Sunday, July 29, 2007

Remote Control

Adi Masadi

ADA dua perkara yang kalau dibicarakan tidak akan pernah ada habis-habisnya. Pertama, masa depan bangsa. Begitu rumit dan berbelit-belitnya sampai-sampai di zaman Orba ada anekdot: Pak Harto bertanya kepada Tuhan kapan bangsa Indonesia makmur. Tuhan tidak menjawab, hanya meneteskan airmata. Tuhan menangis.

Namanya juga anekdot. Mana ada Tuhan menangis. Tapi anekdot ini bisa dipakai mengukur tingkat kesulitan dan kompleksitas persoalan bangsa. Jadi kalau ada yang bilang “bersama kita bisa” (menyejahterakan rakyat), namanya takabur. Dalam pandangan kaum anekdotis fundamentalis, menentang kehendak Tuhan. Lha, Tuhan saja menangis, kok ini bisa-bisanya bilang “bisa”. Bisa kualat...!

Perkara kedua, membicarakan Gus Dur. Dari sisi mana pun bicara Gus Dur, dijamin hasilnya hanya akan bikin Anda ingin lekas tidur. Karena begitu bicara Gus Dur, di dalam kepala Anda akan segera dipenuhi paradoks. Dibilang bagus, ada sisi tidaknya. Dibahas sisi destroyer-nya, muncul bangunan yang konstruksinya dibuat Gus Dur.

Ada yang tidak mau pusing bicara Gus Dur. Dia pilih dari perspektif humorologi. Hasilnya, di toko buku berbaris catatan humor Gus Dur. Perlu kerja keras mengumpulkan dan memilah mana humor Gus Dur yang aman dan tidak. Tapi dijamin buku itu tidak akan bisa bikin ketawa orang PKB yang dalam pekan-pekan menyambut Harlah-nya yang ke-9 ini, seperti berada di ketel penggorengan. Misalnya, Imam Nachrowi dan mereka yang disebut-sebut All the Imin’s Men.

Nah, kini kita mulai terjebak membicarakan PKB, parpol produk Gus Dur, yang oleh banyak orang disebut “partai keseringan berantem”. Sampai-sampai Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi perlu mengingatkannya. Betulkah begitu? Dan perlukah kita meneropong PKB di sini?

Kata Prof Dr Mahfud MD, sebagai orang yang dijidatnya masih tampak jelas “cap Gus Dur”, saya punya kompetensi dan kewajiban moral menjelaskannya, meskipun sudah lain partai. Jujur, memang banyak orang, pengamat maupun praktisi politik, bahkan orang PKB, menanyakan soal ini. Dan saya biasanya menjawab begini:

Gus Dur itu punya rumah virtual terbuka, namanya bisa PKB atau NU. Semua orang boleh masuk dan bermain di dalamnya. Termasuk nonton TV dengan remote control di tangan untuk mengendalikan tayangan yang akan ditonton seisi rumah. Tapi yang berani pegang remote control, kalau bukan yang dipercaya Gus Dur, ya tentu saja para keponakan.

Nah, sangat wajar dan manusiawi kan bila di antara mereka kadang cekcok rebutan remote. Kalau sudah begitu, Gus Dur biasanya mendukung yang nonton tayangan bermanfaat. Bukan Smack Down atau tayangan hantu. Saifullah Yusuf waktu pegang remote konon kebanyakan nonton Fear Factor. Sementara keponakan yang lain, Muhaimin Iskandar, terlalu mengikuti keinginan teman-temannya nonton Indonesia Idol. Sehingga uang belanja tersedot untuk beli pulsa karena HP jadi banyak dipakai nge-SMS.

Kadang Gus Dur mengambil remote untuk menyimak breaking news, atau bila tayangan yang ditonton membuat seisi rumah jadi kontraproduktif. Setelah itu, mungkin Gus Dur memberikan lagi remote itu. Bisa kepada orang yang sama, bisa kepada orang lain, bisa juga pada anaknya. Dan itu tidak salah juga kan? Begitulah. Sederhana.

Gus Dur memang tidak pernah rumit. Kecuali bagi yang bermasalah dengannya.***

No comments:

A r s i p