Tuesday, September 4, 2007

Semangat Nasionalisme yang Tak Pernah Luntur

Oleh Rien Kuntari

Ada getaran tersendiri ketika mendengar nama "Indonesia" disebut dengan tegas di ruang sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, AS. Ada pula kebanggaan setiap kali mendengar lagu "Indonesia Raya" berkumandang. Getaran rasa itu seolah tak hendak berhenti meski Indonesia disebut dalam konteks yang kurang menguntungkan sekalipun....

Tentu masih tertanam dengan jelas di benak seluruh anak bangsa ketika negeri ini terombang-ambing dan menjadi bulan-bulanan menyangkut pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Situasi semakin parah ketika peristiwa pelanggaran HAM itu justru terjadi di saat Indonesia sedang mempertahankan diri dalam perdebatan internasional tentang HAM; mulai dari kasus Timtim, Sampit, Aceh, Maluku, hingga meninggalnya Munir, tokoh pejuang HAM.

Tidak mengherankan jika kemudian anak bangsa ini menjadi sulit bahkan untuk sekadar mengangkat kepala. "Waktu itu saya sedang berada di Korea Selatan. Ketika mendengar insiden Santa Cruz (Timtim) tahun 1991. Saya yakin ini adalah awal kehancuran>h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<," ungkap mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

Alatas mengakui tidak bisa lagi mengingkari kenyataan karena insiden itu telah tersebar luas. Ia bahkan tidak mampu melakukan sedikitpun upaya untuk setidaknya "menutup" kasus serupa dengan bungkus "masalah internal".

"Yah, kalau sudah begini, saya mesti bilang apa? Peristiwa itu sudah tersebar secara luas. Waktu itu saya hanya bisa keliling untuk meyakinkan semua pihak dan bilang memang insiden itu terjadi, tetapi tolong dilihat juga apa yang telah kami lakukan," ujarnya seraya menyebutkan kesediaan Indonesia membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Alatas mengakui, masalah Timtim merupakan ganjalan yang cukup berat di era Orde Baru. Ia bahkan mengibaratkannya sebagai "kerikil dalam sepatu".

Kondisi itu dipicu oleh tidak sinkronnya situasi di lapangan dengan situasi di persidangan pada tataran internasional. Namun, dengan satu alasan, "demi Indonesia", Alatas melaju dengan kerikil yang tetap berada di dalam sepatunya tersebut.

Belum usai

Sayang, sebelum semuanya tuntas, Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto dengan serta merta memilih memerdekakan Timtim. Habibie yakin, pemberian kemerdekaan melalui referendum akan menghapus anggapan PBB bahwa Timtim belum melaksanakan 'right to self-determination' atau hak menentukan nasib sendiri.

Dan, meskipun telah menjelma menjadi Republik Demokratik Timor Leste, kenyataannya persoalan Timtim belumlah selesai. Indonesia masih terancam menghadapi pengadilan internasional.

Mau tidak mau, Indonesia masih harus berjuang keras mencegah kemungkinan tersebut. "Ini bukan hanya sekadar mencegah seorang jenderal menghadapi pengadilan internasional, tetapi lebih dari itu, ini adalah demi nama bangsa dan negara," tutur Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

Tanpa upaya itu Indonesia akan menjadi negara kelima di dunia yang harus menghadapi pengadilan internasional karena kasus kejahatan kemanusiaan.

Di luar kehendak seluruh bangsa, tiba-tiba Indonesia harus sejajar dengan bekas negara Yugoslavia dan Rwanda. Sayang, kesejajaran itu bukan dalam hal kebaikan melainkan dalam soal kejahatan kemanusiaan.

Tentu akan sangat sulit dibayangkan apabila semua itu benar-benar terjadi. Satu hal yang pasti, citra negeri yang sedang terpuruk ini pun akan semakin ambruk.

"Sekali lagi, buat saya ini bukan soal siapa yang akan menghadapi pengadilan, tetapi ini soal nasionalisme kita sebagai bangsa," kata Hassan Wirajuda. Menlu bersama jajarannya berusaha menyusun strategi sebaik mungkin untuk menangkis kemungkinan buruk tersebut.

Tak mengherankan jika semua itu dilakukan. Pada dasarnya, nasionalisme telah ada dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Bahkan, tidak terlalu berlebihan jika mengatakan bangsa dan negara Indonesia mungkin tidak pernah ada apabila pengakuan internasional terhadap kehadiran Indonesia tidak pernah diperjuangkan.

Diakui, perjuangan memperoleh pengakuan internasional bukanlah hal mudah. Misalnya, menghadapi sikap Rusia dan Amerika Serikat (AS). Hassan Wirajuda menjelaskan, Rusia tidak bersimpati terhadap Indonesia karena tidak ada perwakilan komunis dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Pemerintah Jepang pada 29 April 1945). Sebaliknya, AS pun sibuk dengan pragmatisme kondisi politik waktu itu.

Tatanan internasional

Lebih dari itu, baik Hassan Wirajuda maupun Ali Alatas menggarisbawahi, perjuangan diplomasi Indonesia tidak hanya pada tatanan nasional, melainkan tatanan internasional.

Hassan Wirajuda mengingatkan, ketika BPUPKI bersidang di Gedung Pancasila periode Mei hingga 1 Juni 1945, antara lain dibicarakan dasar negara dan rumusan Undang-Undang Dasar RI.

Pada waktu itu, Indonesia telah dengan tegas merumuskan dalam pembukaan dengan kalimat "bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa...". Rumusan ini tentu tidak bisa begitu saja diterima dunia internasional. Pada saat yang sama, tepatnya antara April-Juni 1945, PBB baru mengadakan pertemuan organisasi internasional (UNCIO) di San Fransisco.

Pada waktu itu dunia internasional bahkan belum berani menerima rumusan tersebut. Terminologi 'right to self-determination' pada waktu itu baru dipahami secara maksimal pada tingkat memerintah sendiri atau 'self-rule' bukan hak kemerdekaan.

Dengan kata lain, hak kemerdekaan hanya bisa didapat jika ada kesepakatan atau perjanjian antara pihak penjajah dan pihak terjajah.

Diakui, upaya ini memerlukan perjuangan diplomasi yang cukup alot dan gigih. Setelah Indonesia resmi menjadi anggota PBB ke-60 tahun 1950, kegigihan itu mulai menampakkan hasil pada pertemuan Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Dan, tahun 1960, perjuangan itu benar-benar berhasil ketika PBB secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, melalui Resolusi PBB Nomor 1514.

"Jadi, perjuangan diplomasi kita tidak hanya pada tatanan nasional, melainkan internasional. Kita berjuang dengan gigih melalui diplomasi luar biasa untuk mengubah persepsi dunia, dari tidak mengakui menjadi menerima dan mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa," kata Menlu Hassan Wirajuda.

Dengan pemahaman itu, mantan Menlu Ali Alatas dengan tegas menolak anggapan nasionalisme dalam politik luar negeri menipis dan kemampuan berunding menurun.

"Itu jelas salah karena perjuangan kita hingga pada tatanan internasional. Jika kita memang ingin bertindak sebagai pemimpin ASEAN, kita perlu kebijakan yang luar biasa dan berguna untuk semua orang serta didukung oleh semua pihak," ujarnya.

No comments:

A r s i p