Tuesday, September 4, 2007

Referendum Pilkada dan Presiden Perseorangan

M Fadjroel Rachman

Tanggal 23 Juli 2007 adalah hari kemenangan demokrasi saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan perseorangan dapat ikut pemilihan kepala daerah.

Secara hukum, sejak 23 Juli 2007, setiap pilkada di seluruh Indonesia harus melibatkan calon perseorangan, tanpa kecuali. Jika tidak, pilkada itu inkonstitusional, bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa "pilkada itu ilegal."

Jika terbukti belum ada aktivitas sesuai Ayat 2 dan 4 (Bab II Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2005), keputusan MK berlaku terhadap pilkada. Ayat 2 berbunyi a) pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah tentang berakhirnya masa jabatan; b) pemberitahuan DPRD kepada KPUD tentang berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah. Ayat 4 berbunyi Pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan secara tertulis lima bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah.

Sejumlah pilkada di wilayah abu-abu karena PP No 6/2005. Sebaiknya, semua pilkada pascaputusan MK ditunda atau jeda pilkada dan presiden mengeluarkan keputusan presiden memperpanjang jabatan kepala daerah terkait.

Protes golput

Praktis, untuk pilkada sepanjang 2008 di beberapa provinsi, seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali, harus tunduk terhadap keputusan konstitusional MK. Namun, partai politik (parpol) dengan segala cara menghambat dengan mengatakan, revisi terbatas UU No 32/2004 merupakan pilihan satu-satunya mengakomodasi keputusan MK.

Perpu sebagai alternatif tercepat ditolak oleh semua fraksi parpol di DPR. MK pun dihujat Ketua DPR Agung Laksono (yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar) dan Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Golkar. Tentu bila Presiden Yudhoyono tidak ragu-ragu menjalankan keputusan MK, dengan berdiplomasi layaknya menghadapi beragam interpelasi, tentu perpu secara mulus dapat diloloskan. Untuk persyaratan perseorangan, perlu diikuti saran MK dan praktik empiris di Aceh, yaitu 3 persen, yang membedakan infrastruktur perseorangan dengan partai politik.

Usul parpol 15 persen sungguh tidak masuk akal karena kompetisi bukan pada persyaratan, tetapi program kesejahteraan.

Wewenang KPU pun ditolak parpol, bahkan KPU memutilasi diri dengan Surat Edaran Nomor 649/15/VII/2007 (31 Juli 2007), yang juga tidak sah karena hanya diputuskan tiga anggota KPU tersisa: Ramlan Surbakti, Chusnul Mariyah, dan Valina Singka. Padahal setiap pengambilan keputusan KPU sesuai Pasal 34 Ayat 2 UU No 22/2007 hanya sah "apabila dihadiri sekurang-kurangnya 5 (lima) anggota KPU yang dibuktikan dengan daftar hadir".

Surat edaran ini dapat diabaikan KPUD dan ilegal. Padahal MK tegas mengatakan, "Untuk menghindari kekosongan hukum (rechts-vacuum) sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, Mahkamah berpendapat, KPU berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) Huruf a dan Huruf f UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berwenang mengadakan peraturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan pilkada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan Pasal 68 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan.

MK tidak sadar, semua keputusan KPU tidak akan sah karena tersisa tiga anggota, lainnya mengundurkan diri dan dipenjara.

Akibat serius pengabaian hak konstitusional perseorangan adalah membesarnya suara golongan putih (golput) baru. Dalam Pilkada Jakarta, golput "meraih 1.987.539 dari 5.746.601 pemilih terdaftar (34,59 persen), Fauzi Bowo-Prijanto meraih 2.109.511 (36,71 persen), dan Adang Daradjatun-Dani Anwar 1.535.555 (26,72 persen).

Golput kalah tipis 2,12 persen dari Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung 20 parpol dan unggul 7,87 persen dari Adang Daradjatun-Dani Anwar yang didukung PKS. Tanpa kampanye, tanpa parpol, tanpa uang haram, golput berjaya di Jakarta. Golput (baru) mengulangi sukses dengan menggulung semua parpol dan lima pasang presiden-wakil presiden pada Pemilu 2004 di Ibu Kota Indonesia. De facto, Jakarta tetap milik golput.

Referendum nasional

Terhadap pilkada yang tegas mengembalikan hak konstitusional warga negara, parpol terus menghambatnya. Apalagi jika mengamandemen UUD 1945 dengan menambah satu kata perseorangan, kini merupakan pekerjaan raksasa. Parpol berasumsi, semua wilayah eksekutif adalah hak mereka, bukan hak perseorangan. Saat pilkada boleh diikuti perseorangan, parpol menganggap sebagai perampasan hak mereka. Kondisi politik antiperseorangan inilah yang kini bergayut di tubuh parpol dan DPR. Juga menggagalkan amandemen yang diusulkan DPD.

Kepada siapa kita bertanya? Hanya kepada rakyat, pemilik kedaulatan tertinggi. Penyelesaian sengketa persyaratan perseorangan dalam pilkada dan amandemen presiden perseorangan Pemilu 2009 dapat dilakukan melalui referendum nasional. Keputusan terakhir, rakyat harus diakomodasi MPR. Jika mayoritas rakyat setuju calon presiden perseorangan, Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 akan berbunyi, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum dan perseorangan sebelum pelaksanaan pemilihan umum."

Artinya, pada tahun 2009, kita akan menyaksikan fajar demokrasi menyinari Indonesia. Selamat datang referendum nasional untuk pilkada dan presiden perseorangan.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) dan Penggagas Gerakan Jakarta Merdeka

No comments:

A r s i p