Friday, July 27, 2007

Membangun Masa Depan

Kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi Indonesia dan Korea Selatan sangatlah baik. Dengan itu, kesejahteraan rakyat akan bisa ditingkatkan.

Namun, pengalaman menunjukkan, penandatanganan di tingkat pimpinan negara tidak membawa manfaat sebelum benar-benar bisa diimplementasikan di lapangan. Itu bukan hanya bergantung pada birokrasi, tapi juga dunia usaha untuk bisa memanfaatkan kesempatan.

Dalam konteks ini menjadi tepat pesan yang disampaikan Bapak Bangsa Singapura, Lee Kuan Yew, bahwa apa yang kita lakukan sebagai sebuah bangsa adalah membangun masa depan. Masa depan bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk anak cucu kita.

Karena masa depan bukanlah sesuatu yang mudah dipahami dan diprediksi, tugas pemimpin untuk menjelaskan hal itu. Para pemimpin tanpa henti-hentinya harus memberikan pemahaman kepada seluruh rakyat tentang masa depan seperti apa yang sedang kita tuju dan kita ingin bangun itu.

Hal itu menjadi lebih penting lagi bagi negara seperti Indonesia, yang bukan hanya baru memulai membangun demokrasinya, tetapi dengan negara kepulauan yang begitu luas. Bukan hanya begitu banyak pulaunya, tetapi beragam etnis dan tidak merata tingkat pendidikannya.

Kita tak bisa taken for granted, seolah-olah semua warga dengan serta-merta paham kondisi bangsa ini sekarang berada dan masa depan seperti apa yang sedang dibangun. Kita malah mungkin harus merasa bahwa masyarakat tidak paham akan hal itu dan karena itu kita harus terus-menerus memberikan pemahaman.

Pada negeri yang telah mapan demokrasinya seperti Amerika Serikat pun, pemimpin tidak pernah berhenti melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan rakyat. Presiden AS secara rutin tampil di televisi, menjelaskan kondisi yang sedang dihadapi dan hendak ke mana bangsa itu bergerak. Bahkan, dalam hal yang lebih kecil, untuk terus membangkitkan rasa nasionalisme, mereka tidak pernah berhenti menyanyikan lagu kebangsaan.

Tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa bahkan lebih kompleks. Kita masih berkutat dengan situasi serba krisis di mana hal itu tercermin dari masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Setiap kali persoalan baru muncul sebelum persoalan lama berhasil kita selesaikan dengan tuntas. Salah satu persoalan berat yang harus dihadapi adalah ancaman hilangnya pekerjaan 14.000 karyawan PT Central Cipta Murdaya.

Kita tak ingin masuk pada perdebatan siapa yang bersalah. Satu hal yang harus menjadi kesadaran kita, betapa struktur angkatan kerja yang ada terlalu bertumpu pada pekerjaan "tukang" karena tingkat pendidikan yang hanya rata-rata. Mereka tidak punya banyak pilihan pekerjaan karena kemampuan yang terbatas.

Dari 110 juta angkatan kerja kita, sekitar 95 persen memang hanya lulusan SMA ke bawah. Ini jelas tidak bisa mendukung ketika kita ingin beranjak ke tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Inilah tantangan besar kita.

No comments:

A r s i p