Tuesday, September 11, 2007

Rekrutmen Pimpinan ala Demokrasi


Penulis: Sofyan S Harahap, Guru Besar FE Universitas Trisakti, Jakarta

Banyak sistem sosial yang kita anut sekarang ini diambil dari praktik zaman sebelum Masehi (BC) dengan modifikasi di sana-sini yang disesuaikan dengan budaya zaman awal peradaban yang diterapkan di dunia Barat. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang diklaim diawali di Barat maka berdampak pada penguasaan Barat terhadap dunia termasuk dunia ketiga. Dunia ketiga menjadi sumber bahan mentah sekaligus menjadi pasar komoditas, produk, dan jasa yang diproduksikan Barat serta penguasaan politik dan ekonomi. Penguasaan dan hegemoni Barat atas Timur/dunia ketiga ini kendatipun secara de jure sudah terbebas atau sudah merdeka, dalam kenyataannya secara de facto penguasaan ekonomi politik itu masih berlangsung dalam berbagai bentuk dan sistem yang dipelihara baik oleh Barat maupun oleh pemimpin yang menguasai dunia ketiga saat ini. Pemimpin dunia ketiga itu sadar atau tak sadar menjadi komprador Barat.

***

Barat itu bukan hanya memiliki sistem ekonomi dan politik yang dijual atau dibawanya baik di awal kolonialismenya maupun dibawa dan ikut kemudian. Tetapi yang jelas yang dibawanya adalah paket ekonomi sosial budaya yang untuk mudahnya kita sebut saja ideologi. Ideologi Barat inilah yang kita ikuti baik dalam tata cara bernegara, berekonomi, maupun berbudaya. Dan oleh Barat dengan surplus kekayaan yang dimilikinya, ideologinya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme) itu dianggap merupakan puncak pencapaian prestasi manusia atau the end of history minimal oleh Francis Fukuyama. Dan banyak di antara kita sangat membangga-banggakannya dan menjadi salemen, pendukung, dan praktisi ideologi demokrasi liberal ini.

Dunia Barat sendiri ideologi ini sudah menganggapnya sebagai barang final yang harus diikuti seluruh umat manusia dan dunia. Itulah yang terbaik untuk manusia jika ingin menjadi maju dan modern. Oleh karena itu, semua akal, semua, unsur, kekuatan, termasuk kekuasaan teknologi, ilmu pengetahuan, fasilitas pendidikan, keuangan, dana bantuan, donor, dan lain sebagainya, ideologi itu selalu dijadikan dasar dan persyaratan untuk diberikan kepada dunia ketiga. Bahkan semua kerangka perjanjian yang ada di berbagai badan dunia termasuk PBB serta organisasi di bawahnya, IMF, World Bank, dan sebagainya harus tunduk pada kerangka ideologi tadi. Perjanjian IMF, misalnya, mewajibkan anggotanya untuk tidak menggunakan sistem moneter yang menggunakan dasar emas, anggota IMF wajib mengikuti sistem moneter fiat money kendatipun sistem ini jelas-jelas merugikan dunia ketiga. PBB memberikan hak veto kepada 5 negara tertentu tanpa melihat kepentingan ratusan kepentingan dunia ketiga. Tentu kalau diamati masih banyak lagi ketentuan yang merugikan hak-hak dan kemajuan dunia ketiga yang diaminkan pemimpinnya. Ini berarti dunia ketiga sudah harus mulai berpikir apakah masih mau menjadi korban ideologi dunia Barat? Mari kita kaji salah satu yang dibangga-banggakan itu, demokrasi.

***

Demokrasi berarti pemerintahan atau pemimpin atau eksekutif ditentukan oleh rakyat. Demokrasi sekarang ini berawal dari zaman Yunani, yang dalam memilih pemimpinnya seluruh rakyat berkumpul di suatu tempat serta dengan bebas mengeluarkan pendapat dan pilihan pemimpinnya. Untuk menjaga agar pemimpin ini berjalan dengan baik tidak otoriter atau korup. John Acton meyakinkan kita bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung menyalahgunakan wewenang dan jika pemilik kekuasaan tidak diawasi maka pasti melakukan penyalahgunaan wewenangnya). Dari situasi ini maka muncul ide Montesque munculnya tiga badan independen yang menjalankan kewajiban sosial secara sendiri-sendiri tanpa saling melakukan intervensi, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Konsep pemilihan pemimpin (khususnya eksekutif) kemudian muncul menjadi berbagai variasi melalui lembaga 'partai politik' yang dianggap sebagai penampung aspirasi rakyat, atau melalui perwakilan yang akan duduk di lembaga parlemen yang akan mewakili rakyat sekaligus memilih atau mengawasi pemimpinnya.

Kalau dahulu di Indonesia kekuasaan itu sangat terpusat di tangan dan di sekitar Presiden, setelah Indonesia mengalami reformasi maka kekuasaan ini terbagi dan saat ini tampaknya terpusat di parlemen (partai politik) dan presiden. Saat ini kita telah memiliki metode pemilihan pemimpin yang kita nilai sangat demokratis melalui pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik. Jadi ada peran atau dominasi partai politik (dan presiden) dalam memilih pemimpin seperti presiden, gubernur, bupati, wali kota, bahkan Gubernur dan Deputi Gubernur BI, Panglima TNI, Kapolri, KPU, KPK, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Hakim Agung, komisi-komisi lain dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang yang muncul, apakah parlemen yang demikian berkuasa yang mewakili kepentingan rakyat benar-benar tidak terdistorsi sesuai dengan paradigma yang dikemukakan John Acton di atas? Power tends to corrupt?

***

Dari berbagai fakta yang kita lihat, ternyata situasi yang kita alami saat ini memang seolah membenarkan tesis John Acton. Bahkan salah satu temuan Transparency International pernah mengemukakan bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling korup, belakangan peradilan termasuk kejaksaan (yudikatif), dan kepolisian. Terakhir dalam proses pencalonan Gubernur DKI terungkap betapa besar dana yang harus dibayarkan untuk bisa menjadi calon wakil gubernur saja. Indonesia Corruption Watch juga menemukan aliran dana (korupsi) dari BI ke DPR dalam berbagai maksud. Dalam beberapa bulan belakangan ini banyak sekali pemimpin sebagai hasil proses yang dilakukan melalui pilkada yang disaring dari partai politik ternyata terbukti korupsi. Tanpa melakukan generalisasi, bukan tidak mungkin berbagai proses pemilihan pemimpin kemungkinan besar sudah terdistorsi dengan uang atau money politic, idealisme rekrutmen pemimpin sebagaimana yang kita kenal saat ini ternyata sudah terdistorsi karena kesalahan sistem dan terlalu besarnya kekuasaan legislatif yang dikuasai partai politik. Ini membuktikan bahwa klaim demokrasi yang dianggap sebagai model ideal dalam rekrutmen pemimpin tidak berlaku di Indonesia.

Keadaan ini ternyata terbaca oleh Mahkamah Konstitusi dengan membuka peluang calon perseorangan (tanpa melalui partai politik) untuk menjadi peserta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang mengoreksi UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah. Keputusan ini tentu patut dipuji karena akan mengurangi distorsi demokrasi yang terjadi saat ini. Dan seyogianya keadaan ini akan berlaku juga untuk pemilihan presiden. Namun sebagaimana sifat manusia yang haus atau yang ingin mempertahankan kekuasaan, proses pemberian peluang bagi calon perseorangan ini pasti akan dihalangi oleh berbagai cara oleh partai politik yang memegang kekuasaan dalam rekrutmen pemimpin saat ini. Hanya dengan tekanan rakyat yang terus-menerus oleh rakyat yang masih memiliki idealismelah, proses demokrasi yang sesungguhnya akan dapat kita wujudkan di negara tercinta ini. Proses rekrutmen pemimpin merupakan agenda rakyat yang harus kita cari metodenya yang sesuai dengan ideologi, budaya, dan sifat bangsa kita. Dan tidak harus sama dengan apa yang diklaim berhasil di tempat lain, misalnya di Barat. Di negara feodalis dengan peran oknum, pemimpin sangat dominan, maka sudah selayaknya pemimpin kita khususnya elite partai politik yang menguasai kekuasaan ini sekarang menyadari kerentanan penyalahgunaan kekuasaannya atau abuse of power-nya demi mewujudkan bangsa yang maju berakhlak dan bebas korupsi di tengah globalisasi yang tingkat kompetisinya semakin tajam.

No comments:

A r s i p