Tuesday, September 4, 2007

Indonesia dan Globalisasi

Oleh Sri Hartati Samhadi

Rekam jejak perjalanan Indonesia yang pekan ini genap berusia 62 tahun sebagian besar menunjukkan kegamangan bangsa ini menghadapi fenomena globalisasi. Di satu sisi perekonomian Indonesia begitu terbuka, tetapi di sisi lain integrasi Indonesia ke dalam perekonomian dunia lebih banyak ditandai oleh pemanfaatan peluang usaha di Indonesia oleh asing ketimbang sebaliknya.

Kendati tidak sedikit peluang dan manfaat yang dapat dipetik dari integrasi ekonomi global (yang ditandai oleh runtuhnya berbagai sekat yang selama ini membatasi aliran manusia, modal, dan informasi), globalisasi membuka pula kerentanan perekonomian dan bangsa Indonesia terhadap pengaruh luar.

Beberapa krisis ekonomi, termasuk dua kali krisis minyak, krisis utang, lalu krisis finansial 1997/1998, dan terakhir juga mini krisis pascakenaikan harga BBM tahun 2005-2006, adalah juga akibat dampak globalisasi.

Belum lagi bicara krisis dari aspek politik, demokrasi, budaya, jati diri, dan lainnya. Liberalisasi yang terlalu liberal membuat peran negara sangat terbatas dalam mengontrol ekonomi dalam negeri, seperti terhadap arus modal jangka pendek yang masuk dan keluar dalam jumlah besar.

Indonesia sudah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi pasar sejak awal 1980-an (bahkan mungkin jauh sebelumnya), antara lain dipicu dengan krisis minyak yang membuat Indonesia menyadari rawannya ketergan- tungan yang terlalu besar pada ekspor minyak mentah dan kepentingan meningkatkan efisiensi.

Upaya membuka diri itu dimulai dari diluncurannya Undang-Undang Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Disusul berbagai paket deregulasi yang sangat ekstensif pada awal dekade 1980-an hingga awal 1990-an, mulai dari deregulasi perbankan melalui Paket Oktober (Pakto) 1983, kemudian deregulasi moneter dan sektor keuangan, deregulasi fiskal, deregulasi perdagangan dan investasi.

Kebijakan deregulasi ini bisa dikatakan sangat liberal. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri mengakui Indonesia adalah salah satu negara yang perekonomiannya sangat terbuka.

Apalagi ditambah dengan berbagai komitmen liberalisasi yang dibuat dalam kerangka kesepakatan pasar bebas kawasan atau global, seperti Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (APEC), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belakangan ini.

Dibandingkan dengan beberapa negara berkembang setingkat, Indonesia termasuk paling bernafsu membuka pasar. Terlalu cepat dan prematur, sampai-sampai menciptakan kerapuhan dalam perekonomian yang diyakini sebagai salah satu akar penyebab krisis 1997.

Sebelum krisis, Indonesia sering disebut-sebut Bank Dunia dan IMF sebagai contoh sukses negara berkembang yang mampu memetik buah dari integrasi pasar global, terutama dengan masuknya arus investasi asing dan terbukanya akses ekspor Indonesia ke pasar global.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terbukti 62 tahun Indonesia merdeka fondasi perekonomian tidak sekokoh yang dibayangkan. Salah satunya, industri manufaktur yang menjadi lokomotif ekonomi sejak pertengahan dekade 1980-an ternyata begitu gampang runtuh bersamaan dengan tumbangnya rupiah dan rezim pemerintahan Soeharto pada 1997/1998.

Daya saing dunia usaha, terutama usaha besar yang dibangun dengan berbagai fasilitas dan kemudahan dalam pola patron-klien, ternyata keropos.

Struktur industri yang dangkal dan tidak adanya peningkatan dalam penguasaan teknologi membuat Indonesia kalah bersaing dengan pemain baru dan tak banyak bicara di industri-industri atau kegiatan yang bernilai tambah tinggi.

Begitu juga dengan sektor lain, seperti pertanian sebagai penyerap angkatan kerja terbesar, yang salah urus. Dari tahun ke tahun, ketergantungan impor kita terus meningkat, termasuk impor komoditas pangan penting, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula.

Tidak berbeda dengan di industri, dengan ketergantungan industri manufaktur pada impor barang modal dan bahan setengah jadi yang mencapai di atas 50 persen, baik untuk industri padat modal maupun padat karya.

Menciptakan persaingan

Akibat liberalisasi pasar, berbagai hypermarket asing juga menyerbu Indonesia, bukan saja di pusat perkotaan, tetapi hingga pinggiran sehingga mematikan pedagang kecil dan pasar tradisional. Produk dalam negeri sudah sejak lama tidak lagi menjadi tuan rumah di negara sendiri.

Sejak krisis 1997, peran asing semakin kuat, termasuk di sektor perbankan dan keuangan serta sektor-sektor vital seperti telekomunikasi dan perhubungan. Peluang pemain asing ini semakin terbuka lebar dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal yang baru, yang memberikan perlakuan sama terhadap investor lokal dan investor asing.

Pembatasan terhadap partisipasi asing semakin dikurangi dengan mempersempit batas-batas bidang usaha yang boleh dimasuki oleh asing dalam Daftar Negatif Investasi.

Selain kebutuhan modal untuk pembiayaan infrastruktur, motif utama lain mengundang masuknya asing pada pascakrisis adalah keinginan memasukkan keahlian (expertise) dan international best practice seperti good corporate governance dalam pengelolaan korporasi atau lembaga keuangan di Indonesia.

Hal itu pula kira-kira dasar semangat campur tangan IMF di masa krisis dengan injeksi dana darurat 53 miliar dollar AS: untuk mendisiplinkan Indonesia dengan rumusan Konsensus Washingtonnya. Intinya, perlu didatangkan orang asing atau tekanan dari luar untuk mendisiplinkan bangsa ini.

Alasan lain adalah, dengan masuknya pihak asing, diharapkan akan lahir industri-industri tangguh. Istilahnya mendatangkan sparring partner di kandang sendiri agar siap bertempur di pasar global. Akan tetapi, sayangnya itu tak terjadi pada industri yang terlalu lama menikmati proteksi berlebihan.

Ini yang menyebabkan kebijakan seperti industri substitusi impor gagal dan, sebaliknya, deindustrialisasi yang terjadi karena kebanyakan industri yang ada foot-lose dan tidak tertancap dalam. Di tengah serbuan arus persaingan global yang semakin sengit, hanya segelintir pemain Indonesia yang berhasil muncul.

Ini menyebabkan ambisi Indonesia mencatatkan 30 pemain kelas dunia tahun 2030 juga terasa sangat muluk-muluk. Kelihatannya saja perekonomian sudah begitu terbuka, tetapi ternyata integrasi ekonomi Indonesia dalam jaringan proses produksi global melalui spesialisasi vertikal dalam kegiatan industri begitu kecil.

Jumlah tenaga profesional Indonesia yang sudah mampu memanfaatkan peluang pasar kerja di negara lain juga kalah dibandingkan negara seperti India, China, Filipina, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand.

Momentum seperti Economic Partnership Agreement (EPA) yang ditawarkan oleh Jepang lebih dulu dicaplok negara lain karena keterlambatan kita berpikir, juga dalam kasus pematenan tempe dan batik.

Dampak lain liberalisasi arus modal, sejak merdeka, kita terus bergantung pada utang luar negeri secara gali lubang tutup lubang dan sulit keluar dari jeratnya. Pada masa Orde Baru, peran utang luar negeri dikamuflasekan dalam anggaran berimbang semu, dengan cara menyumpal defisit dengan utang.

Bersyukur, kita berhasil mengakhiri kontrak dengan IMF dan utang ke lembaga itu pun sudah berhasil kita lunasi tahun ini. Sekarang ini, meski rasio utang sudah berhasil ditekan, peran asing dalam pembiayaan defisit keuangan negara masih besar dengan masuknya asing melalui obligasi pemerintah atau pembelian surat utang negara (SUN).

Bahkan, untuk mengolah sumber daya alam (SDA) kita yang berlimpah, kita terus bergantung pada asing. Ladang-ladang minyak, gas, atau tambang mineral yang besar tetap dioperasikan oleh kontraktor-kontraktor asing, sedangkan hasil yang dinikmati masyarakat setempat sangat minim setelah kekayaan alam habis dikeduk.

Setelah krisis, Indonesia memang terkesan begitu demam panggung. Semangat liberalisasi tetap besar, tetapi lebih banyak di level menteri perdagangan, tanpa benar-benar melihat kesiapan pemain lokal yang sebenarnya memang tidak pernah benar-benar disiapkan. Atau mungkin sebaliknya, karena mereka terbukti tak pernah siap, maka dipaksakan adanya persaingan sehingga malah mati.

Di pihak pemerintah sendiri, dalam beberapa kasus terlihat adanya ambivalensi untuk membuka atau tidak membuka pasar, baik karena tekanan populis lokal atau karena kepentingan jangka pendek seperti menggenjot penerimaan negara dari pajak.

Contohnya, kebijakan bea masuk atau pajak yang cenderung memberatkan industri yang sudah ada atau membuat calon investor membatalkan rencana masuk. Jadi, problem sebenarnya lebih banyak ada pada kita sendiri karena kita memang tidak mengerjakan apa yang menjadi pekerjaan rumah kita.

Akhirnya, liberalisasi, atau nasionalisme seharusnya ditempatkan dalam konteks kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat konstitusi kita, UUD 1945. Istilah yang sering dipakai, nasionalisme humanis. Persaingan global atau membuka pasar harus tetap didudukkan dalam kerangka itu.

Artinya tidak harus antiasing, tetapi tidak juga berarti harus membuka pasar secara membabi buta. Seperti sekarang, semua barang, baik secara resmi atau selundupan, menyerbu masuk, membanjiri dan membunuh industri kecil lokal.

Keran impor pangan terus diperbesar sehingga membunuh petani lokal. Di pasar uang, asing bebas tanpa kekangan sehingga memunculkan kerentanan baru untuk terjadinya krisis.

Yang sering terjadi selama ini, globalisasi sering dijadikan kambing hitam atas salah kebijakan, ketidakmampuan kita bersaing, atau ketidakmampuan negara melindungi sebagian rakyat yang tertindas dan termarjinalisasi serta ketidakmampuan kita mengelola negara.

Termasuk rontoknya ekonomi petani dan kemiskinan serta pengangguran. Setelah 25 tahun mengecap globalisasi dan membuka pasar secara ekstensif, data Bank Dunia menunjukkan, 49 persen atau separuh penduduk kita tetap miskin dan berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan standar garis kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari.

Tidak ada yang bisa menjawab apakah, misalnya, petani kita pasti akan lebih makmur jika Indonesia terus menutup diri. Yang terlihat sekarang ini, karena terlalu lama dan sibuk berkutat atau ribut-ribut dengan persoalan-persoalan dalam negeri, bangsa ini gamang dan menjadi kehilangan kepercayaan diri menghadapi arus globalisasi.

Sibuk berantem sendiri, tahu-tahu kita jauh ditinggalkan. Hilangnya trust dan ruwetnya karut-marut persoalan di dalam negeri juga membuat lunturnya rasa solidaritas sosial, kebanggaan, rasa nasionalisme dalam menghadapi tekanan liberalisasi seperti ditunjukkan dalam polling Kompas.

Kesimpulannya, setelah 62 tahun, banyak pekerjaan rumah yang berhasil kita selesaikan, tetapi lebih banyak lagi yang belum selesai. Setelah 62 tahun, dalam istilah ekonom Pierre van der Eng, Indonesia masih di posisi sama seperti beberapa tahun sebelumnya: terperangkap dalam masalah yang sama di tengah tantangan yang berbeda (old problems, new challenges).

No comments:

A r s i p