Tuesday, September 4, 2007

Perempuan


Perempuan dan Politik

Oleh Ulfa Ilyas

Sudah lama kaum perempuan di posisikan sebagai objek(korban), dimana negara mengadvokasi hak-hak mereka dengan tawaran perempuan boleh masuk ke panggung politik. Dalam beberapa momen kaum perempuan boleh ambil bagian dalam job deskription kaum laki-laki; seperti Politik(Politisi, Pejabata), profesi( sopir, Pilot,dosen) atau lain-lain. Dalam posisi ini, Negara memandang perempuan tetap sebagai warga negara klas dua yang karena ada kelebihan-kelebihan/skill maka mereka boleh menempati ruang-ruang yang mestinya untuk laki-laki. Karena jika di telusuri kedalam bahwa partisipasi perempuan ini sangat terbatas, hanya perempuan klas atas yang berpendidikan tinggi yang boleh masuk dalam panggung politik/Publik. Perempuan yang terlibat dalam profesi yang umumnya dianggap profesi laki-laki mendapatkan sterotipe yang buruk.

Paradigma jaman dulu selalu mendefenisikan politik sebagai kekuasaan, sedangkan kekuasaan sendiri merupakan aspek dari laki-laki(depolitisasi). Bahkan, ketika politik didefinisikan dengan perspektif baru sebagai; pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumberdaya (kekuasaaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung. Ini adalah cara pandang yang di reproduksi oleh sistem patriarkhi yang masih dominan dalam kehidupan budaya masyarakat kita.

Ketika kaum perempuan menuntut hak yang sama dalam partisipasi Politik, maka negara menanggapi dengan belas kasihan “Seperti kouta 30% kaum perempuan” yang dalam politik realnya sama sekali tidak terbukti bahwa persoalan refresentasi politik kaum perempuan sudah terpenuhi. Hambatan-hambatan politis, idelogis, maupun hambatan teknis/prosedural di jejerkan untuk memberikan ruang luas bagi kaum laki-laki. Inilah bukti konkret bagaimana negara tetap menjaga dan melembagakan sistem patriarkhal.

Inilah hambatan utama gerakan perempuan untuk terlibat dalam medan perjuangan politik—Parlemen sekaligus mengembangkan/ memajukan---memperluas persepktif pembebasan perempuan.

Warisan Politik Lama berbau “ Patriarkhal”

Salah satu hambatan bagi kaum perempuan untuk masuk dalam ruang pertarungan politik saat ini adalah masih kentalnya warisan politik Lama yang berbau “Patriarkhi”, sebuah ideologi yang mengagung-agungkan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Penyebabnya adalah sistem politik demokratis-kapitalis di Indonesia tidaklah meremukkan semua bentuk-bentuk politik lama, malah dalam sistem yang baru ini (parlemen Borjuis) nilai-nilai politik lama terus di akomodir. Dalam teori “ revolusi Paradigama” Thomas Kuhn menyatakan bahwa di negara-negara dunia ketiga yang baru menyentuh modernisasi proses penghilangan paradigma lama oleh paradigma baru sangat lambat, karena mobilitas sosial masyarakat sangat lambat. Keberadaan budaya feodal dalam politik modern masih terlihat jelas saat demokasi liberal di atrasikan di pemilu 1955 dengan kemenangan kekuatan partai politik tradisional seperti Partai Nasionalis Indonesia(PNI), Nahdatul Ulama(NU), dan Masyumi. Partai-partai yang disebut diatas adalah partai-partai yang banyak mengekspresikan kepentingan politik kaum priayi dan tuan tanah yang bimbang. Sedangkan dua partai yang merefresentasikan modernisme yakni PKI (yang anti Feudalisme) dan Partai Sosiali Indonesia(yang di komandoi oleh intelektual klas menengah) tidak manpu berbuat banyak dengan isu keagaamaan, etnisitas, dan lokalitas.

Dalam perkembangannya, di jaman Orde baru bingkai politik(politics Frame) berbudaya feodal ini masih tertanam kuat, apalagi kecenderungan birokratisme-totaliterisme yang mengambil nilai-nilai tradisional Jawa( kesatuan dan stabilitas). Kemudian berhembus demokratisasi pada tahun 1999 lewat gerakan mahasiswa, merubah model politik otoritarianisme berubah menjadi lebih liberal. Namun di tengah, efuria kebebasan ber-politik ini justru kelompok-kelompok tradisional dan fundamentalis yang lama tersingkir oleh politik penyeragaman Orde baru muncul kembali dan manifes menjadi gerakan politik. Dalam pemilu 2004 perdebatan tentang Capres perempuan(meskipun kepentingan politik Megawati dan PDIP versus kelompok tradisional), namum kolerasinya dengan kepentingan kaum perempuan adalah bahwa partisipasi politik kaum perempuan masih terus di hambat.

Nilai-nilai tradisional yang mengagung-agungkan nilai-nilai ke(perempuan)nan yang berbudi pekerti halus, penurut, patuh terhadap suami atau ayah, dan cenderung pasrah pada pekerjaan domestik menjadi hambatan politik kaum perempuan untuk mengekspresikan kesadaran politiknya. Bagi kelompok tradisional masih tersisa dikotomi antara negara(sebagai refresentasi laki-laki) dengan pekerja domestik(perempuan).

Butuhkah Partai Politik Perempuan

Dalam negara demokrasi modern, Partai politik merupakan kendaraan politik untuk mengekpresikan kepentingan, program perjuangan, dan mengorganisasikan dukungan politik dari massa. Maka keinginan Mendirikan partai politik perempuan adalah sah-sah saja, sepanjang ada efektifitasnya dengan kepentingan menyeluruh kaum perempuan. Memang dari semua kekuatan politik yang ada sekarang tidak ada satupun yang mengekspresikan kepentingan perjuangan perempuan, atau memperjuangkan hak-hak kaum perempuan secara konsisten. Kaum perempuan yang diakomodir dalam partai politik sekarang hanyalah perempuan klas atas(perempuan ber-duit), sedangkan perempuan klas bawah belum kita jumpai dalam jajaran kepengurusan partai politik. Orang-orang seperti Angelina Sondakh( Partai Demokrat), Marissa Haque(PKS), megawati(PDIP), Khofifah Indarparawansyah(PPP), dan lain lain adalah orang-orang yang mapan secara ekonomis, dan tidak punya kepentingan langsung dengan persoalan perempuan yang sifatnya sosial ekonomi( Pelacuran, trafficking, Violence).

Tetapi apakah mendirikan partai politik sudah menjadi jawaban utuh untuk memuarakan perjuangan kaum perempuan karena kalau tidak jelas konsepnya, bisa saja jumlah konstituen perempuan yang sangat besar bisa menjadi landasan berdirinya partai politik kaum perempuan. Sekarang tinggal memikirkan alat politik apa yang efektif untuk memuarakan perjuangan perempuan; (1) Membangun partai sendiri, (2) bersama sektor rakyat lainnya membangun kekuatan politik bersama, (3) ataukah menyatukan diri dengan kekuatan Parpol yang sudah ada(sama saja menggadaikan diri).
Ulfa Ilyas, aktifis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMDN) dan aktif di Lingkar Study Perempuan (LSP), tinggal di Jakarta.

No comments:

A r s i p