Tuesday, September 4, 2007

Sejarah Indonesia


Pendiri Kelompok Pathuk:
Heroisme Soeharto Perlu Diluruskan

SEJARAH perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari kota Yogyakarta. Selain menjadi pusat pergerakan rakyat, Yogyakarta juga telah banyak melahirkan kelompok atau organisasi maupun tokoh-tokoh kaliber nasional.

Salah satu kelompok yang mencuat karena melahirkan para pelaku sejarah di Indonesia adalah Kelompok Pathuk. Nama-nama besar seperti Syam Kamarruzzaman, Chairil Anwar, Syahrir, hingga DN Aidit dan Soeharto, adalah sedikit nama yang pernah dekat dengan kelompok ini.

Dimotori 4 sekawan satu sekolah di SMT (Sekolah Menengah Tinggi) Yogyakarta (sekarang SMA 3 'Padmanaba'), yaitu Kusumo Sunjoyo, Permadi Joy, Den Nyoto dan Dayino, Kelompok Pathuk memulai diskusi kecil soal kebangsaan dan politik di sebuah rumah kos di bilangan Pathuk, Yogya. Kelompok yang muncul pertama kali sekitar tahun 1943 itu memang tidak secara formal didirikan, karena saat Jepang berkuasa tidak mungkin dibentuk suatu ke- lompok secara terang-terangan, apalagi berbau politik. Kelompok Pathuk kemudian banyak dikenal kalangan luas sebagai salah satu Marx House.

"Kenapa disebut demikian, karena Kelompok Pathuk banyak mendiskusikan buku Das-kapital karangan Karl Marx. Pilihan ini lebih didasarkan pada saat itu, "musuh" kita adalah kapitalisme yang lalu berkembang menjadi imperialisme. Dan satu-satunya referensi yang menentang kapitalisme adalah, Das-Kapital. Jadi jangan heran jika kebanyakan jebolan Pathuk adalah orang- orang yang basis sosialisnya kuat. Termasuk saya yang pernah menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Saat itu, hampir semua orang mengaku sosialis, ada yang sosialis-nasionalis ada yang sosialis-religius," tutur Dayino, satu-satunya "pendiri" Kelompok Pathuk yang masih hidup.

Dayino berkisah, latar belakang berdirinya Kelompok Pathuk bermula saat Jepang menguasai Indonesia awal tahun 40-an. Jepang kemudian membebas- kan tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Bung Hatta dan Syahrir, yang sebelumnya ditahan Belanda di Banda Neira. "Jepang menggunakan tokoh pergerakan untuk memobilisasi massa dalam menghadapi tentara Sekutu. Untuk itulah mereka bertiga dibebaskan," ujar Dayino.

Syahrir, melalui radio yang ia punyai, mengetahui bahwa Jepang mengalami kekalahan dari Sekutu dalam perang Pasifik. Kemudian ia menghubungi Soekarno dan Hatta, bahwa Jepang akan kalah perang. Kemudian mereka bertiga sepakat untuk menyusun suatu pergerakan. Soekarno dan Hatta melalui jalur diplomatis, sedangkan Syahrir melalui gerakan bawah tanah dengan mendirikan Pendidikan Nasonal Indonesia (PNI) yang memiliki jaringan di Sumatera, Jawa dan Bali.

Jaringan PNI di Jawa di antaranya meliputi cabang Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya dan Malang. PNI Yogya sendiri diketuai Wiyono Suryokusumo. Melalui Wiyono inilah, Dayino kemudian berhubungan dengan tokoh tua seperti Sugiyono Yosodiningrat (DPU), dr Usm- argono, Mukhtar, S Parman (pahlawan revolusi) dan sebagian siswa dari Tamansiswa.

"Jaringan ini dimaksudkan untuk mendidik kesadaran nasional dan memberi pengertian bahwa kita harus merebut kemerdekaan. Karena itu, dibu- tuhkan anak-anak muda untuk melakukannya. Ya, dalam rangka itulah Kelompok Pathuk terbentuk. Kegiatannya adalah diskusi-diskusi untuk melakukan pe- nyadaran-penyadaran serta membentuk jaringan di semua sektor. Makanya, Kelompok Pathuk punya jaringan sampai ke Telkom, PLN, para sopir dan montir yang bekerja pada Jepang. Bahkan punya jaringan khusus dengan pasukan Peta (Pembela Tanah Air).

Pada perkembangannya, banyak sekali pelajar yang bergabung dengan kelompok ini. Di antaranya mereka adalah Syam Kamaruzzaman, Munir, Harto Mulyo dan Sumardi dari Perguruan Tamansiswa yang akhirnya menjadi tokoh- tokoh yang membidani lahirnya PKI.

"Jumlah anggotanya tidak pernah diketahui secara persis, karena sifatnya yang sangat terbuka. Tapi dalam sekali pertemuan bisa mencapai 20- an orang," jelasnya.

Soeharto bukan anggota Selain melakukan gerakan bawah tanah, Kelompok Pathuk juga berperan aktif dalam pertempuran fisik, baik Serangan Oemoem 1 Maret 1945 maupun pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945.

"Tidak benar jika Soeharto (mantan presiden) memegang roll dalam pertempuran melawan Jepang di Kotabaru justru Kelompok Pathuk-lah yang do- minan. Melalui jaringan Pathuk yang ada di Kantor Telepon (Sayogya) dan PLN, kami menyadap dan melakukan sabotase.

Pada waktu itu, kami memutus jaringan telepon dan aliran listrik (lewat gardu di sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Dari Sayogya juga, kami mendapat informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28 senjata beserta pelurunya. Dengan bantuan teman-teman kami di Kantor Pos yang membuatkan duplikat kunci serta bantuan para sopir, kami berhasil mengambil. Jadi jelas peran Kelompok Pathuk sangat besar dalam pertempuran Kotabaru," jelas Dayino.

Menyinggung keberadaan Soeharto di Kelompok Pathuk, Dayino menegaskan bahwa mantan Presiden itu sama sekali bukan anggota Kelompok Pathuk. "Ketika itu Soeharto adalah pemuda lonthang-lanthung karena sebagai tentara Peta (di Ponorogo), ia telah dilucuti karena Jepang kalah perang. Setelah kemerdekaan, Soeharto kadang-kadang muncul di markas kami. Itupun karena diajak Marsudi yang memang sering berdiskusi dengan Kelompok Pathuk," kata- nya.

Secara politik pun, lanjut Dayino, Soeharto tidak pernah bergabung. "Karena kami penganut paham sosialis, sementara Soeharto mengejar ambisinya sendiri melalui jalur militer. Kami menyayangkan mengapa nama Soeharto dimasukkan dalam monumen Pathuk. Demikian juga penonjolan peran Soeharto yang digambarkan dalam diorama pertempuran Kotabaru di Monumen Yogya Kembali, perlu diluruskan," jelas Dayino.

Dayino mengatakan sebagai satu-satunya pendiri Kelompok Pathuk yang masih hidup juga kecewa, karena tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam peringatan peristiwa bersejarah serangan ke Kotabaru itu. "Baru pada peringatan kemarin (7 Oktober 1998) saya dilibatkan. Itu pun cuma sebagai undangan," kata Dayino yang saat ini tinggal di Ngadiwinatan. (dd/hh)

Sumber: Bernas, 9 Oktober 1998

No comments:

A r s i p