Wednesday, September 12, 2007

ANALISIS POLITIK


Moratorium Perburuan Kekuasaan

J KRISTIADI

Principes et senatores discite exemplum populorum. Et agite pro
republica populorum.
(Para pemimpin dan wakil rakyat belajarlah dari teladan rakyat, dan bekerjalah demi kepentingan masyarakat.)

Dahaga kekuasaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merebut kembali kedudukan presiden tak terbendung dalam Rapat Kerja Nasional II PDI-P. Pertemuan itu mengajukan Megawati sebagai kandidat presiden tahun 2009. Konsolidasi kekuatan akan ditingkatkan dengan penyelenggaraan rapat koordinasi nasional yang dihadiri belasan ribu kader PDI-P seluruh Indonesia.

Pada awalnya Megawati seakan tak menggubris tuntutan tersebut, bahkan mengajak bangsa ini jangan berpikiran pragmatis dan berpikir jauh ke depan karena bangsa ini masih mempunyai persoalan besar, seperti martabat dan kedaulatan bangsa yang semakin merosot.

Namun, Megawati akhirnya tidak tahan bujukan peserta rakernas dan menerima keputusan tersebut dengan mengatakan, "Insya Allah sesuai seperti apa yang ada di sanubari Anda semua." (Republika, Senin, 10 September 2007)

Selain itu, ia terlebih dahulu akan bertanya kepada pemimpin besarnya (almarhum Bung Karno). Megawati juga menambahkan, ia tidak ingin hanya menjadi presiden, tetapi seorang pemimpin. Suatu sikap pragmatis yang semula ingin dihindari Megawati sebagaimana disampaikan dalam pidato hari pertama.

Dalam keadaan normal, sebenarnya tidak ada yang aneh bagi sebuah partai politik mengajukan ketua umumnya sebagai calon presiden. Namun, persoalan menjadi lain kalau itu dilakukan saat rakyat sudah hampir sampai pada ambang batas kesabaran menahan derita hidup yang semakin sulit. Lebih-lebih apabila PDI-P yang mengaku sebagai partai wong cilik secara terburu-buru berancang-ancang memperebutkan kursi presiden.

Pemilihan calon presiden harus dilakukan melalui evaluasi mendalam, termasuk kegagalan kepemimpinan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dalam Pemilu 2004 dan kekalahan telak dalam pemilihan presiden pada tahun yang sama.

Namun, pragmatisme politik bukan monopoli PDI-P. Secara keseluruhan perilaku partai politik, baik yang besar maupun kecil, sudah terjebak pada sikap memanfaatkan momentum kompetisi politik untuk merebut kekuasaan dan kemudian dinikmati secara bersama-sama oleh kelompok dan kroninya.

Mereka menyalahgunakan ranah politik sebagai sekadar medan pertarungan memperebutkan kekuasaan. Partai hanya menjadi instrumen mencari kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan berbagai jajak pendapat selalu menunjukkan kemerosotan kredibilitas parpol.

Pemimpin dadakan

Merebaknya perburuan kekuasaan dirasakan semakin meningkat dan gamblang jika mencermati lebih dari tiga ratus kali pemilihan kepala daerah yang dilakukan sejak tahun 2005 hingga sekarang ini.

Dalam mempersiapkan calon, parpol hanya mengandalkan survei popularitas tanpa mengindahkan kualitas, khususnya komitmen calon terhadap perjuangan mereka menyuarakan penderitaan rakyat. Karena itu, yang dilakukan adalah memoles calon menjadi tokoh dadakan yang seakan-akan berperilaku santun, mempunyai empati kepada rakyat, serta menyebar janji muluk yang memabukkan guna mendapatkan simpati publik.

Pemimpin yang diproduksi hanya atas dasar rekayasa untuk mendapatkan popularitas jelas tidak dijamin mempunyai kompetensi, apalagi komitmen terhadap kesulitan rakyat. Lebih-lebih kalau alam rekayasa itu melibatkan permainan uang.

Hal yang sama terjadi dalam pemekaran daerah yang telah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia tumbuh seperti kecambah. Kolusi di antara elite politik yang haus kekuasaan memberikan bukti bahwa pemekaran daerah hanya menciptakan kemakmuran bagi elite politik lokal dan menjadikan masyarakat sebagai tumbal bagi mereka yang ingin memperoleh kekuasaan.

Demokrasi popularitas

Pengalaman sepuluh tahun reformasi membuktikan popularitas pemimpin tidak berkorelasi dengan kompetensi. Oleh karena itu, bangsa Indonesia jangan sampai terjebak pada demokrasi popularitas. Demokrasi memang memerlukan popularitas, tetapi membangun kelembagaan, pendidikan kader partai yang mempunyai kompetensi dan komitmen terhadap cita-cita partai adalah agenda yang jauh lebih fundamental untuk dilakukan.

Konsolidasi partai harus dimaknai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia partai politik agar mempunyai kemampuan dan kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Konsolidasi harus pula berarti peningkatan demokratisasi internal partai serta ideologi kebijakan partai terhadap kelompok marjinal dan miskin yang berjumlah puluhan juta orang.

Artinya, perburuan kekuasaan demi kekuasaan harus dihentikan. Seluruh bangsa, terutama elitenya, harus bekerja keras, membangun institusi, kompetensi, serta komitmen terhadap ideologi kebijakan yang memihak rakyat.

Mudah-mudahan dalam suasana hening, jernih, dan tenang, pada saat Megawati menanyakan kepada pemimpin besarnya, ia memperoleh bisikan agar tidak tergoda bujukan orang di sekitarnya yang masih memanfaatkan kekuasaan kalau Mega terpilih menjadi presiden.

Semoga pemimpin besar mengingatkan Megawati untuk melakukan konsolidasi organisasi, ideologi, membangun kader yang tangguh agar cita-cita Bung Karno dapat diwujudkan.

Ketergesaan menerima tawaran sebagai calon presiden 2009, meskipun menggoda, sebaiknya dipertimbangkan secara lebih matang. Kekalahan telak sebagai incumbent pada Pemilu Presiden 2004 serta kemerosotan perolehan dalam Pemilu Legislatif 1999 harus dijadikan pelajaran berharga.

J Kristiadi Peneliti Centre for Strategic and International Studies

No comments:

A r s i p