Tuesday, September 11, 2007

Negara dan Alienasi Politik


Penulis: Max Regus, Mahasiswa Program Magister Departemen Sosiologi Universitas Indonesia

Pascapenyiksaan wasit karateka Indonesia Donald Pieter Luther Kolopita oleh empat Polisi Diraja Malaysia, sejumlah elemen masyarakat menunjukkan reaksi langsung, spontan, dan tegas. Bahkan, ada ormas yang melakukan sweeping terhadap warga Malaysia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah minta masyarakat menghentikan sweeping terhadap warga Malaysia karena pihak Malaysia secara implisit sudah menyatakan penyesalan mendalam atas peristiwa tersebut. Namun, seluruh rangkaian kejadian menyakitkan itu merefleksikan dengan jujur wajah kusam negeri kita saat ini.

Reaksi langsung publik memang beralasan dan semestinya mendapatkan apresiasi pemerintah. Tiadanya kesediaan pemerintah Malaysia melayangkan permohonan maaf secara resmi pada hari-hari awal kejadian ini memang mendatangkan kedongkolan sosial yang teramat besar. Kita tidak bisa menghindarkan munculnya eskalasi reaksi negatif masyarakat. Apalagi kemarahan sosial ini merupakan akumulasi dari sekian banyak kekecewaan publik atas arogansi Malaysia selama ini.

Kesabaran masyarakat telah melewati ambang toleransi. Kemarahan publik berada pada puncaknya. Dan, selebihnya, pemerintah sepertinya tidak memiliki kekuatan memberikan tekanan kepada Malaysia. ANTV, pada malam edisi 29 Agustus 2007, sampai harus menayangkan rekaman heroisme Soekarno ketika mengecam saudara tetangga kita dalam pidato ganyang Malaysia.

Secara sepintas, tayangan ANTV itu serentak membangkitkan kembali ingatan sejarah bangsa Indonesia yang penuh keberanian dan kegagahan, kewibawaan, dan keagungan. Ada kerinduan untuk ditarik kembali pada sebuah sesi sejarah saat Indonesia berani menolak tunduk di hadapan imperialisme. Bahkan, menjadi panutan bangsa-bangsa lain di dunia. Usaha membangkitkan memori heroik itu mendesakkan sebuah kebenaran politik bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa besar, bukan terutama karena pengakuan bangsa lain, melainkan sebagai kristalisasi kearifan dan keberadaban yang mengakar dalam diri kita sendiri.

Di hadapan sengketa melawan Malaysia, kita pun berhenti sejenak pada sebuah pertanyaan kunci ini: apakah memang pada tempat pertama sekali kita menunjukkan kemarahan kepada Malaysia? Tentu saja kemarahan itu ada benarnya. Namun, pada awalnya, mesti ada sebuah keberanian melakukan perombakan radikal atas sikap-sikap kenegaraan kita. Kita mesti memiliki semangat keadilan dan solidaritas sosial di antara kita sebelum menuntut sikap adil dari orang lain. Ini kesadaran yang sangat penting.

Berangkat menuju kesadaran substansial ini, kita memang perlu membedah dan menempatkan tiadanya keterbukaan Malaysia melayangkan permohonan maaf sebagai cerminan menemukan Indonesia dengan jujur. Secara positif, kita bisa menempatkan sikap Malaysia ini sebagai terapi kejut yang dapat membongkar perilaku kebangsaan kita sendiri.

Pertama, Malaysia pasti memiliki persepsi sendiri tentang Indonesia. Mungkin mereka memiliki pengandaian. Mereka tidak perlu dan tidak harus melayangkan permohonan maaf karena Indonesia tidak bisa melakukan apa pun juga. Indonesia pasti tidak berkutik, meskipun Malaysia menganggap sepi sikap tidak simpatik itu. Malaysia tidak memperhitungkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kapasitas sosial, politik, ekonomi, dan keamanan di kawasan ini.

Kedua, Indonesia hampir pasti bukan bangsa besar di luar sana. Nyatanya, Malaysia telah memperlakukan Indonesia bukan sebagai bangsa yang besar. Parahnya lagi seolah Indonesia sekadar komunitas politik anonim. Malaysia tidak menghitung Indonesia sebagai rival utama mengejar kemajuan. Indonesia bukan negara besar seperti yang selalu kita dengar di taman kita sendiri.

Ketiga, sebagai syarat adanya sebuah negara di level global, sebenarnya Indonesia tidak memiliki kekuatan tawar politik. Bahkan, pada hari pertama setelah kekejian itu, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya bisa pasrah bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa memaksa Malaysia melayangkan permohonan maaf. Kita memang bangsa yang sopan berhadapan dengan orang lain. Namun, amat celaka jika sikap ini merupakan sebentuk eufemisme politik dari sosok rendah diri yang parah. Protes-protes keras publik atas sikap Malaysia juga terpicu lembeknya tanggapan penguasa kita atas sikap Malaysia.

Realitas ini serentak menyimpan indikasi yang amat fundamental bahwa negara kita agaknya hampir gagal memberikan garansi sosial, politik, hukum, dan keamanan bagi setiap warga bangsa yang ada di luar negeri. Hal itu tidak saja berkaitan dengan keberanian menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan, tetapi terutama mencegah terjadinya sikap-sikap tidak terpuji terhadap warga Indonesia.

Usaha melindungi segenap warga masyarakat kita barangkali sudah masuk dalam ruang apatisme politik penguasa. Tidak ada proteksi politik yang kuat terhadap rakyat kita sendiri. Indonesia tidak memiliki taji politik pada tataran global. Malaysia mendikte Indonesia dengan amat entengnya. Dan ini sungguh menyedihkan.

Nilai-nilai ini sesungguhnya bersentuhan langsung dengan optio fundamentalis kenegaraan kita. Negara ada demi nilai-nilai kehidupan warganya sendiri. Negara niscaya menjamin kehidupan dan keselamatan rakyat. Namun, Malaysia seolah hendak melemparkan Indonesia pada sebuah ruang refleksif yang paling penting di kekinian. Indonesia harus berani membangun kedewasaan dan kewibawaan dengan membongkar sekian jenis kebobrokan internal yang senantiasa termaafkan begitu saja dalam rentang sejarah. Indonesia harus menekuni ziarah menuju keagungan dengan menuntaskan urusan kejahatan sosial politik dan kemanusiaan yang dibiarkan membusuk dalam peti mati hukum kita.

Bangsa ini sedang berada jauh dari area keluruhan nilai dan pemihakan sebagai sebuah komunitas politik beradab. Indonesia sedang mengalami kekaburan makna kehidupan sebagai negara. Indonesia tidak mengenal nilai-nilai utama pembelaan dan pemihakan sebagai bangsa besar. Indonesia sedang mengalami alienasi (keterasingan) politik yang amat serius.

Seperti orang yang kebakaran jenggot, tiba-tiba para penguasa merasa perlu menggagas kembali pendidikan bela negara. Namun, di tengah persaingan global, yang mengutamakan kecerdasan, mungkin amat terbatas jika mengajak rakyat menunjukkan nasionalisme dengan pendidikan heroik bermain dengan perang, invasi, senjata, bahasa permusuhan. Pendidikan bela negara tentu penting, namun muatannya harus menyentuh pemerkayaan nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan kerja keras dalam diri warga bangsa ini.

Bangsa besar adalah bangsa yang bisa menghargai diri sendiri. Penghargaan ini terutama dalam kemauan dan keberanian menumbuhkan kembali apa yang sudah patah dan runtuh. Jika tidak pernah membesarkan diri dengan semangat dan keteladanan semacam ini, bangsa kita tidak pernah menjadi sosok yang besar dan kuat. Yang terjadi di kemudian hari, bukan saja bangsa lain memukul dan menyiksa warga kita di negeri mereka, melainkan memukul warga kita di rumah kita sendiri. Siapa tahu di suatu waktu kelak mereka akan datang dan memukul warga kita di dalam sini.

Mungkin pemikiran itu amat berlebihan. Kalau kita memiliki kewibawaan dan keagungan, kita tidak perlu lagi menjadi pengemis permohonan maaf dari bangsa lain. Alasannya, tidak ada orang (bangsa) lain yang dapat seenaknya melukai warga kita, meskipun berada jauh dari Indonesia. Kita memiliki kegagahan sebagai bangsa bukan diberi kegagahan oleh bangsa lain. Kita harus bisa mengambil hikmah paling penting dari terapi kejut gaya Malaysia. Jika kita tidak melakukannya, Indonesia akan semakin terasing dari dirinya sendiri.

No comments:

A r s i p