Tuesday, September 11, 2007

Titik Balik PDI-P?


Muhammad Qodari

Tanggal 8-10 September ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengadakan Rapat Kerja Nasional II dan Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta. Rakernas kabarnya akan dihadiri oleh hampir 15.000 pengurus PDI-P dari tingkat pusat sampai kecamatan. Jika terlaksana, boleh jadi ini rekor rapat pengurus partai terbesar dalam sejarah politik modern Indonesia.

Untuk apa mengumpulkan pengurus partai sebegitu banyak? Ada beberapa kemungkinan: Pertama, PDI-P ingin show of force kepada publik dan partai-partai lain menjelang pemilu legislatif yang tinggal satu setengah tahun lagi. Kedua, koordinasi cetak biru (blue print) strategi umum PDI-P menghadapi Pemilu 2009. Ketiga, melakukan conditioning pada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk memberi jawaban tegas tentang kesediaannya menjadi capres PDI-P tahun 2009.

Pertemuan besar ini merupakan langkah yang tepat. PDI-P tidak mau mengulangi kesalahan Pemilu 2004. Saat itu PDI-P seperti tergopoh-gopoh mempersiapkan diri. Sekadar perbandingan, di Pemilu 2004 Partai Golkar, kompetitor terkuat PDI-P, mengadakan pelatihan juru kampanye nasionalnya jauh lebih awal daripada PDI-P. Akibatnya, PDI-P kalah dan kehilangan hampir separuh suara sebelumnya.

Kekalahan PDI-P dalam pemilu legislatif diikuti dengan kekalahan pada pemilu presiden. Kekalahan beruntun ini tampaknya membuka proses transformasi pada diri PDI-P dengan memilih menjadi partai oposisi. Awalnya terkesan transformasi itu gagal dilakukan dengan terpilihnya kembali Megawati secara aklamasi sebagai ketua umum.

Pilihan peran oposisi itu tampaknya mulai memberikan hasil yang cukup nyata. Seusai Pemilu 2004, misalnya, survei menunjukkan bahwa tingkat dukungan pada PDI-P melorot sampai peringkat tiga. Namun, pelan-pelan suara PDI-P naik ke posisi kedua dan beberapa survei nasional terakhir, misalnya, yang dilakukan Indo Barometer pada Mei 2007 lalu, PDI-P telah kembali menjadi partai nomor satu meski persentase suaranya jauh di bawah masa jaya "Moncong Putih" di Pemilu 1999. Pertanyaannya bagaimana mempertahankan suara PDI-P itu?

Kinerja publik kepala daerah

Ada banyak cara yang tampaknya telah, akan, dan bisa ditempuh oleh PDI-P. Namun, salah satu cara yang paling cepat adalah dengan meningkatkan kinerja publik para kepala daerah asal PDI-P. Jika para kepala daerah itu sukses memperbaiki kondisi lokal dan memajukan daerahnya, akan timbul apresiasi dari masyarakat terhadap kepala daerah dan partai asalnya (PDI-P). Sebaliknya, jika kepala daerah dari PDI-P gagal memperbaiki keadaan, masyarakat akan ikut menyalahkan PDI-P. Akibatnya, posisi PDI-P akan kembali melorot dan diambil alih Golkar.

Cara berikutnya adalah membangun sikap oposisi yang lebih sistematis. PDI-P harus memilih dan memilah dengan cermat isu- isu yang merupakan persoalan fundamental rakyat. Jangan sampai PDI-P seolah selalu anti dan kontra terhadap semua kebijakan pemerintah. Hal ini justru bisa merugikan PDI-P karena timbul kesan waton suloyo (asal beda).

Pada momentum rakernas dan rakornas ini, penting juga didiskusikan dua langkah politik signifikan PDI-P dalam beberapa waktu terakhir dalam kaitannya dengan prospek Pemilu 2009. Pertama, upaya membangun semacam koalisi dengan Partai Golkar. Dari aspek niat membangun pemerintahan yang stabil, gagasan ini menarik. Namun, untuk kepentingan pemenangan pemilu PDI-P hal ini bisa menjadi bumerang. Pertama, karena mengaburkan posisi PDI-P sebagai partai oposisi. Kedua, menimbulkan kekecewaan pada akar rumput PDI-P yang selama bertahun-tahun, khususnya masa Orde Baru, melihat Golkar sebagai musuh besarnya.

Kedua, soal pendirian Baitul Muslimin (BM) sebagai salah satu sayap politik PDI-P. Kiranya, dampak pendirian BM masih sulit diduga. Di satu sisi ia bisa melunakkan citra PDI-P sebagai partai abangan dan dengan demikian, pemilih PDI-P bertambah karena pemilih santri masuk. Namun, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih sebagai konstituen tradisional PDI-P akan lari karena merasa kurang nyaman. Di sisi lain pemilih santri tidak kunjung masuk karena tetap memilih berumah di partai Islam yang notabene lebih "hijau".

Apalagi beberapa riset, misalnya oleh Dwight King dan Anies Baswedan, menunjukkan pemilih yang pindah, umumnya pindah ke partai yang "sewarna". Dengan kata lain, pemilih partai Islam akan sulit pindah ke partai nasionalis, melainkan akan pindah ke partai Islam lainnya. Demikian pula sebaliknya.

Tentang bersedia-tidaknya Megawati untuk dicalonkan kembali dalam pemilu presiden tahun 2009, yang terpenting bagi masa depan PDI-P adalah persiapan partai itu sendiri untuk membangun sistem. PDI-P tak mungkin selamanya bergantung pada sosok Megawati. Megawati juga tentu tidak ingin maju di 2009 dengan mesin politik yang bo- brok dan lemah.

Muhammad Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

No comments:

A r s i p