Tuesday, September 4, 2007

Sjahrir Diculik


27 Juni 1946


Hari ini, 61 tahun silam, Perdana Menteri Soetan Sjahrir ditangkap dan diculik oleh sejumlah kesatuan bersenjata di daerah Solo. Penculikan Sjahrir hampir dipastikan ada hubungannya dengan konfigurasi politik di Indonesia yang makin runcing menyusul makin tajamnya sikap oposisi yang digalang kelompok Tan Malaka.

Soetan Sjahrir, yang naik ke kursi Perdana Menteri pada November 1945, secara terang-terangan memilih opsi perundingan dan diplomasi menghadapi Sekutu dan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Kunci kekuatan Sjahrir terletak pada reputasinya yang bersih dari unsur Jepang dan dukungan kuat dari duet Soekarno-Hatta. Dukungan Soekarno-Hatta ini pula yang menjadi kunci keberhasilan Sjahrir bertahan di kursinya hingga 1947.

Di sisi lain, Tan Malaka yang baru saja menampakkan diri ke hadapan publik usai Proklamasi dibacakan, bergerak di luar lingkaran pemerintah dan bahkan menggalang kekuatan oposisi. Pokok argumen yang digunakan Tan Malaka untuk menggelar oposisi terletak pada kampanye "Merdeka 100 persen tanpa perundingan" atau "Berunding dengan pengakuan merdeka tanpa syarat lebih dulu".

Argumen Tan Malaka ternyata disambut oleh kalangan muda, sebagian besar militer, dan laskar-laskar perjuangan nonorganik. Pada awal 1946, Tan Malaka berhasil membangun kelompok oposisi yang didukung 141 organ, termasuk didukung oleh Panglima Besar Soedirman. Kelompok ini menamai dirinya sebagai Persatuan Perjuangan.

Upaya mencari titik temu antara Sjahrir dan Tan Malaka bukannya tak pernah dilakukan. Sejak pekan-pekan pertama kekuasaan Sjahrir, keduanya sudah pernah bertemu dua kali. Tetapi kompromi ternyata tak pernah terjadi.

Situasi makin memanas setelah Minimum Program Persatuan Perjuangan yang diajukan Tan Malaka untuk diadopsi oleh pemerintahan Sjahrir, secara terang-terangan ditolak. Sjahrir berdalih, hanya dua orang di kabinet yang menyetujui Minimum Program diadopsi oleh pemerintah. Dua orang itu disebut-sebut adalah Abdoel Madjid dan Ir. Sakirman.

Dalam situasi yang genting itu, Soekarni datang menemui Hatta dan memintanya menemui Tan Malaka untuk menyelesaikan kekusutan politik itu. Hatta menolak. Katanya: "Jika aku bukan Wakil Presiden, tentu aku pergi menemui dia, sebab dia lebih tua dari aku dan lebih lama pula dalam perjuangan. Tetapi dalam keadaan sekarang, aku harus tunduk kepada protokol. ...Sebaiknya Tan Malaka datang menemui aku. Keselamatannya akan dijamin ...dan ia pun bebas bicara."

Setelah kegagalan memertemukan Tan Malaka dan Hatta, ganti kubu Sjahrir yang memberi tekanan pada kelompok Tan Malaka. Dalam kongres Persatuan Perjuangan III di Madiun pada 17 Maret 1946, tokoh-tokoh kunci yang mendukung Persatuan Perjuangan ditangkap dan dipenjarakan. Mereka adalah Abikoesno, Mohammad Yamin, hingga Soekarni.

Meruncingnya situasi politik di Indonesia sampai pada puncaknya ketika Sjahrir ditangkap dan diculik pada 27 Juni 1946 itu. Soekarno bertindak cepat dengan mengumumkan negara dalam keadaan bahaya dan menuntut agar Sjahrir secepatnya dibebaskan. Tekanan yang diberikan Soekarno terbukti ampuh dan Sjahrir pun dibebaskan oleh para penculiknya.

Dari sinilah dakwaan terhadap Tan Malaka disusun. Tan Malaka didakwa terlibat dalam penculikan Soetan Sjahrir. Tan Malaka dipenjara hingga September 1948 tanpa proses perundingan. Ia dibebaskan oleh pemerintah untuk menarik simpati kelompok radikal sebagai penyeimbang atas "gerak revolusioner" yang digelar oleh Moesso yang berujung pada peristiwa Kudeta Madiun 1948.

Penangkapan Tan Malaka sendiri memudahkan proses perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda. Penangkapan Tan Malaka membuat kelompok radikal yang anti-perundingan seperti "kehilangan induk". Itulah sebabnya Ben Anderson menyebut penangkapan Tan Malaka sebagai "akhir dari apa yang disebut sebagai revolusi Indonesia".

Sumber: Jurnal Nasional, 27 Juni 2007

No comments:

A r s i p