Tuesday, September 11, 2007

Kasus Munir di Mata Publik Belanda


Endang Suryadinata

Tiga tahun wafatnya Munir baru diperingati. Munir memang bukan Socrates, filsuf Yunani yang mau meminum racun. Namun, pejuang HAM asal Batu itu diracun dalam perjalanan dari Jakarta, Singapura, menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Dia meninggal dua jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam.

Yang menyelidiki bahwa kematian Munir akibat racun arsenik dalam dosis yang sangat mematikan adalah NFI, Institut Forensik Belanda. Tidak heran jika publik Belanda punya minat besar pada kasus Munir.

Misalnya, banyak kalangan di negeri Kincir Angin ini menyambut gembira perkembangan terbaru selama tiga tahun terakhir, yakni kasus Munir menggelinding lagi di pengadilan kita. Yang paling menarik dalam sidang lanjutan peninjauan kembali kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 Agustus 2007, jaksa penuntut memutar hasil sadapan pembicaraan Pollycarpus Budihari Priyanto dengan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan. Rekaman selama 21 menit yang tidak dimasukkan dalam memori peninjauan kembali itu memperkuat hubungan Polly dengan Badan Intelijen Negara. Polly mengakui suara dalam rekaman itu memang suaranya (Kompas, 23/8).

Melibatkan negara

Dalam keyakinan sebagian publik, termasuk beberapa aktivis HAM di Belanda yang punya empati pada perjuangan Munir atau Suciwati istrinya, kasus Munir memang melibatkan negara. Menurut aktivis HAM Daniel Reintjes yang beberapa kali ke Indonesia, setidaknya ada oknum yang bertindak atas nama kepentingan negara atau rezim. Bagi si pemberi racun arsenik yang menyebabkan Munir mati, apa yang telah dilakukan Munir dianggap membahayakan posisi pemerintah atau negara ketika itu.

Si pembunuh Munir boleh jadi bangga ketika menaburkan bubuk arsenik dalam minuman Munir seraya berkata, "Kami adalah negara", seperti teriakan Mussolini atau meniru ucapan Louis XIV, L’etat Est moi (Negara adalah saya).

Hemat penulis, si pembunuh jelas tidak punya motif pribadi, tetapi mengangkat motifnya ke level negara. Jadi, si pembunuh punya jiwa nasionalisme atau patriotisme serta menilai Munir tidak punya semangat atau jiwa seperti itu. Dalam keyakinannya, jika Munir tidak dibungkam dengan racun, dia akan semakin vokal "menjelek-jelekkan" martabat bangsa di negeri Belanda. Sekadar menyegarkan ingatan, rencana kepergian almarhum Munir ke Belanda adalah untuk melanjutkan studi Hukum Kemanusiaan pada Universitas Utrecht atas beasiswa ICCO, Organisasi Lintas Gereja untuk Kerja Sama Pembangunan.

Suciwati, istri almarhum Munir, seperti dikutip Radio Nederland baru-baru ini juga memberi pernyataan menarik yang mengundang berbagai pakar Indonesia di Belanda terpancing berkomentar. Suciwati di antaranya menyatakan bahwa motif pembunuhan suaminya dimaksudkan untuk menjatuhkan popularitas calon presiden dari militer, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan terpojoknya militer, semua yang terkait dengan militer, termasuk calon presiden, juga akan hancur reputasinya. Munir selama hidup tidak menyukai calon presiden dari militer.

Namun, Prof Nico Schulte- Nordholt, pakar Indonesia dari Universitas Twente di Belanda timur, tidak terlalu setuju dengan pernyataan terbaru Suci di atas. Menurut Nico, pernyataan Suci seperti hendak diarahkan kepada orang-orang militer yang berada di belakang Megawati yang ketika itu sedang berkompetisi dengan SBY dalam bursa pemilihan presiden langsung yang pertama di Indonesia.

Yang lebih rasional, lanjut Nico, memang ada pihak yang dengan segala usaha mencoba menggagalkan kepergian Munir ke Belanda. Para pembunuh Munir takut begitu tiba di Belanda, tempat orang bebas omong apa saja, Munir akan berbicara seenaknya tentang tingkah laku kelompok-kelompok militer dan intel tertentu.

Dan kita tahu, sepanjang 62 tahun RI, tidak pernah akan ada misteri yang bisa diungkap selama pelakunya berasal dari kalangan militer. Dari peristiwa 1965 hingga penghilangan aktivis atau tragedi Mei 1998, semua tertutup rapat. Berbagai rekomendasi tim pencari fakta menjadi sia-sia. Solidaritas korps menjadi penghalang kasus Munir, misalnya, akan bisa dituntaskan di pengadilan negeri ini. Kalau toh coba diungkap, pasti akan dicari pelaku yang sebenarnya bukan pelaku.

Bahkan tertarik dengan perkembangan kasus ini, dan dalam rangka tiga tahun peringatan wafat Munir, Universitas Utrecht, salah satu perguruan tinggi terkemuka di Belanda, menggelar forum diskusi seputar tiga tahun kasus Munir. Langkah ini tentu saja menambah daftar begitu banyaknya lembaga internasional yang punya perhatian besar kepada kasus Munir.

Membonsai peran Munir

Ironisnya di negeri sendiri kini justru muncul skenario membonsai atau mengecilkan perjuangan dan kontribusi Munir lewat berbagai media massa. Penulis menyimpan berbagai surat pembaca yang intinya mengerdilkan peran Munir, apa hebatnya dia dan menyesalkan langkah Suciwati, istri Munir, yang dinilai telah menjual kematian suaminya dan membuat kasus ini menjadi perhatian masyarakat dunia. Padahal, Suci sebenarnya hanya memberi respons kepada lembaga-lembaga internasional yang mengundangnya.

Upaya mengecilkan kontribusi Munir tentu harus dilawan. Banyak orang Belanda menyesalkan upaya semacam itu. Pasalnya, yang diperjuangkan Munir adalah sebuah perjuangan tegaknya keadilan dan martabat manusia, yang kini masih belum terwujud di negeri ini. Ada banyak kepalsuan dan ketidakadilan yang tetap coba dilestarikan.

Apalagi, isu HAM memang lagi in di mata masyarakat internasional, termasuk di Belanda. Tidak heran Munir punya tempat tersendiri di mata dunia. Kita seharusnya bangga, ada sosok seperti Munir yang telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah bangsa ini. Mengecilkan Munir dan membiarkan kasusnya terus menjadi misteri justru akan membuat reputasi negeri kita kian tidak diperhitungkan.

Majalah Time dalam salah satu edisi baru-baru ini sudah menyebutkan kurang berpengaruhnya negeri kita dibandingkan dengan Laos atau Kamboja sekalipun. Ini memprihatinkan. Maka pengungkapan kasus Munir ialah test case NKRI mau menjadi bangsa seperti apa pada masa depan.

Endang Suryadinata Peminat Sejarah Indonesia- Belanda; Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

No comments:

A r s i p