Tuesday, September 4, 2007

Kembangkan Solidaritas Sosial


Selama 62 tahun merdeka, bangsa ini harus jatuh bangun mempertahankan integritas wilayah serta menghadapi beragam tantangan. Banyak hal sudah dilakukan, tetapi untuk masa kini dan akan datang, yang sangat diperlukan bangsa ini adalah mengembangkan solidaritas sosial.

Menurut ahli sejarah dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Taufik Abdullah, pada awal kemerdekaan, yang sangat diperlukan adalah perasaan sebagai satu bangsa yang padu. Karena itu, kepentingan-kepentingan kedaerahan harus disingkirkan.

Persoalan ini sudah bisa diatasi. Meskipun di beberapa wilayah masih mencuat kasus-kasus separatisme, hal itu bukan muncul dari masyarakat bawah, melainkan ulah segelintir elite politik yang mencari keuntungan sesaat.

Setelah 62 tahun merdeka, kini bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang semakin kompleks, mulai dari kesenjangan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, berkembangnya korupsi, hingga tantangan globalisasi. Beragam permasalahan ini bisa sedikit diatasi jika bangsa Indonesia bahu-membahu mengatasi persoalan yang ada dengan mengembangkan solidaritas sosial.

Salah satu contoh paling bagus diterapkannya solidaritas sosial, antara lain, adalah di tahun 1950-an, masyarakat miskin dari berbagai daerah mendapat kesempatan luas menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri. "Sekarang yang boleh sekolah atau sakit hanya orang kaya," ujar mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Tidak natural

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Taufik Abdullah, Kamis (16/8) di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Setelah 62 tahun merdeka, benarkah rasa nasionalisme bangsa ini mulai pudar?

Ada saat-saat dalam sejarah ketika nasionalisme tinggi sekali, terutama ketika suatu bangsa mendapat ujian. Bahkan, nasionalisme bangsa Amerika Serikat (AS) yang sudah 200 tahun lebih merdeka pun melonjak ketika peristiwa serangan ke World Trade Center (WTC) tahun 2001. Begitu pun masyarakat Inggris ketika terjadi perang memperebutkan Kepulauan Malvinas atau Falkland tahun 1982.

Berbeda dengan patriotisme yang tumbuh secara natural, nasionalisme tidak tumbuh secara natural sehingga terkadang butuh dorongan seperti diarahkan ke luar agar bangsa menghadapi tantangan bersama. Nasionalisme bukan bagian dari diri kita. Nasionalisme adalah hasil konseptualisasi ide-ide, suatu konsep pemikiran. Nasionalisme adalah state of mind, suatu hasrat yang diciptakan, suatu cita-cita yang diciptakan.

Oleh karena itu, setiap tanggal 17 Agustus, yang membuat saya terharu bukan karena peristiwa di istana, tetapi justru peristiwa di kampung-kampung. Bagaimana orang bergembira ria merayakan kemerdekaan. Itu adalah bagian dari menghidupkan kembali apa yang pernah dirumuskan.

Bagaimana dampak globalisasi terhadap rasa nasionalisme masyarakat?

Globalisasi sudah membongkar batas-batas kita, jadi waktu itu, jarak itu, menjadi tiada arti. Melihat lewat televisi ada anak-anak dibom di Baghdad, kita merasa bagian dari itu. Jadi, waktu dan jarak menjadi relatif.

Namun, jangan lupa, nasionalisme itu punya akar sejarah. Kalau globalisasi hanya kekinian, nasionalisme merangkul tiga dimensi waktu; masa lalu, kini, dan harapan ke depan. Globalisasi itu menguasai dimensi sekarang dan kesadaran.

Memang benar orang-orang tua bisa saja beranggapan nasionalisme anak muda sekarang sudah luntur karena orang tua seumur saya punya pengalaman berbeda tentang nasionalisme. Saya, misalnya, menyaksikan sendiri pasukan yang gugur ketika berjuang melawan kolonialis Belanda. Ini cukup membakar rasa nasionalisme. Kecintaan terhadap bangsa.

Pengabdian tanpa pamrih

Jika demikian, bagaimana bentuk nasionalisme yang sesuai dengan kondisi sekarang, setelah Indonesia 62 tahun merdeka?

Ada beberapa inti dari nasionalisme, antara lain pengabdian tanpa pamrih. Itu merupakan bagian dari nasionalisme; dan dalam masalah sosial, kita masih memerlukan itu. Kita memerlukan solidaritas sosial yang tinggi. Ancaman disintegrasi bangsa masih cukup riil, maka nasionalisme dibutuhkan agar hal itu jangan sampai terjadi.

Nasionalisme perlu dibangkitkan, tetapi jangan berlebihan. Pada zaman Bung Karno dan Pak Harto (nasionalisme) itu jadi rutin, setiap tanggal 17 harus berbaris, membaca teks Proklamasi. Nasionalisme jadi rutin sehingga kehilangan magisnya.

Dulu, ada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kalau isi P4 itu benar, kita jadi orang baik semua. Dalam P4, kita tidak diajarkan menghadapi masalah riil, tetapi persoalan baik semua. Padahal, dalam hidup ini ada pilihan, ada masalah etik.

Salah satu contoh adalah prajurit yang dipanggil tugas, tetapi pada saat bersamaan harus menunggui kelahiran anak pertamanya. Pergi tugas adalah kewajiban dia sebagai warga negara, tetapi menunggui kelahiran anak juga sama pentingnya karena kewajiban dia sebagai manusia.

Oleh karena itu, yang perlu ditekankan adalah masalah etik, bukan semua benar. Ada ranking dalam pilihan itu

Jadi, solidaritas sosial akan mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa yang sangat kompleks ini?

Begini. Ada saatnya orang berbuat untuk negeri dan Tuhan. Namun, yang penting, bagaimana kita menumbuhkan solidaritas sosial dan itu tak lain bagaimana menimbulkan kehidupan demokratis yang sehat dan keadilan dalam berbagai hal. Bagaimana hal itu akan ditempatkan di situasi sekarang saat yang boleh sekolah hanya orang kaya dan yang boleh sakit hanya orang kaya.

Dulu, orang kecil saja sudah bisa sekolah. Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) itu menampung banyak orang-orang miskin dari berbagai daerah. Perguruan tinggi itu mencetak tenaga-tenaga terdidik. Oleh karena itu, pada tahun 1950-an, revolusi sosial betul-betul terjadi.

Nasionalisme negara

Kemudian, pemerintah melakukan kontrol. Konsep jati diri bangsa membuat kita terkekang. Selama 40 tahun, sejak Dekrit 5 Juli 1959 di era Bung Karno sampai kejatuhan Pak Harto pada 21 Mei 1998, nasionalisme kita dikuasai oleh negara.

Itu stateness, yang kita punyai adalah nasionalisme negara atau official nationalism. Maka, begitu Pak Harto jatuh, nasionalisme luntur. Itu hal yang masuk akal. Negara menyalurkan nasionalisme dalam struktur kekuasaannya. Padahal, nasionalisme adalah milik masyarakat, bukan milik negara.

Wujud nasionalisme adalah solidaritas sosial tadi?

Iya, nasionalisme milik masyarakat, bukan dikontrol oleh negara. Itu sebabnya saya tidak setuju dengan perda-perda (peraturan daerah). Misalnya aturan soal pornografi, karena itu mengembalikan kekuasaan kepada negara.

Birokratisasi kepemimpinan

Bagaimana cara mengembalikan ke masyarakat?

Salah satu "dosa besar" Bung Karno dan Pak Harto adalah karena mereka memperkuat negara, melemahkan masyarakat. Maka, ketika masyarakat berada dalam krisis, mereka tidak bisa mengatasi dirinya sendiri. Masyarakat tidak bisa self defense.

Self defense mechanism (mekanisme bela diri) dari masyarakat itu sudah ambruk. Selain itu, pada waktu itu ada konsep asas tunggal. Akibat langsung dari konsep itu adalah terjadi birokratisasi kepemimpinan.

Jadi, yang menjadi pemimpin itu harus birokrat. Kalau pemimpin kuat, ya enggak ada masalah. Tapi, kalau pemimpin tidak kuat, masyarakat tidak bisa apa-apa. Contohnya, waktu Pak Harto jatuh. Mana ada tokoh informal sekarang? Yang tampil dulu hanya Amien Rais, kemudian Gus Dur.

Mengembalikan nasionalisme masyarakat butuh waktu lama?

Begini, itu bagian dari dinamika kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, berilah suatu kebanggaan. Saya pernah marah kepada pers Indonesia karena hanya memberitakan yang jelek-jelek saja. Padahal, banyak berita yang baik-baik. Berilah bangsa ini harapan.

Bagaimana mewujudkan nasionalisme di bidang ekonomi?

Mencintai produk dalam negeri merupakan salah satu wujud nasionalisme. Bisa menumbuhkan kebanggaan. Namun, kecintaan itu masih kurang. Contohlah Korea yang sangat bangga akan produk otomotifnya. Masalahnya, korupsi kita tinggi sekali sehingga meskipun kita sudah bisa buat sendiri, pejabat lebih senang memesan barang dari luar negeri karena bisa mendapat keuntungan pribadi.

Kebanggaan terhadap produk dalam negeri perlu dikembangkan, caranya, ya, dengan demonstratif. Pejabat-pejabat dan pemerintah harus demonstratif menggunakan produk dalam negeri. Pemimpin perlu memberi contoh menumbuhkan kebanggaan dengan menggunakan produk dalam negeri. Presiden Habibie dulu bagus, dia menyatakan sendiri sepatunya buatan Cibaduyut. Mestinya kebanggaan terhadap produk dalam negeri itu terus dikembangkan.(KHAIRINA/TRY HARIJONO)

No comments:

A r s i p