Monday, July 2, 2007

Empati-Simpati Demokrasi

Aloys Budi Purnomo


Kami mohon Presiden datang ke sini (pengungsian), melihat langsung kenyataan, jangan melihat dari helikopter!"

Itulah harapan Pitanto, warga Renokenongo, salah seorang korban lumpur Lapindo (Kompas, 27/6/2007) yang disampaikan menanggapi empati dan simpati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkantor selama dua hari di Sidoarjo.

Kehadiran Yudhoyono di Sidoardjo untuk memberi tekanan moral kepada Lapindo agar segera melunasi ganti rugi kepada korban lumpur panas Sidoarjo. Harapan Pitanto mencuat dari lubuk hati yang kecewa karena Presiden Yudhoyono tidak bertemu langsung dengan pengungsi di Pasar Baru Porong.

Bisa jadi—bahkan pasti—kehadiran Presiden di pengungsian itu akan menjadi setitik embun kesejukan di tengah hamparan lumpur panas yang kian membawa dampak buruk yang meluas.

Empati dan simpati Yudhoyono dalam arti tertentu merupakan hal positif dalam berdemokrasi. Namun, yang positif itu belum maksimal dari sisi kemanusiawian demokrasi. Demokrasi selalu terkait rakyat (demos) dan penguasa yang memerintah (kratein). Justru karena itu, demokrasi membutuhkan empati dan simpati.

Jiwa profetik

Dalam perspektif tradisi teologi Kristiani, empati dan simpati adalah bagian integral kehidupan seorang nabi, utusan Allah. Seorang nabi diutus untuk memaklumkan rasa perasaan Allah kepada umat tertindas, menderita, dan mendapat perlakuan tidak adil. Dewasa ini, siapa pun yang bertindak dengan pola seperti itu berarti mengembangkan sikap kenabian. Maka, nabi disebut homo sympatitekhos, manusia yang dipenuhi empat-simpati Allah.

Kasih dan kebaikan Allah menuntun dan menjiwai seluruh hidup, tutur kata, dan tingkah lakunya. Citra profetik harus dihayati para pemimpin dan pelayan masyarakat. Artinya, mereka harus mengembangkan empati dan simpati sebagai bagian dasar profetik. Empati dan simpati mendorong seseorang yang menghayati sikap profetik untuk memberi koreksi atas tindak manusia yang keliru dan mendatangkan ketidakadilan.

Pada gilirannya, citra profetik mewajah dalam diri mereka yang tergerak hati untuk membela orang-orang tertindas dan diperas, seperti yang diperjuangkan Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung San Salvador.

Ketika sebagai Presiden—nota bene berkuasa sebagai eksekutif pemerintahan—mau mendatangi rakyat yang menderita akibat gempa, bencana, termasuk korban Lapindo dan menunjukkan empati dan simpati, sebetulnya selangkah lagi Yudhoyono dapat menampilkan jiwa profetik dalam demokrasi! Sayang, empati dan simpati itu tidak dimaksimalkan dengan terlibat langsung dalam dialog dengan mereka sehingga kadar profetiknya pudar.

Menggunakan hati

Demokrasi yang berjiwa profetik pun terekspresikan dalam empati dan simpati sejati jika dilandasi hati yang melihat dan terlibat penderitaan rakyat.

Sebagaimana dituturkan Natan Sharansky dalam The Case for Democracy, the Power of Freedom to Overcome Tyranny & Terror (New York: 2004) demokrasi yang menggunakan hati untuk melihat dan terlibat penderitaan rakyat akan terwujud saat yang berkuasa mau dekat dengan rakyat yang sengsara.

Demokrasi yang dilandasi empati dan simpati serta berakar dari hati, akan mengubah ketakutan menjadi kebebasan. Demokrasi yang dilandasi hati mampu mentransformasikan a fear society menjadi a free society.

Warga sekitar area lumpur panas pasti telah dicekam ketakutan. Mereka memerlukan pembebasan dari rasa takut itu. Bisa mengungkapkan harapan di tengah ketercekaman akan rasa takut kepada seorang pemimpin (presiden) secara langsung jelas sudah merupakan langkah awal meretas ketakutan itu.

Sharansky menegaskan, "A society is free if people have a right to express their views without fear of arrest, imprisonment, or physical harm!" (hal 40). Ketika rakyat yang tertindas dan menderita masih dibayang-bayangi rasa takut mengungkap perasaannya, di sanalah demokrasi macet.

Lebih parah lagi, demokrasi mati, saat rakyat yang tertindas ingin curhat kepada pemimpinnya, namun sang pemimpin tidak mempunyai waktu apalagi hati untuk mendengarkan keluh kesah mereka. Padahal, sesungguhnya, inilah yang lebih dibutuhkan mereka—termasuk korban lumpur panas Lapindo—dan bukannya janji-janji manis yang selalu diingkari. Sayang sekali.

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, Semarang

No comments:

A r s i p