Tuesday, September 4, 2007

MK dan Ranggalaweanisme

Mohammad Fajrul Falaakh

Mahkamah Konstitusi memberikan hak pencalonan kepada perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Putusan MK Nomor 5/PUU-IV/2007) meskipun pengertian calon perseorangan tak cukup jelas. MK memberi hak kepada "seluruh" warga negara setelah membatalkan hak eksklusif partai politik untuk memajukan calon dalam pilkada.

MK memberi hak, tetapi pembentuk undang-undang harus mengaturnya. Tulisan ini membahas ketidakdisiplinan MK dalam menerapkan jurisprudence of judicial review dan menganut konstitusionalisme.

Kerugian konstitusional

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi hak nominasi hanya kepada parpol, sendiri atau berkelompok. Hak nominasi dipegang oleh parpol atau koalisi parpol peraih 15 persen kursi DPRD atau akumulasi suara sah dalam pemilu DPRD setempat. Namun, parpol wajib membuka kesempatan luas kepada perseorangan, yang memenuhi syarat sebagai kepala/wakil kepala daerah, dan memprosesnya melalui mekanisme yang demokratik dan transparan serta memerhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

Model ini lebih partisipatif dibandingkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang tidak mengharuskan parpol menjadi "panitia seleksi" bagi calon perseorangan. MK bahkan membenarkan kedudukan parpol dan ketertutupan peluang langsung bagi calon perseorangan dalam UU Pemerintahan Daerah karena Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 membolehkan "pengurangan" hak warga negara melalui UU (Putusan MK No 006/PUU-III/ 2005 dan No 010/PUU-III/2005).

Atas permintaan Lalu Ranggalawe, anggota DPRD Lombok Tengah dari Partai Bintang Reformasi yang menanti Pilkada Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2008, MK menguji kembali isu di atas. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, permohonan diterima jika pemohon mengalami kerugian konstitusional (Pasal 51). MK merinci ukuran kerugian dengan menyejajarkan kerugian aktual dan kerugian potensial (Putusan MK tahun 2005 menyebutkan, "Kerugian spesifik yang aktual atau kerugian potensial yang menurut penalaran wajar dapat terjadi").

Menurut ranggalaweanisme, kedudukan parpol justru merugikan hak konstitusional pemohon karena keinginannya untuk langsung mencalonkan diri dalam Pilgub NTB 2008 tidak dimungkinkan oleh UU itu, sedangkan parpol sudah begitu buruk dan tak akan mencalonkannya.

Perilaku MK

MK menguji isu tersebut tanpa merujuk Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, sekaligus abai terhadap keberhasilan calon perseorangan dalam memperoleh dukungan parpol dan memenangi pilkada. MK justru menyetujui hipotesis politisi DPRD tentang kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh UU Pemda, ataupun tentang keinginan proyektif Ranggalawe untuk mencalonkan diri dalam Pilgub NTB tahun depan, tetapi sudah terhalang UU Pemerintahan Daerah. Sesuai pendapatnya tahun 2005, seharusnya MK menolak permohonan Ranggalawe karena halangan dari UU Pemda bukan inkonstitusional.

MK semakin jauh dengan menerima "keinginan hipotetik tanpa verifikasi" sebagai dalil hukum dan membenarkannya sebagai alas hak (legal standing). Anggota DPRD yang partainya masih dapat berkoalisi dalam pilkada 2008 dinilai telah mengalami kerugian konstitusional, bukan karena pemohon tidak dicalonkan untuk pilkada tahun depan, melainkan berpotensi merugi sebagai perseorangan karena sudah berkeinginan (tanpa verifikasi) untuk mencalonkan diri, tetapi masih terhalang oleh UU Pemerintahan Daerah. MK terlalu bersemangat memutus perkara yang "belum matang" (unripen).

MK keliru mengukur kerugian konstitusional pada perkara nyata, bahkan kesulitan memilih ukurannya sendiri. MK gagal membuktikan kerugian konstitusional. Seharusnya MK tidak membatalkan UU yang tidak terbukti merugikan pemohon. Dengan kata lain, ranggalaweanisme tak seharusnya diterima (niet onvankelijke verklaard) karena berdasarkan alas hak yang tak dapat diterima (inadmissible legal standing): anggota parpol dan DPRD ataupun partainya dapat mengikuti pilkada tahun 2008 di NTB (belum diproses); pemohon bukan warga negara nonparpol dan tak mengalami potensi kerugian konstitusional apa pun. Seorang hakim dinilai tak merugi meskipun harus meniti karier lebih lama atau lebih sulit untuk menjadi hakim agung daripada calon nonkarier (Putusan MK No 004/PUU-I/ 2003).

Nalar MK mengundang pendapat, syarat usia calon kepala daerah atau hakim agung bersifat merugikan karena menghalangi keinginan mereka yang berusia di bawahnya. Batas usia pensiun hakim atau pegawai sipil, kepolisian, dan militer pun bersifat merugikan karena membatasi kesempatan semua warga negara dalam pemerintahan. Mungkin keberadaan panitia seleksi anggota KPU dan KPK akan dinilai inkonstitusional karena menghalangi kesempatan semua warga negara untuk langsung mendaftarkan diri ke DPR. Untunglah bahwa yang digugat adalah kinerja Pansel KPU (Kompas, 29/8/2007).

MK berdisiplin

MK memang menalar dirinya sebagai warga biasa yang kebetulan berkuasa, bukan sebagai hakim menurut UUD 1945 sehingga menolak "pengawasan" oleh Komisi Yudisial. Maka nalar MK dapat memberi hak berlebih kepada kelompok Ranggalawe dibandingkan warga negara nonpartai. MK membolehkan tokoh dan jajaran "partai gurem" berpindah ke jalur seleksi nonpartai, berkampanye sebagai calon perseorangan dan meneriakkan independensi. Kelompok elite seperti anggota parpol dan DPRD diberi kesempatan untuk menjadi calon perseorangan dalam pilkada, tetapi MK membatalkan kewajiban parpol untuk menawarkan diri sebagai "kendaraan" bagi perorangan warga negara (Pasal 59(3) UU Pemerintahan Daerah produk MK).

Amandemen konstitusi memberi wewenang umum kepada MK untuk "menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar". MK harus berdisiplin dan tak mengaburkan konstitusionalisme yang sedang dibangun bangsa ini.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM

No comments:

A r s i p