Tuesday, September 4, 2007

Refleksi


PDF Cetak E-mail

Catatan A. Umar Said

Tentang Bung Karno, Suharto dan 17 Agustus 45

Dalam memperingati HUT Kemerdekaan (17 Agustus) yang ke-62, kiranya banyak sekali soal-soal serius atau masalah-masalah besar yang patut kita renungkan bersama. Sebab, selama 62 tahun, rakyat dan negara kita telah mengalami banyak sekali peristiwa besar dan berbagai situasi penting - yang positif maupun negatif - yang akan tercatat selamanya dalam sejarah bangsa.

Perlulah kiranya terlebih dulu diingat oleh kita semua bahwa selama umur Republik Indonesia yang 62 tahun itu separonya – presisnya 32 tahun – negara dan rakyat kita ada di bawah cengkeraman diktatur militer Orde Baru. Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa 32 tahun Orde Baru di bawah pimpinan Suharto dan konco-konconya, merupakan bagian dari sejarah Republik Indonesia yang paling gelap dan paling pengap selama ini ( bahkan, mungkin juga yang paling hitam sepanjang masa!)

Berlainan dengan periode antara 1945 sampai 1965 (selama 20 tahun) di bawah pimpinan Presiden Sukarno, yang merupakan periode yang bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia sebagai periode revolusi merebut kemerdekaan, dan perjuangan menentang neokolonialisme dan imperialisme (terutama AS), dan pemupukan solidaritas rakyat-rakyat Asia-Afrika, maka periode 1966-1998 (selama 32 tahun) di bawah pimpinan Jenderal Suharto adalah kebalikannya sama sekali.

Perbedaan sosok Bung Karno dan Suharto

Para pengamat politik yang berpandangan objektif dan jernih, dan para sejarawan yang bersikap jujur, tentunya melihat perbedaannya yang jauh dan besar sekali antara Republik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno dan Republik Indonesia di bawah Orde Baru atau rejim militer Suharto. Dan demikian juga kiranya, semua orang yang mendambakan terciptanya masyarakat adil dan makmur dan persatuan bangsa tentunya melihat juga jauhnya perbedaan antara sosok yang agung dari Bung Karno sebagai bapak bangsa - dan pejuang besar serta pemimpin rakyat - dibandingkan dengan sosok yang rendah dan kerdil sekali dari Suharto.

Kalau kita renungkan dengan dalam-dalam, dan kita pelajari sejarah bangsa dengan baik-baik, maka nyatalah bahwa Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin bangsa yang sampai sekarang ini paling besar jasanya kepada rakyat dan bangsa Indonesia, dan paling unggul dalam banyak hal, dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan jelas sekali kalau kita kaji kembali – dengan baik-baik dan dengan fikiran yang jernih dan hati yang jujur – sejarah perjuangan rakyat kita sejak lahirnya Budi Utomo sampai dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 45. oleh Sukarno-Hatta.

Siapa saja yang mempelajari –secara objektif dan menyeluruh -- sejarah perjuangan bangsa sampai tercapainya kemerdekaan akan melihat dengan jelas bahwa Bung Karno-lah yang sejak mudanya sebagai mahasiswa sudah menunjukkan dengan nyata tekadnya untuk mempersatukan perjuangan bangsa. Dalam usia mudanya ini ia belajar politik dari perjuangan pemimpin besar Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme

Adalah sangat menarik sekali untuk dicatat bahwa dalam usia sekitar 25 tahun ia telah membuat (dalam tahun 1926) satu tulisan yang sangat panjang dan bagus sekali, yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dari tulisan yang sangat panjang ini kelihatan dengan jelas sekali bahwa sejak usianya yang semuda itu Bung Karno sudah mempunyai gagasan-gagasan besar atau pandangan jauh tentang pentingnya persatuan perjuangan di antara golongan nasionalis, golongan Islam dan golongan Marxis di Indonesia.

Tulisan yang merupakan dokumen politik yang bersejarah ini, yang aslinya dimuat dalam Suluh Indonesia Muda dalam tahun 1926, dapat dibaca sekarang oleh siapa saja dalam buku Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama. Dalam tulisan panjang yang terdiri dari 23 halaman ini Bung Karno telah menuangkan prinsip-prinsip besar gagasannya mengenai persatuan bangsa. Dari tulisan yang dibuatnya dalam usia semuda itulah kita semua bisa melihat dengan jelas pendiriannya tentang pentingnya persatuan (atau kerjasama) antara nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dalam perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme.

NASAKOM dan Indonesia Menggugat


Rupanya, pandangannya yang ini jugalah yang sejak itu menjadi pembimbing utama sepanjang perjuangannya dalam memimpin gerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, sampai proklamasi 17 Agustus 45 dan, juga, sesudah berdirinya Republik Indonesia. Bahkan, ketika Republik Indonesia mengalami berbagai gangguan dari fihak kolonialisme dan imperialisme (Belanda, Inggris, dan AS terutama) Bung Karno dengan gigih dan teguh tetap berusaha bersikap setia kepada gagasan-gagasan besar yang sudah dimilikinya sejak umur sekitar 20 tahunan. Ini kelihatan nyata sekali dalam sikapnya menghadapi DI-TII, RMS, PRRI-Permesta, perjuangan merebut kembali Irian Barat dll dll.

Dengan membaca tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme ini, dan juga banyak tulisan atau pidato-pidatonya lainnya yang terkumpul dalam dua jilid buku Dibawah Bendera Revolusi, maka kita akan mengerti mengapa ia mengatakan dirinya sebagai seorang Muslimin yang sosialis, atau seorang nasionalis yang berpandangan Marxis atau seorang yang berhaluan-fikiran Marxis sekaligus juga nasionalis dan Muslim. Dengan mengkaji dalam-dalam berbagai tulisan, pidato dan ucapannya, kita juga akan memahami bahwa konsepsi politik Bung Karno mengenai NASAKOM adalah perealisasian atau pelaksanaan dari gagasan-gagasan besarnya sejak muda belia. (Tentang hal-hal ini masih banyak sekali yang bisa ditulis di kemudian hari dan dikaji bersama-sama).

Kehebatan lainnya Bung Karno sebagai orang muda yang revolusioner juga kelihatan dalam pidato pembelaannya (tahun 1930) di depan pengadilan kolonial Belanda ketika ia dituduh melakukan pembrontakan terhadap kekuasaan penjajah Belanda. Pidatonya yang berjudul Indonesia Menggugat ini menjadi sangat terkenal dan merupakan dokumen politik monumental dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Karena, dalam pidato pembelaannya ini tidak saja ia mengecam habis-habisan kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga menyerukan perlawanan terhadap penjajahan bangsa kita pada waktu itu.

Bung Karno dan 17 Agustus 45 adalah Satu

Oleh karena itu, bagi kita semua yang peduli akan sejarah bangsa, ketika kita sedang menyongsong perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, tidak bisa tidak ingatan kita pasti melayang juga kepada tokoh besar bangsa yang bernama Sukarno ini. Sebab, nama Sukarno tidak bisa dipisahkan dari 17 Agustus 1945. Atau, dalam kalimat yang lain, Sukarno dan 17 Agustus 1945 adalah satu. 17 Agustus adalah perwujudan dari hasil perjuangan yang puluhan tahun yang dilancarkan Bung Karno sebagai pimpinan gerakan nasional untuk kemerdekaan. Itulah sebabnya maka Bung Karno telah mendapat persetujuan bersama dari banyak golongan untuk (bersama-sama dengan Bung Hatta) memproklamasikan kemerdekaan, atas nama seluruh bangsa Indonesia.

Tetapi, kita semua yang mengikuti dengan teliti berbagai perkembangan sosial-politik di Indonesia akan melihat dengan gamblang bahwa sejak Suharto melakukan pengkhianatan besar-besaran terhadap Bung Karno, maka bangsa Indonesia kehilangan pemimpin besarnya, kehilangan guru bangsanya, kehilangan pemersatu bangsanya. Perkembangan selama 62 tahun Republik Indonesia menunjukkan dengan jelas sekali bahwa tidak ada pemimpin Indonesia yang mempunyai ketokohan seagung atau setinggi Bung Karno. Sekarang ini makin kentara dengan jelas, bahwa walaupun sudah dikhianati oleh Suharto, Bung Karno masih tetap dipandang oleh banyak orang sebagai tokoh terbesar bangsa, yang tidak ada tandingannya, sampai sekarang.

Seperti yang bisa kita amati bersama-sama, dengan mengkhianati Bung Karno, Suharto (dan konco-konconya, baik yang dalamnegeri maupun yang luarnegeri) telah menterlantarkan hasil-hasil besar revolusi, menghancurkan cita-cita para perintis kemerdekaan, memporak-porandakan jiwa revolusioner bangsa, merusak dan membusukkan Republik Indonesia. Dengan mengkhianati Bung Karno dan menghancurkan kekuatan pendukung politiknya (yang terdiri dari golongan kiri, dan terutama dari kalangan PKI), maka Suharto telah menyatukan diri dengan musuh bebuyutan rakyat Indonesia sejak lama, yaitu imperialisme.

Pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno

Oleh karena itu, kalau kita bicara tentang 17 Agustus, maka otomatis kita akan ingat kepada jasa-jasa besar Bung Karno. Dan ketika ingat kepada keagungan Bung Karno terpaksalah kita ingat juga kepada pengkhianatan Suharto (dan konco-konconya). Sebab, dengan mengkhianati Bung Karno dan menggulingkannya dari kekuasaan politiknya, Suharto telah membikin mandegnya revolusi bangsa Indonesia, serta membuat berbagai kerusakan berat atau penyakit besar dalam tubuh bangsa dan negara Republik Indonesia. Akibat kerusakan dan pembusukan dalam tubuh bangsa dan negara kita ini sampai sekarang masih kita warisi di banyak bidang.

Mungkin sekali, lima sampai sepuluh generasi bangsa kita yang akan datang akan mencatat bahwa pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno adalah peristiwa bersejarah yang akibat negatifnya sangat besar sekali bagi bangsa dan Republik Indonesia. Sebab, dengan pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno itu telah dibangun Orde Baru. Dan kita semua mengalami atau menyaksikan bahwa masa Orde Baru (1966-1998) adalah periode yang paling buruk yang dialami bangsa Indonesia. Kiranya, tidak salahlah kalau di kemudian hari akan ditulis oleh para sejarawan atau berbagai pakar bahwa periode Orde Baru adalah periode yang banyak menimbulkan pembusukan, kerusakan, dan kebobrokan, yang menyebabkan berbagai penderitaan dan penyiksaan bagi banyak sekali orang.

Karena, selama masa Orde Baru yang sangat panjang itu ratusan juta rakyat Indonesia “dikerangkeng” - dengan cara-cara yang bengis dan kejam sekali -- oleh golongan militer (terutama TNI-AD) yang jumlah total-jenderalnya tidak sampai satu juta orang. Para pendiri Orde Baru telah membikin terbunuhnya jutaan orang tidak bersalah, juga membikin terpenjarakannya ratusan ribu orang kiri dalam jangka waktu yang lama sekali. Kira-kira 20 juta orang anggota keluarga (dekat dan jauh) para korban Orde Baru telah dibikin menderita puluhan tahun oleh berbagai macam perlakuan, sampai sekarang.

Sukarno sejajar dengan Pemimpin-pemimpin Dunia

Bagi mereka yang banyak membaca dan mempelajari sejarah berbagai bangsa di dunia akan bisa melihat bahwa keagungan sosok dan citra Bung Karno itu sejajar dengan keagungan sosok pemimpin-pemimpin besar lainnya seperti Sun Yatsen, Mao Tsetung, Chou Enlai, Ho Chiminh, Jawaharlal Nehru, Abdul Gamal Nasser, Joseph Bros Tito, Che Guevara, Ernest Mandela. Dan sebaliknya, mereka juga bisa melihat kekerdilan sosok Suharto dan kerendahan moralnya yang sejajar dengan “pemimpin-pemimpin” korup seperti Marcos, Chiang Kaishek, Lon Nol, Mobutu, Caucescu, Pinochet, dan sebangsanya lainnya.

Kehebatan atau keunggulan Bung Karno dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya adalah banyak sekali. Bukan saja adalah seorang intelektual yang banyak membaca buku politik dan sejarah berbagai bangsa di dunia, ia adalah seorang yang bisa membuat tulisan dengan bahasa dan gaya yang menarik. Ia mahir dalam menggunakan bahasa Indonesia secara bagus sekali, tetapi juga lancar sekali berbahasa Belanda, Inggris, dan menguasai bahasa Jerman dan bahasa Perancis walaupun serba sedikit. Bukan saja bahwa ia pandai berpidato dengan cara yang bisa “menghanyutkan” perasaan dan fikiran banyak orang, tetapi juga isinya yang dalam. Tetapi, di atas segala-galanya, Bung Karno besar dan unggul tinggi sekali berkat rasa pengabdiannya kepada kepentingan rakyat banyak, dan karena “gandrungnya” terhadap persatuan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, ketika kita semua sedang menyongsong Hari Kemerdekaan 17 Agustus, dan mengingat akan segala kebesaran dan keunggulan Bung Karno sebagai pemimpin sejati bangsa Indonesia, maka kelihatan jugalah, sebagai kontrasnya, kekerdilan sosok Suharto. Kekerdilan Suharto dibandingkan dengan keagungan Bung Karno, bukan saja karena Suharto adalah serdadu kolonial KNIL waktu mudanya, melainkan juga karena kerendahan moralnya. Bukan saja ia adalah diktator yang dengan tangan besi sudah membikin “pengap” seluruh Indonesia selama 32 tahun, ia juga ternyata adalah maling terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.

Kekerdilan Sosok Suharto

Kekerdilan sosok Suharto dan kerendahan moralnya juga nampak dengan jelas kalau kita ingat bahwa Bung Karno wafat ketika ia menjadi “tahanan” dalam keadaan sakit dan tidak punya apa-apa, karena ia tidak mau menumpuk kekayaan baginya dan keluarganya. Kita bisa bandingkan dengan Suharto yang walaupun sudah di-“lengserkan” oleh generasi muda dari jabatannya dalam tahun 1998, sekarang ia masih bisa hidup dengan segala kemewahan dan kemegahan dari uang haram yang dicurinya secara besar-besaran dari rakyat dan negara.

Dengan banyaknya berita tentang berbagai kasus korupsi yang dilakukan Suharto yang melibatkan jumlah sampai triliunan Rupiah, dan juga besar dan luasnya jaring-jaringan gelapnya di dalamnegeri maupun luarnegeri, maka sudah makin jelas dan nyatalah sekarang bagi banyak orang bahwa Suharto adalah bukan saja pengkhianat terhadap Bung Karno dan rakyat Indonesia, melainkan juga penjahat atau maling besar, yang merupakan sampah bangsa. Dalam buku sejarah bangsa Indonesia, perlulah kiranya ditulis nantinya bahwa Suharto bukanlah orang yang pernah berjasa bagi bangsa. Melainkan, bahwa Suharto adalah “tokoh” negatif bangsa, yang telah mendatangkan banyak kerusakan besar dan pembusukan parah bagi rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.

Besarnya kerusakan dan parahnya pembusukan yang sudah ditimbulkan Suharto dengan Orde Barunya kelihatan juga dari banyaknya persoalan parah yang dihadapi bangsa dewasa ini di bidang politik, sosial, ekonomi dan moral, sebagai warisan yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan yang silih berganti sejak 1998.

Indonesia Membutuhkan Pemimpin Sekaliber Bung Karno

Dalam kaitan ini, adalah hal yang amat menyedihkan dan memprihatinkan bahwa sesudah 62 tahun merdeka, di Republik Indonesia masih terdapat 13 juta anak-anak yang kurang makan dan kelaparan, di samping adanya pengangguran sekitar 40 juta orang. Keadaan yang menyedihkan ini ditambah lagi dengan adanya lebih dari 40 juta orang miskin, dan sekitar 100 juta orang yang hidupnya kurang dari 2 dollar US sehari. Yang juga amat perlu disesalkan dan diprihatinkan adalah merajalelanya korupsi di segala bidang dan di segala tingkatan , yang mencerminkan kerusakan moral atau kebejatan akhlak yang melanda seluruh bangsa secara ganas.

Semuanya ini menunjukkan bahwa bangsa kita dan Republik Indonesia sudah sangat membutuhkan adanya pimpinan yang sekaliber dan setulus Bung Karno, yang mampu mempersatukan bangsa atas dasar-dasar Bhinneka Tunggal Ika (yang sungguh-sungguh), Pancasila (juga yang sungguh-sungguh). Bangsa kita memerlukan munculnya seorang pemimpin yang mampu membikin gagasan-gagasan besar seperti yang sudah dituangkan dalam dua jilid buku Dibawah Bendera Revolusi.

Sekarang dapatlah kiranya dinyatakan dengan tegas bahwa Republik Indonesia dan bangsa Indonesia tidak membutuhkan sama sekali orang-orang sekaliber dan sejenis Suharto, yang dari pengalaman sudah terbukti tidak mendatangkan kebaikan sama sekali, melainkan kebalikannya.

Paris, 13 Agustus 2007

Tulisan ini dipublikasi juga di http://perso.club-internet.fr/kontak

No comments:

A r s i p