Wednesday, July 18, 2007

Modal Perubahan Bangsa

Oleh Yasraf Amir Piliang

SUASANA hati dan kondisi psikologis masyarakat-bangsa menjelang seratus hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditandai berbagai kegelisahan dan kecemasan menunggu realisasi janji perubahan yang disampaikannya dalam kampanye pemilihan umum lalu.

Berbagai kelompok masyarakat menuntut diwujudkannya janji-janji perubahan di bidang hukum, ekonomi, pendidikan, dan sosial, demi terciptanya masyarakat yang lebih baik di masa depan.

Memang, upaya perubahan memerlukan berbagai modal dasar (capital)-baik yang bersifat fisik/material maupun abstrak/nonmaterial: aktor-aktor yang kompeten dan berkualitas, ide-ide yang dapat "menggerakkan", budaya yang mendorong prestasi dan inovasi, kebiasaan mental (mindset) yang konstruktif, momentum yang tepat, serta suasana hati masyarakat (social mood) yang mendukung ke arah iklim perubahan itu.

PADA beberapa kepemimpinan lalu, perubahan yang dijanjikan tidak pernah terwujud karena kurangnya modal yang diperlukan bagi proses perubahan. Era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, misalnya, ditandai lemahnya modal personal (personal capital): karisma, kemampuan berkomunikasi, dan kepemimpinan sehingga momen perubahan yang sudah di tangan lepas begitu saja. Era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ditandai lemahnya modal manajemen sehingga menimbulkan berbagai ketidakpastian.

Disebabkan kurangnya modal perubahan-selain berbagai tekanan politis yang tidak bisa ditahan pemerintahan Megawati-maka ketimbang dapat menciptakan perubahan, yang terjadi justru titik balik historis, terseretnya pemerintah ke berbagai model tindakan, keputusan dan kebijakan era sebelumnya (Orde Baru), yang justru ditentangnya-the historical reversal.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan Kabinet Indonesia Bersatu, memiliki berbagai modal dasar yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Yang bila dikelola secara efektif dan efisien, akan menghasilkan "perubahan nyata", bukan perubahan palsu, permukaan, dan virtual belaka-the virtual change.

Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1997) menggunakan metafora ekonomi untuk menjelaskan berbagai sistem sosial, politik, dan kultural. Dalam setiap sistem itu selalu terbentuk medan persaingan mendapatkan posisi tertentu (sosial, politik, kultural), yang untuk itu diperlukan semacam modal (capital) serta kekuatan (power) agar dapat diperoleh keuntungan tertentu (profit).

Pertama, modal personal, yaitu segala kekuatan kepribadian yang dimiliki seorang (pemimpin), yang mendukung posisi tawar-menawarnya dalam medan sosial. Ada berbagai modal personal yang menonjol pada SBY: disiplin dan ketahanan psikis sebagai mantan prajurit, karisma yang kuat dan berpengaruh, intelektualitas yang tinggi, konsistensi dan integritas yang terjaga.

Kedua, modal simbolik (symbolic capital), yaitu modal abstrak berupa citra, prestise atau status seseorang, yang melekat dalam pikiran dan kesadaran masyarakat. Melalui bentukan historis-ditambah rangkaian kampanye iklan-sosok SBY lekat dengan citra orang tertindas, figur demokrat, pribadi berwibawa, dan tokoh yang properubahan.

Ketiga, modal institusional (institutional capital) berupa institusi kelembagaan negara (kabinet, DPR, MPR, kejaksaan, kehakiman) yang mendukung iklim perubahan. Meski susunan Kabinet Indonesia Bersatu banyak mengundang pesimisme, terpilihnya Hidayat Nurwahid sebagai ketua MPR dan Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung setidaknya dapat mengembuskan angin segar perubahan kepada masyarakat.

Keempat, modal politik (political capital), yaitu dukungan masyarakat pada sebuah kepemimpinan, yang ditunjukkan oleh pengakuan (recognition), loyalitas (loyalty) dan kesetiaan, kesediaan dan antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam perubahan bersama pemerintah, lewat solidaritas dan spontanitas mereka dalam memobilisasi gerakan-gerakan mendorong proses perubahan.

Kelima, modal kultural (cultural capital), yaitu aspek-aspek material dan nonmaterial kebudayaan yang mendukung proses perubahan, seperti nilai-nilai yang hidup, mentalitas yang tercipta, semangat kerja yang berkembang, kebiasaan mental yang tumbuh, dan hasrat perubahan yang muncul. Meski awalnya ada keraguan terhadap kesadaran dan pemahaman kultural SBY, rencana pembentukan departemen khusus kebudayaan dapat dipandang sebagai komitmen kultural SBY.

SALAH satu agenda penting ke depan Kabinet Indonesia Bersatu adalah bagaimana mengelola berbagai modal dasar perubahan itu-modal personal, institusional, simbolik, politik, kultural, dan material-secara komprehensif, produktif dan dinamis sehingga dapat menciptakan kekuatan perubahan "konkret", yang tidak hanya sebatas janji dan citra.

Salah satu keunggulan SBY-terutama dalam konteks pemilu lalu-adalah kecerdasannya mengelola modal simbolik sehingga dapat menjadi sebuah kekuatan simbol (symbolic power), yang mampu menghasilkan keuntungan politik (political profit) maksimal pada dirinya, berupa keunggulan suara mayoritas dalam pemilu sehingga dapat membawanya pada tampuk kekuasaan.

Ketika kekuasaan diperolah, masalahnya kini bagaimana membuktikan kekuatan simbolik itu lewat berbagai tindakan nyata. Artinya, berbagai citra virtual (virtual image) yang ditawarkan dalam pasar simbolik kampanye-figur yang demokrat, sosok yang tanggap budaya, tokoh propendidikan murah-kini dituntut untuk mengubahnya menjadi realitas kehidupan sehari-hari, tak sekadar "realitas" di layar televisi.

Bila tindakan nyata ini tidak mampu dilakukan, yang tercipta di masa depan adalah jurang antara simbol dan realitas, antara citra yang ditawarkan dan kondisi bangsa yang sebenarnya, yang lalu akan menciptakan jurang antara ekspektasi masyarakat yang telanjur tinggi terhadap citra dan janji perubahan dengan realitas sebenarnya tak mendukung.

Pertanyaannya kemudian, mampukah pemerintahan baru ini mengelola modal-modal perubahan itu sebagai sebuah kekuatan sinergis perubahan? Dengan masih menjadi-jadinya budaya korupsi, mentalitas jalan pintas (jual beli gelar, ijazah, jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyelundupan, pemalsuan, pembajakan), dan budaya kekerasan memperlihatkan bahwa modal kultural bangsa merupakan sebuah titik lemah dalam mendorong proses perubahan.

Titik lemah kultural itu seharusnya diperbaiki pemerintahan sekarang, dengan melakukan perubahan kultural yang fundamental agar mesin perubahan dapat berjalan komprehensif dan sinergis. Tetapi, perubahan kultural ini tidak dapat diharapkan terlalu banyak bila pemahaman pemerintah terhadap kebudayaan hanya bersifat permukaan semata, yaitu dengan menjadikannya lebih sebagai "kosmetik" (tari-tarian, rumah adat, dan sebagainya), bukan sebagai bagian esensial proses perubahan mental, kebiasaan, cara berpikir, etos kerja, sikap dan nilai-nilai masyarakat-bangsa secara menyeluruh.

Tantangan ke depan pemerintahan SBY adalah bagaimana mengelola berbagai modal perubahan itu (modal personal, simbolik, institusional, politik, dan kultural) secara komprehensif dan terpadu dengan menjadikan perubahan kultural sebagai salah satu motor penggerak utama perubahan. Hanya melalui perubahan kultural yang komprehensif dan berkelanjutan, berbagai masalah fundamental masyarakat-bangsa secara bertahap dapat diatasi di masa depan.

Namun, bila dalam proses perubahan itu peran kebudayaan hanya ditempatkan sebagai pelengkap, maka produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan akan bersifat virtual, bukan perubahan mendasar, yang mampu mengubah cara berpikir, kebiasaan mental, dan cara bertindak manusia secara fundamental, fundamental cultural change.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

Search :

Berita Lainnya :

·

TAJUK RENCANA

·

REDAKSI YTH

·

"Back to Our Own"

·

Konglomerasi Politik

·

Modal Perubahan Bangsa

·

Hanya "Summit" yang Bisa Selesaikan TKI Ilegal

·

Kebebasan Pers Kita Merosot

·

Golkar Sebagai Partai Oposisi, Mungkinkah?

·

POJOK



No comments:

A r s i p