Tuesday, September 11, 2007

Sosok dan Pemikiran


Membangun Dialog dan Kepercayaan

B Josie Susilo Hardianto

Rentang masa lima tahun bukanlah waktu yang panjang untuk membangun kembali ekspektasi positif masyarakat tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selama ini belum tuntasnya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia telah membuat pandangan masyarakat terhadap lembaga itu cenderung negatif.

Padahal, di sisi lain berbagai persoalan baru terkait pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia terus terjadi. Tantangan itulah yang saat ini harus mulai dijawab oleh Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012 yang baru saja memulai tugas mereka. Tantangan itu pula yang harus dijawab Ifdhal Kasim yang terpilih menjadi Ketua Komnas HAM karena ia secara khusus dipilih untuk mendinamisasi kinerja Komnas agar mampu menjawab persoalan tadi.

Berikut petikan wawancara dengan mantan Direktur Eksekutif Elsam itu.

Terkait pandangan masyarakat tentang menurunnya kredibilitas Komnas HAM, apa yang hendak Anda lakukan bersama dengan komisioner lainnya?

Kami memahami opini tentang rendahnya kredibilitas pamor Komnas HAM itu. Kebetulan kami pun memiliki perhatian yang sama untuk mengembalikan lagi kredibilitas Komnas HAM yang pada masa-masa awal dipercaya oleh masyarakat, yaitu sebagai lembaga pelindungan hak warga negara sekaligus sebagai komunitas human rights defender.

Untuk itu, kami akan mengubah mekanisme pengaduan yang ada yang selama ini terlalu berjenjang. Kami ingin menyederhanakan prosedurnya dan menjawab pengaduan itu dengan cepat. Kami coba mengembangkan mekanisme quick response, terutama untuk kasus mendesak sehingga tidak ada peristiwa berdimensi pelanggaran HAM yang tidak diberi perhatian oleh Komnas HAM. Kami ingin memperkuat lagi artikulasi lembaga ini dalam merespons kasus yang diadukan maupun yang tidak diadukan.

(Ifdhal kemudian menjelaskan, salah satu mekanisme respons cepat itu adalah Komnas HAM akan memberi pendapat awal atas sebuah kasus yang terjadi meskipun kasus itu belum diadukan dan Komnas HAM belum menginvestigasinya secara menyeluruh. Selain itu, Komnas HAM akan meninjau kembali berbagai rekomendasi yang pernah dikeluarkan, apakah rekomendasi itu telah ditindaklanjuti atau belum.)

Bagaimana melakukannya?

Komnas akan mempelajari masalahnya ada di mana. Mungkin rekomendasi itu tidak spesifik sehingga sulit diintepretasi pejabat atau persoalannya berkaitan dengan relasi lembaga negara lain sehingga rekomendasi itu tidak dibaca. Itu berarti ada masalah terkait komunikasi dengan lembaga itu. Kami juga akan mengoreksi itu sehingga kualitas rekomendasi berbobot dan dapat ditindaklanjuti.

Jika persoalan itu dapat dijawab, diharapkan langkah awal itu dapat mengembalikan lagi kepercayaan publik. Mengapa? Karena pada dasarnya warga ingin agar kasus yang mereka hadapi memperoleh penjelasan dan penyelesaian atau setidaknya ada penanganan yang lebih jelas.

Berikutnya, kami akan mencoba membangun kembali dialog konstruktif dengan Kejaksaan Agung serta DPR terutama terkait dengan Pengadilan HAM Ad Hoc. Selama ini banyak kasus yang telah diselidiki Komnas HAM dan telah dibentuk KPP seperti kasus Mei, orang hilang, peristiwa 27 Juli, dan terakhir Talangsari, hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Namun, Jaksa Agung mengatakan perlu ada Pengadilan HAM Ad Hoc dulu baru disidik.

Terkait persoalan yang sama kami juga akan membangun dialog konstruktif dengan DPR untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas karena DPR berperan membuat rekomendasi kepada presiden.

Itulah tiga hal mendesak yang harus dijawab dan menentukan apakah citra Komnas HAM berubah atau tidak karena ketidakjelasan penyelesaian atas kasus-kasus itulah yang dinilai menyebabkan kredibilitas lembaga ini menurun.

Diharapkan, dengan membangun kebersamaan antarlembaga, keadilan bagi para korban dapat diberikan. Dalam konteks itu pula peran presiden menjadi penting. Kami juga akan membangun dialog dengan presiden karena presiden mengemban amanat konstitusional untuk memastikan penegakan HAM di Indonesia.

(Dalam kesempatan itu, mantan calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu juga menegaskan pentingnya menangani berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Secara khusus ia menyebutkan tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua dan Aceh.)

Bagaimana penyelesaian di dua provinsi itu?

Di dua provinsi itu, penanganan kasus terkesan buntu apalagi menyusul pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi. Mereka seolah kehilangan pijakan hukum untuk membentuk KKR di wilayah masing-masing, padahal di sisi lain Undang-Undang tentang Otsus dan Pemerintahan Aceh mengamanatkan pembentukan KKR di dua provinsi itu.

Untuk itu, Komnas HAM harus proaktif mendorong pemerintah dan menginisiasi membangun konsep dan persiapan pembentukan KKR di Aceh dan Papua. Meskipun ada kendala legal, Komnas HAM berkewajiban mendorong daerah itu mencari jalan keluar melaksanakan amanat UU Otsus dan Pemerintahan Aceh.

Tentang dialog itu, Komnas HAM kali ini banyak diisi komisioner berlatar belakang LSM yang selama ini umumnya memiliki relasi yang kurang pas (dengan pemerintah). Bagaimana Anda akan membangun dialog itu, bagaimana membangun sikap saling percaya itu?

Ini tantangan yang memang harus ditanggapi komisioner. Jelas komisioner yang berasal dari NGO terbiasa dengan cara kerja yang lebih responsif dan lebih mobile, hal yang sama dilihat dari mereka yang berasal dari akademisi dan ormas keagamaan. Kelebihannya respons mereka besar terhadap suara korban.

Di sisi lain, reaksi cepat ini dirasa sering menimbulkan persoalan dengan institusi pemerintah lain.

Dalam konteks ini, kami harus bisa mentransformasikan diri tanpa menghilangkan karakter kami karena ketika menjadi komisioner, mau tidak mau kami harus membangun hubungan yang konstruktif dengan lembaga lain sebab kami saat ini sudah ada di lembaga negara.

Dengan demikian, kami sebagai komisioner akan bekerja sesuai dengan atmosfer yang berkembang dalam relasi dengan lembaga negara tanpa kehilangan sikap independensi. Jadi, walaupun kami mencoba mengembangkan relasi kolegial dengan lembaga negara lainnya, kami tidak meniadakan posisi kami sebagai pembela HAM karena lembaga ini dimandatkan oleh negara untuk menjaga HAM.

Dengan melaksanakan fungsi itu, kolega kami pun diharapkan dapat menghargai peran yang diberikan UU kepada kami. Dengan itu, relasi sejajar dapat terbangun tanpa kehilangan independensi masing-masing.

Dengan demikian, masing-masing tidak terjebak dalam persepsi tentang NGO. Jika tidak, akan sulit membangun dialog itu. Komnas HAM seharusnya dipahami sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk memastikan setiap warga menikmati hak-hak mereka.

Tentu dalam konteks itu, kami akan banyak berhadapan dengan kebijakan negara, tetapi tidak dalam bentuk yang destruktif dan masing-masing dari kita harus memastikan itu.

Di dalam, kami pun akan memaksimalkan fungsi rapat paripurna untuk menanggapi isu-isu krusial dan kontroversial yang belum tuntas sehingga ada tanggapan bersama sebagai lembaga. Dengan 11 komisioner yang ada kami relatif lebih mudah apalagi kami punya perhatian yang sama untuk membangun kembali kredibilitas Komnas HAM.

Untuk itu para komisioner menyepakati untuk kembali menggunakan struktur subkomisi berdasarkan fungsi sesuai Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan pengalaman Komnas HAM selama ini, langkah itu dilakukan guna membangun lembaga yang lebih responsif, lebih sederhana, tidak tumpang tindih, serta memotong birokrasi pengaduan. Fleksibilitas kerja terjaga dan pengadu segera tertangani.

Saya bersyukur, semua komisioner berkomitmen bekerja 100 persen untuk Komnas. Itu memudahkan untuk membangun kepemimpinan kolektif dan mendukung penguatan staf.

Staf akan diperkuat dan difungsikan sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi mereka serta memerhatikan kritik PBB terkait staf Komnas HAM.

No comments:

A r s i p