Tuesday, September 4, 2007

Nasionalisme di Atas Papan Global

Oleh SUWARDIMAN

Di usia kemerdekaan Indonesia yang menginjak 62 tahun, rasa bangga menjadi warga bangsa ini justru kian pudar. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, saat ini warga yang tak lagi merasa bangga menjadi orang Indonesia semakin banyak. Kekecewaan publik bermuara pada berbagai kondisi yang mengimpit bangsa ini.

Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Kompas pada 14-15 Agustus 2007, tercatat 65,9 persen responden menyatakan bangga jadi orang Indonesia. Jumlah ini menurun cukup drastis dibandingkan dengan suara publik lima tahun lalu yang mencapai 93,5 persen. Penurunan itu diikuti meningkatnya perasaan tidak bangga.

Pada tahun 2002 tercatat hanya 5,1 persen responden yang menyatakan tidak bangga menjadi warga Indonesia. Pada 2005 meningkat menjadi 23 persen dan terus meningkat pada tahun ini menjadi 34 persen. Pendapat tersebut disuarakan secara merata oleh responden dari berbagai kelompok usia.

Kondisi tersebut berkorelasi dengan kekecewaan publik atas kondisi bangsa saat ini. Misalnya, terhadap Pemerintah Republik Indonesia, sebanyak 39,8 persen dari 834 responden menyatakan kecewa.

Adapun 39,6 persen responden lainnya bersikap apatis atas kondisi tersebut. Hanya 20,4 persen responden yang menyatakan bangga atas pemerintahan yang memimpin Indonesia saat ini.

Pudarnya rasa bangga sebagai bagian dari warga negara Indonesia ini boleh jadi mencerminkan menipisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Berbagai masalah yang dihadapi negara ini menggerus semangat kebangsaan warga Indonesia. Sumber kekecewaan responden paling banyak bermuara pada persoalan perekonomian serta masalah penegakan hukum di negara ini.

Saat ditanyakan kebobrokan bangsa ini yang paling membuat malu sebagai orang Indonesia, sebanyak 51 persen responden secara spontan menjawab masalah korupsi dan penanganannya.

Masa lalu

Tak dapat dimungkiri, pengalaman masa lalu memberi kontribusi pada kondisi yang berkembang saat ini. Nasionalisme selama ini diyakini sebagai satu cara dalam mendefinisikan konsep negara bangsa.

Padahal, seperti yang dinyatakan oleh Hans Kohn (Nasionalisme: Apa Arti dan Sejarahnya, 1984), nasionalisme juga bisa menjadi tenaga yang memecah jika tidak dilunakkan oleh semangat liberal yang berupa toleransi dan kompromi.

Terkait tesis yang diutarakan Hans Kohn tersebut, sejarah nasionalisme bangsa Indonesia memang telah mengalami perjalanan yang cukup rumit. Bangunan nasionalisme Indonesia justru mengalami tantangan yang jauh lebih besar setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang.

Pemerintahan Orde Baru membentuk dan menancapkan konsep nasionalisme dengan cara represif yang memberi tekanan pada negara kesatuan sentralistik.

Masalah-masalah yang mengancam ideologi kebangsaan diselesaikan dengan pendekatan kekerasan. Pendekatan itu dilakukan dengan tujuan pragmatis yang jelas: stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.

Yang menjadi masalah adalah ketika stabilitas politik yang diciptakan itu didedikasikan untuk pembangunan ekonomi yang tidak pro-pemerataan. Akibatnya, banyak daerah yang merasa terabaikan dan merasa tidak diperhatikan oleh pusat. Padahal, sumber daya alam di daerah dikeruk habis, sementara masyarakat di daerah itu tetap terpinggirkan.

Maka, yang terjadi kemudian, ketika pemerintahan Orde Baru runtuh dan pemerintahan pasca- reformasi berjalan, adalah munculnya berbagai gejolak yang mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

Berbagai gugatan pun lahir, terkait konsepsi nasionalisme yang selama ini dijadikan alat oleh pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan sentralistik.

Ancaman

Ironis! Di tengah gelombang keterbukaan dan arus demokratisasi, bangunan nasionalisme justru semakin terancam. Sejumlah masalah yang muncul di antaranya adalah fenomena disintegrasi, mulai dari pertikaian antaretnis, isu separatisme di sejumlah daerah, konflik antaragama hingga konflik politik lokal di berbagai wilayah.

Di sisi lain, sentimen kedaerahan meningkat seiring berkembangnya semangat otonomi daerah yang diiringi goyahnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Era keterbukaan dan desakan antisentralistik mendorong gerakan dan tuntutan baru agar daerah-daerah diberi kebebasan lebih luas untuk mengelola dan mengembangkan wilayahnya.

Maka, semangat pemekaran daerah yang berkembang seolah menjadi air bah yang tak terbendung. Berbagai masalah pascapemekaran, seperti konflik perbatasan, perebutan sumber daya alam antardaerah, dan konflik pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, jadi masalah baru.

Wacana negara federal pun sempat marak dibincangkan, lagi-lagi Indonesia sebagai negara bangsa dianggap terancam. Terlebih, setelah terjadi gejolak di beberapa daerah untuk memerdekakan diri dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perpecahan di tataran sosial pun mengancam integrasi nasional. Berbagai konflik antaretnis merebak mulai dari kasus Ambon, Poso, Kalimantan Barat, sampai pertikaian antarkampung menjadi soal yang datang beruntun. Gugatan kepada negara pun meningkat. Negara dianggap sudah tidak lagi mampu menjamin hak warga untuk memperoleh rasa aman.

Dalam hal ini publik sepakat bahwa masalah-masalah yang lahir pascareformasi menjadi ancaman besar bagi nasionalisme bangsa Indonesia.

Mayoritas responden menyatakan ancaman besar atas bangunan nasionalisme bangsa Indonesia tertumpu pada masalah-masalah seperti menguatnya sentimen keagamaan dan sentimen kedaerahan di tengah masyarakat, kurangnya perhatian terhadap budaya lokal, hingga derasnya arus globalisasi serta gelombang budaya dan kapital asing yang tak terbendung (lihat grafis).

Sementara itu, perhatian publik tertuju kepada tiadanya kepemimpinan bangsa yang kuat saat ini. Hal tersebut disuarakan oleh 88,8 persen responden yang menilai masalah itu menjadi ancaman besar bagi bertahannya nasionalisme bangsa Indonesia.(Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p