Saturday, September 22, 2007

Jajak Pendapat "Kompas"


Perubahan Kepemimpinan Nasional Dilematis

TOTO SURYANINGTYAS

Kendati ada kemauan publik yang cukup kuat untuk menerima perubahan dalam kepemimpinan nasional, hingga saat ini belum muncul nama baru yang bisa menggeser dominasi elite-elite lama dalam benak masyarakat. Demikian juga tentang gagasan pencalonan presiden dari jalur perseorangan. Meski diterima publik, hal itu belum memiliki makna konkret.

Gagasan untuk memunculkan kader baru sebagai calon pemimpin bangsa kembali menguat tatkala wacana di ruang publik berangsur-angsur dipenuhi lagi dengan berbagai gugatan ketidakpuasan atas kondisi politik dan ekonomi nasional. Kekecewaan atas kinerja presiden yang dinilai terlalu kompromistis dengan partai politik serta citra partai politik yang tidak aspiratif kian mendorong perwujudan gagasan pencalonan tanpa melalui parpol.

Secara normatif, ide tentang calon perseorangan memang belum menjadi sebuah koridor politik yang legal. Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum...". Artinya, kalau ada kehendak memajukan calon presiden tanpa parpol, pertama-tama harus kembali melakukan perubahan konstitusi.

Terlepas dari belum tersedianya koridor politik dan hukum untuk calon perseorangan, kemunculan tokoh perseorangan sebagai alternatif pemimpin nasional baru sebenarnya bisa menjadi jawaban atas dua hal sekaligus. Pertama adalah jalan keluar atas kiprah parpol yang selama ini dinilai kurang mampu mengartikulasikan aspirasi rakyat konstituennya. Kedua, adalah sebagai alternatif keluar dari mata rantai kekuasaan para elite politik pascareformasi yang dinilai belum mampu membawa perbaikan kondisi bangsa.

Preferensi tak berubah

Harapan ideal boleh saja tinggi, tetapi citra politik yang tertanam dalam benak publik ternyata tak selamanya sejalan dengan ide publik sendiri. Gambaran hasil jajak pendapat ini mengungkapkan preferensi pilihan tokoh nasional ternyata belum berbeda dari kondisi menjelang Pemilu 2004.

Pada saat menyatakan pilihan siapa yang dianggap paling layak dan akan dipilih sebagai presiden dalam pertarungan calon presiden tahun 2009, nama Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri kembali muncul sebagai dua nama paling favorit. Di belakangnya disebut pula nama Amien Rais dan Sultan Hamengku Buwono X, yang menjelang Pemilu 2004 juga menjadi salah satu yang difavoritkan.

Jika dilihat secara keseluruhan dari nama-nama yang muncul, tampak bahwa masyarakat saat ini belum memiliki referensi nama baru yang cukup layak bertanding melawan nama-nama elite politik lama. Bahkan, munculnya nama Sultan HB X, Hidayat Nur Wahid, dan Wiranto sebenarnya lebih mirip pola lama yang kembali berulang.

Berdasar catatan hasil jajak pendapat pertengahan tahun 2003, nama-nama itu juga sudah muncul ke permukaan membayangi Yudhoyono dan Megawati saat itu. Bedanya, nama-nama seperti Sultan HB dan Hidayat Nur Wahid tidak terkomunikasikan kepada publik dan akhirnya "tenggelam" oleh popularitas Yudhoyono maupun Megawati.

Tokoh lainnya yang memiliki basis massa atau kedudukan tertentu pun masih terlalu jauh terpaut dengan popularitas Yudhoyono dan Megawati. Nama Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, atau bahkan Wapres Jusuf Kalla, dalam jajak pendapat ini hanya mendapat sedikit apresiasi responden. Ironisnya, hingga kini tidak juga muncul tokoh muda yang bisa menyegarkan suasana pertarungan politik nasional.

Gambaran ambiguitas jawaban responden makin kentara jika membandingkan preferensi mereka terhadap calon presiden yang lebih muda usia (40-50 tahun), berpendidikan minimal sarjana, berasal dari Jawa, sipil, dan laki-laki.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa belum juga muncul nama baru di luar elite-elite lama yang rekam jejak kepemimpinannya sudah sering tidak memuaskan oleh publik?

Peran parpol yang kurang mengakomodasi kaderisasi pemimpin tampaknya menjadi salah satu penyebab terbesar mandeknya kepemimpinan nasional. Lingkungan parpol sebagai tempat ideal untuk kaderisasi pemimpin tak banyak memberikan kesempatan bagi kader muda untuk menggantikan elite mapan.

Kenyataannya, hampir semua parpol besar bahkan harus mengalami krisis partai dan perpecahan saat menyelesaikan tuntutan alih generasi kepemimpinan.

Sebanyak 63,9 persen responden jajak pendapat sebelumnya tentang parpol (September 2007) bahkan menilai partai politik saat ini cenderung sudah menjadi komoditas bagi kepentingan pribadi elite penguasanya.

Penyebab lain yang mungkin menghalangi munculnya kader pemimpin nasional baru adalah pandangan publik tentang peran parpol sebagai faktor pembobot dalam demokrasi. Parpol, bagaimanapun, masih dianggap sebagai salah satu lembaga yang diharapkan dapat mengontrol kekuasaan seorang pemimpin. Dengan demikian, memberi tempat pada parpol pada akhirnya merupakan pilihan untuk memperkecil kerugian masyarakat dari risiko otoritarianisme yang mungkin timbul jika peran parpol dinisbikan dalam pemilihan pejabat publik.

Di satu sisi, publik mengakui terpilihnya pemimpin nasional tanpa dukungan parpol membuka kemungkinan terpilihnya seseorang pemimpin yang lebih bebas dari tuntutan parpol. Selain itu, karena legitimasinya yang kuat akibat dipilih langsung oleh rakyat, diharapkan pula tingkat penyerapan aspirasi rakyat kemungkinan akan menjadi lebih tinggi. Tingkat persetujuan responden terhadap hal itu mencapai 53,8-62,1 persen.

Namun, selain faktor menguntungkan, risiko-risiko politik yang muncul dari proses pencalonan presiden tanpa peran parpol menunjukkan tingkat kekhawatiran responden yang lebih besar. Kekhawatiran akan munculnya presiden yang lebih banyak mengandalkan faktor popularitas (dan uang), sebagaimana terjadi dalam pilkada di beberapa daerah, di mata publik menjadi hal pertama yang dikhawatirkan. Sebanyak 76,0 persen responden menyatakan hal itu.

Selain itu, calon dari jalur perseorangan juga diragukan oleh 80,6 persen responden akan efektif menjalankan kebijakan dan dapat menciptakan stabilitas dalam pemerintahannya. Hal tersebut sesungguhnya menjadi peluang bagi partai politik untuk menunjukkan kesungguhan dalam melakukan kaderisasi dan memunculkan pemimpin yang berkualitas.

Sayangnya, selama ini partai politik lebih banyak menjual aksi daripada isi.(Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p