerintah masih kesulitan mencari jalan keluar dari berbagai krisis yang dihadapi, sehingga popularitasnya terus melorot, Golkar juga memainkan kartu lain yakni dengan menggandeng partai oposisi. Dengan demikian, Golkar masih akan selamat bila suatau saat pemerintah terpuruk, atau bahkan jatuh.

Kalau memang demikian, jadi atau tidaknya aliansi Golkar-PDIP juga sangat tergantung pada langkah-langkah politik Yudhoyono sebagai presiden. Jika presiden berhasil mengambil langkah strategis, dengan fokus pada pengembangan demokrasi dan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, niscaya pemerintah akan kembali meraih popularitasnya. Diakui atau tidak, bila popularitas pemerintah naik, Golkar akan merasa nyaman ”di samping” Yudhoyono.

No comments:

A r s i p