Saturday, September 22, 2007

Kontrak Sosial Telah Berlalu?


William Chang

Salah satu kritik Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri atas kepemimpinan SBY-JK adalah terkait dengan kesejahteraan rakyat kecil yang tak kunjung datang. Bagaimanakah dengan realisasi kontrak sosial negara kita?

Sebagian dari realitas sosial berupa kemiskinan, pengangguran, TKI/TKW, dan tindak kriminal mencerminkan k(p)elalaian pemenuhan kontrak sosial sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Rombongan pakar luar negeri datang mengeruk kekayaan negara kita, sementara putra-putri bangsa mengais sesuap nasi di negeri yang berhujan batu. "Emas" di negeri sendiri ditinggalkan dan mencari "batu" di negeri lain.

Konsensus luhur dalam kontrak sosial ini agaknya mulai dilupakan banyak aparatur negara, baik dari jajaran tertinggi maupun terendah. Dewasa ini kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan umumnya tidak lagi dihidupi sebagai dinas (bdk. Dienst = pelayanan!), melainkan sebagai prestise dan sumber penghasilan individual. Buktinya, rasa tanggung jawab oknum pemerintah terhadap kemajuan negara masih dangkal. Kekayaan alam dijual demi kepentingan individual atau kelompok. Sedih kalau kita menyaksikan kerusakan infrastruktur di daerah-daerah pedalaman, rendahnya mutu pelayanan publik, dan belum adanya jaminan sosial bagi rakyat kecil.

Tampaknya dalam banyak bidang negara kita belum sanggup menyiapkan tenaga profesional. Perkembangan pembangunan di daerah-daerah tertentu masih memprihatinkan. Sampah berserakan. Parit-parit ditutup dan dipersempit sehingga hujan sebentar mendatangkan banjir yang mengganggu kepentingan umum. Di tengah lumbung padi, tikus-tikus mati kelaparan. Sebuah kontradiksi antara kontrak sosial dan realitas sosial.

Negara tanpa aturan

Hidup komunitarian tanpa kontrak sosial bakal melahirkan sebuah negara tanpa aturan (state of nature), yang memungkinkan setiap warga negara melakukan apa pun sesuai dengan kehendaknya. Gejala sosial ini, antara lain, hidup di kalangan kaum "intelektual" (mahasiswa) yang suka tawuran, sindikat preman dengan oknum tertentu yang mengisap masyarakat, demonstrasi-demonstrasi anarkis, dan "politisasi" hukum dalam kasus-kasus oknum tertentu. Status negara hukum mulai dipertanyakan.

Komunitas tanpa peraturan, menurut Thomas Hobbes (1588- 1679), mengundang pertikaian dan perselisihan antaranggota komunitas (Perang Sipil Inggris). Malah, dalam hidup harian manusia acap kali menjadi "serigala" bagi sesamanya (tindak kekerasan, kekejaman, permusuhan, pengisapan, dan penghancuran sesama). Hukum rimba berlaku. Dalam chaos yang membahayakan keselamatan orang banyak, acap kali aparat keamanan bingung bertindak karena takut dicap melanggar HAM.

Menghindari state of nature, Bung Karno dkk merancang suatu kontrak sosial yang berjiwa kemanusiaan universal. Kekacauan sosial akan muncul kala dimensi kemanusiaan dilalaikan dalam praksis ketatanegaraan. Sejumlah hak dan "keakuan" masyarakat dipercayakan kepada pemerintah demi terwujudnya kehidupan bersama sesuai dengan hukum dan peraturan yang menjamin kesejahteraan bersama dalam semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Masalahnya, apakah pemerintah, oknum penguasa, dan semua parpol kita committed dengan kontrak sosial bangsa kita?

Terapkan kontrak sosial

Terlepas dari aneka pandangan kritis (D Hume, J Madison: social compact, R Barnett), kontrak sosial sejak zaman Plato (428-347) menjadi suatu obyek persetujuan (object of an agreement) antara warga negara dan pemerintah yang wajib memenuhi tuntutan kesejahteraan sosial. Kontrak ini melibatkan hak-hak dasar rakyat dan tanggung jawab pemerintah. Bakal muncul tuntutan-tuntutan jika hak dasar rakyat tak terpenuhi oleh pemegang roda pemerintahan (J Rawls, 1972).

Tanpa melupakan sejarah pembentukan sebuah negara, legitimitas sebuah negara tetap terpaut dengan kecerdasan dalam penanganan masalah-masalah sosial aktual sekarang ini. Perubahan dan pergeseran sosial akan memengaruhi perwujudan kontrak sosial (R Nozick, 1974). Tentu, kontrak sosial dalam hampir semua bidang pelayanan umum perlu ditinjau ulang dan diterapkan sesuai dengan konteks sosial dewasa ini (penguasa-rakyat, pihak keamanan-rakyat, dokter-pasien, guru-murid, penjual-pembeli, majikan-karyawan, penulis-pembaca, pilot/sopir-penumpang).

Masalahnya, apakah setiap anggota masyarakat menyadari bahwa hubungannya dengan sesama memiliki semacam "kontrak sosial"? Tanpa kesadaran ini, aneka bentuk penyimpangan akan muncul dalam aktivitas ketatanegaraan. Kelemahan sistem kontrol sosial dengan sendirinya akan menyuburkan tindak penyelewengan dari kontrak sosial suatu bangsa.

Tampaknya plot cerita negeri kita akan lebih baik kalau cara pikir dan perilaku para "penguasa" dari Jakarta hingga ke daerah-daerah terpencil sepadan dengan epikeia kontrak sosial bangsa. Jika keadilan dan keadaban sungguh bersemi dalam kemanusiaan, putra-putri bangsa tak perlu menyusup ke negeri orang lain untuk mengais sesuap nasi, sementara di depan wajah kita tersedia tumpukan rezeki yang belum dikais.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

No comments:

A r s i p