Tuesday, September 11, 2007

Mendambakan "Bonum Publicum"


Aloys Budi Purnomo

Amanat Mukadimah UUD 1945 (juga setelah diamandemen) memberikan empat tugas kepada bangsa Indonesia.

Pertama, membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam amanat itu tersirat dan tersurat dambaan akan bonum publicum, kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama.

Kontradiksi

Belakangan ini kian kita sadari betapa jauh keadaan bangsa ini dari amanat yang telah dicita-citakan dan diletakkan sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara oleh para founding fathers kita. Ada kontradiksi antara amanat Mukadimah UUD 1945 dan realitas di masyarakat kita.

Alih-alih melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pemerintahan kita cenderung sewenang-wenang dan bersikap mentang-mentang. Kontroversi terkait dengan kenaikan tarif tol adalah salah satu indikasi, bahkan bukti yang nyata. Kenaikan itu tidak dikonsultasikan kepada DPR, khususnya komisi yang membidangi transportasi. Tarif Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) yang disamaratakan menjadi Rp 6.000 untuk jarak jauh-dekat menafikan perbedaan tarif Tol Jagorawi dan beberapa tol lain yang berbeda untuk setiap pintu keluarnya.

Pemerintah lebih pro kepada kepentingan pengusaha/investor ketimbang kepentingaan masyarakat. Dalih "jalan tol bukan untuk jarak dekat, dan kalau tak mau bayar tarif tol yang mahal, ya jangan masuk jalantol", sungguh menyakitkan. Kontroversi kenaikan tarif tol membuktikan betapa pemerintah tidak memihak kepada dambaan rakyat akan terciptanya bonum publicum.

Bangsa ini belum juga mengalami kemajuan kesejahteraan umum, bagian dari bonum publicum. Rakyat kita justru setiap kali dibikin limbung karena berbagai persoalan yang menggunung. Tiap kali bulan Ramadhan di depan hidung, saat itu juga harga sembako turut melambung. Belum lagi nanti menjelang Lebaran, tarif kendaraan umum pun ikut naik.

Dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan kita kerap kali menjadi ajang komersialisasi yang membebani rakyat. Gedung-gedung sekolah negeri yang ambruk ada di mana-mana.

Setiap tahun selalu saja ada persoalan-persoalan yang mengabaikan, bahkan melanggar hak- hak asasi manusia dalam dunia dan sistem pendidikan kita. Akibatnya, bangsa ini tidak kunjung cerdas dalam menghadapi berbagai persoalan, bahkan seolah tanpa visi yang jelas bagi masa depan.

Tanpa nurani

Dari kasus kenaikan tarif tol, berlarut-larutnya penderitaan yang dialami kurban lumpur Lapindo, hingga melambungnya harga sembako membuktikan bahwa kita kerap kali hidup tanpa nurani, terutama para penguasa republik ini. Konversi minyak tanah ke elpiji tidak disertai dengan persiapan dan pengelolaan yang matang. Akibatnya, justru di banyak tempat rakyat mengalami kesulitan.

Semua itu menjadi ironi yang menggejala di negeri kita akhir- akhir ini. Rakyat dijejali kenaikan harga komoditas dan tarif jasa bertubi-tubi. Dipastikan, semua akumulasi dari kenaikan harga dan tarif itu akan berefek domino ke komoditas lainnya. Akibatnya, kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari bakal melambung. Rakyat menjadi linglung.

Dalam kasus kenaikan tarif tol dan harga minyak, kita melihat bahwa pemerintah memang tidak memiliki sense of crisis, untuk tidak mengatakan bahwa mereka mengambil kebijakan tanpa perasaan dan nurani. Karena itu, kebijakan-kebijakan yang diambil telah pernah ditandai oleh preferential option for and with the poor, keberpihakan terhadap dan bersama kaum miskin (Michael Taylor, Dilarang Melarat, 2007).

Hal ini kian menegaskan bahwa segala bentuk ketidakadilan, kemiskinan dan penderitaan memang merupakan "produk sejarah dan ciptaan manusia", khususnya mereka yang berkuasa (Eleazar Fernandez, Toward a Theology of Struggle, 1994:36).

Dengan kebijakan-kebijakan yang diambil tanpa landasan nurani yang jernih, pemerintah telah mengabaikan kepentingan yang lebih hakiki yang seharusnya disadari, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sayang, setiap kali, pemerintah kehilangan momentum untuk menjawab dambaan rakyat akan terciptanya bonum publicum.

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, Pemimpin Redaksi Majalah Inspirasi, Semarang

No comments:

A r s i p