Sunday, July 1, 2007



Sabtu, 30 Juni 2007

Benteng Pemberdayaan Publik

Oleh :

Budiyati Abiyoga
Produser Film, Praktisi Komunikasi Massa

Terakhir ini masalah kebebasan pers menjadi isu hangat lagi setelah ada upaya untuk merevisi UU Pers, terutama mengenai kemungkinan masuknya klausul pembreidelan. Kebebasan pers bukan semata urusan para jurnalis dan sarana media yang mewadahi karya jurnalistiknya. Saya justru melihat masalah ini dari kacamata publik, sebagai pengguna produk media massa.

Persinggungan kegiatan publik dengan pers pada umumnya adalah sebagai konsumen media cetak, audio (radio), serta sebagai pemirsa program berita dari televisi, di samping secara lebih terbatas, media teknologi mutakhir melalui internet . Saya sendiri kebetulan adalah pendidik di bidang audiovisual yang antara lain menangani in house training untuk SDM stasiun televisi dalam pelatihan jurnalistik televisi. Paparan berikut saya sampaikan dari sudut pandang pemberdayaan publik, yang sangat jelas akan ikut terancam dengan adanya ancaman kebebasan pers.

Mencermati pemberitaan dan ulasan di berbagai media, publik setiap hari disuguhi tontonan perilaku lembaga-lembaga (melalui para pelakunya) yang cenderung mencerminkan proses pembodohan diri mereka sendiri dan secara sistematis memperluasnya pula menjadi pembodohan publik. Kita dikondisikan menerima hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang tak terelakkan, taken for granted. Sementara pers dengan tekun berkejaran dengan waktu untuk melakukan percepatan atas ketinggalan-ketinggalan kita dalam berbagai aspek kehidupan. Ini membuat kita melek sebagai bangsa yang mempunyai saling keterikatan dalam satu Tanah Air walaupun latar belakangnya berbeda (lebih dari 500 etnik tersebar di Nusantara). Ini juga membuat kita melek budaya, seni, lingkungan, politik, teknologi, ekonomi, walaupun tidak dengan serta -merta, tapi prosesnya jelas karena setiap hari pers hadir di tengah publik.

Dewasa ini, sopir taksi, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, penjaga warung, dengan sumber informasi yang sama, yakni pers, membicarakan berbagai masalah yang dihadapi negeri ini, relatif sama dengan pembicaraan antarpelajar, mahasiswa, juga antareksekutif dengan para koleganya. Contohnya, berita-berita hangat tentang lumpur Lapindo, berbagai kasus KKN, rekening (mantan) menteri kelautan yang mengalir ke capres dan cawapres (dalam Pilpres yang lalu), ujian nasional, interpelasi, kekerasan di IPDN, dan sebagainya, sering mereka bahas bersama.

Mengenai euforia pemberitaan yang dalam beberapa kasus dianggap kurang bertanggung jawab, hal ini tidak dapat dipisahkan dari euforia reformasi yang dalam beberapa segi dipandang kebablasan. Kita perlu menyadari bersama bahwa reformasi masih dalam tahap awal. Kurang dari 10 tahun menghadapi penekanan masal selama lebih dari 30 tahun, sehingga untuk pelurusannya, masih diperlukan percepatan proses pendewasaan yang harus kita bangun bersama. Dan dalam hal ini peran pers yang bebas sangat diperlukan, karena jangkauannya yang sangat intensif dan efektif pada massa (publik).

Prinsip etika jurnalistik yang aplikasinya harus berimbang, mencakup kebenaran, keadilan, kebebasan, kemanusiaan, dan pengayoman. Dalam hal itu, sudah sangat cukup ketentuan hukum yang menyiapkan rambu-rambu kemungkinan penyimpangan oleh pers dan perlindungan publik, melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan tiga Surat Keputusan Dewan Pers tahun 2006 tentang Standar Organisasi Wartawan, tentang Penguatan Peran Dewan Pers, dan tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.

Andil besar
Yang teramat penting pula, pers mempunyai andil sangat besar dalam memulihkan pemberdayaan publik yang pada era orde baru mengalami pembunuhan karakter secara massal, sebagai dampak penekanan massal di atas. Ketakutan massal yang diikuti suasana frustasi, apatisme, sikap membebek, ABS, politik-feodalistis, secara cepat dalam era reformasi telah digeser ke arah dinamika hidup yang lebih sehat. Walaupun terakhir ini ada kecenderungan sebagian elite menumbuhkan kembali atmosfer yang sama, namun yang sangat intens memberikan lampu kuning adalah pers. Karena ulah sebagian elite tersebut (yang adalah produk berakhirnya orde baru) itulah, sekarang ini di tengah masyarakat mulai merebak pandangan bahwa 'orde baru lebih baik' . Kita memang gampang lupa pada sejarah, dan salah satunya yang mengingatkan hal itu, lagi-lagi adalah pers.

Saya selalu mengaitkan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara dengan memposisikan setiap kegiatan agar dilakukan sebagai andil atas iklim kepemerintahan yang baik (sharing in good governance). Optimisme terbangunnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, hanya mungkin didukung secara sehat oleh masyarakat yang terdidik. Dari contoh-contoh tersebut, dapat diamati bahwa pers telah menunjukkan potensinya untuk berada di depan dalam menumbuhkan dan sekaligus menjaga iklim pemberdayaan menuju masyarakat yang terdidik itu. Tentu saja, di samping upaya di sektor pendidikan, yang secara formal atau informal memang menangani bidang itu.

Pers telah andil sebagai pemicu percepatan iklim kepemerintahan yang baik melalui dorongan dari bawah ke atas, karena seberapa pun berimbangnya pemberitaan, tetap ada sikap keberpihakan utama pers pada kepentingan publik. Tanpa adanya kekuatan pers dalam menjaga nilai-nilai, publik dapat digelincirkan pada kekeliruan sikap dalam melihat 'kebenaran' yang seringkali memasuki wilayah abu-abu.

Dalam suasana merebaknya ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga formal dan pada para elite yang sangat pandai menjungkirbalikkan kebenaran tersebut, terasakan sekali bahwa yang masih menyisakan harapan besar sebagai benteng untuk kendalinya pembusukan itu, adalah pers yang bebas. Karenanya sangat mengkhawatirkan kalau kita harus set back merevisi Undang-Undang Pers dengan klausul yang membelenggu berupa pembreidelan seperti di masa lalu. Kalau benar terealisasi, hal ini akan membalikkan atmosfer pemberdayaan publik yang sudah mulai tumbuh dewasa ini, ke arah pembunuhan karakter massal kembali melalui ketakutan-ketakutan massal.

No comments:

A r s i p