Saturday, September 22, 2007

Demokrasi


Catatan terhadap Pikiran Claude Lefort

Donny Gahral Adian

Dunia tempat kemungkinan perang sama sekali dihapuskan, sebuah dunia yang sepenuhnya damai, akan menjadi dunia tanpa perbedaan kawan/lawan dan oleh sebab itu: sebuah dunia tanpa politik.
(Carl Schmitt, "The Concept of the Political")

Kita tengah menyaksikan kebangkrutan filsafat politik. Itulah kira-kira keprihatinan mendasar sebagian filsuf politik dewasa ini. Keprihatinan itu melatari sebuah arus balik fundamental dalam filsafat politik.

Saya menyebut arus itu sebagai "kembalinya yang politik". Namun, sebelum mengucap selamat datang pada "yang politik", ada baiknya kita telaah dulu sebab musabab bangkrutnya filsafat politik.

Kita mulai dengan laporan untuk Library of Congress yang dibuat Pierre Manent pada Juni 1999. Di situ Manent mengatakan: "Betapa pun kita menilai tinggi kapasitas dan keluaran filsafat Heidegger, Bergson, Whitehead atau Wittgenstein, tak satu pun di antara kita menimbang sumbangsih mereka terhadap filsafat politik."

Manent tidak sendirian. Filsuf politik bernama Bernard Flyinn mengatakan bahwa apa yang kita rayakan sekarang sebagai filsafat politik tak lebih dari politisasi konsep-konsep filsafat. Politisasi ini bergerak satu rel dengan ketidakacuhan terhadap fenomena politik, seperti kodrat negara, bentuk-bentuk birokrasi, totalitarianisme, demokrasi, dan sebagainya. Flyinn memberi contoh, konsep differance yang dilontarkan Derrida.

Konsep yang bermula dari pembacaan Derrida terhadap teori semantik Husserl itu sama sekali tak memiliki napas politik sehirup pun. Konsep itu sekadar menjelaskan bahwa antara makna dan tanda terdapat jeda temporal yang tak pernah mengatup. Namun, Derrida kemudian memakainya untuk menerangkan bagaimana hukum tak pernah sebangun dengan keadilan sebab keadilan selalu tertunda untuk hadir total dalam hukum. Buku The Force of Law yang ditulis Derrida, menurut Flyinn, tak lebih dari politisasi konsep differance.

Antagonisme politik

Saya mencoba merangsek ke tengah keprihatinan kolektif ini. Menurut hemat saya, filsafat politik selama ini alpa terhadap kodrat politik, yakni antagonistik. Meminjam refleksi Schmitt, filsafat politik mencampuradukkan antara modus kawan/lawan dengan baik/jahat, menguntungkan/tak menguntungkan, dan indah/buruk.

Pengelompokan politik berdasarkan baik/jahat, misalnya, berujung pada pemusnahan yang jahat dan berkibarnya yang baik. Marx, misalnya, memandang yang jahat bersumber pada pemilikan personal alat produksi oleh pemodal yang satu ketika mesti direbut oleh kelompok proletar. Kelompok proletar dalam hal ini berlaku sebagai representasi yang baik. Ini membuat Das Kapital dan Manifesto Komunis terbaca layaknya Alkitab yang menjanjikan kerajaan Tuhan di Bumi.

Sebaliknya, Machiavelli memahami antagonisme sebagai konflik antara dua disposisi, yakni merepresi dan tak direpresi. Keduanya adalah negasi yang saling membutuhkan satu sama lain, bukan perjuangan mengatasi sesuatu (misalnya, kebaikan mengatasi kejahatan).

Dua disposisi tersebut tak bisa diselesaikan melainkan dinegosiasikan ulang. Antagonisme melekat secara abadi dalam tubuh politik. Penyelesaian antagonisme adalah berakhirnya yang politik dan dengan demikian berakhir pulalah filsafat politik. Berdasarkan itu, apa yang kita pahami selama ini sebagai filsafat politik sebenarnya tak lebih dari etika politik. Ketika filsafat politik menerangkan yang politik sebagai antagonisme permanen, etika politik justru berupaya menuntaskan antagonisme tersebut dengan prinsip normatif tertentu.

Dengan dasar semacam ini, filsuf politik Perancis, Claude Lefort, membangun pemikiran bagaimana antagonisme bukan saja tak mungkin diselesaikan, tetapi bahkan jangan pernah diselesaikan. Sebab, hasrat penyelesaian antagonisme adalah hasrat primordial yang mengeram dalam rahim totalitarianisme.

Tubuh politik

Modernitas, bagi Lefort, adalah periode disinkarnasi rakyat dari tubuh sang raja. Sang raja, sebagai figur yang menginkarnasi identitas atau kesatuan rakyat dan menghubungkannya dengan kutub transenden, telah lenyap. Namun, meski figur pemersatu (raja) telah hilang, kursi yang ia duduki masih ada. Kursi itu kosong dari yang transenden (Tuhan) sekaligus yang profan (rakyat sebagai satu kesatuan). Kekosongan itu menandakan modernitas masih merujuk pada sesuatu "yang Lain". Hanya saja "yang Lain" telah dilucuti dari segala pemaknaan transendental. "Yang Lain" di sini adalah alteritas yang tak pernah bisa diisi penuh oleh identitas.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi? Di dalam demokrasi, sumber legitimasi kekuasaan adalah rakyat (people). Persoalannya, berdasarkan argumen ruang kosong Lefort, tidak ada yang bisa menjadi inkarnasi rakyat sebagai kesatuan, seperti sang raja pada masa monarki. Tak satu pun figur atau kelompok yang bisa menganggap dirinya paling sahih mewakili rakyat sebagai keutuhan. Setiap klaim harus mampu divalidasi secara diskursif dan terus dijadikan target kritisisme. Kesahihan politik yang tak pernah total dalam demokrasi menghasilkan kecemasan yang laten namun akut.

Kita memahami bahwa kerja kelompok oposisi adalah terus menggerus kesahihan politik penguasa. Hal yang sama berlaku di republik ini. Namun, para kritikus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya adalah orang-orang yang cemas. Kemerosotan kesahihan politik menandakan kemungkinannya untuk mendarat di titik nol.

Dengan kata lain, kemungkinan yang sama bisa terjadi saat kelompok oposisi berkuasa. Ruang kosong simbolik bisa jadi sungguh-sungguh kosong sehingga siapa saja yang berkuasa, apa pun caranya, tak mampu membangun kesahihan politik.

Dalam rezim totaliter, partai atau individu menginkarnasi rakyat sebagai kesatuan dengan memproyeksikan konflik keluar dari dirinya. Konflik bisa diproyeksikan keluar sebagai Yahudi, kekuatan asing, gay atau lesbian, neoliberalisme, dan lain-lain.

Di sini teror tidak berfungsi untuk memecah-belah, melainkan menyatukan rakyat di bawah ancaman kekuatan asing. Totalitarianisme bertahan dengan merawat sungguh-sungguh dua imajinasi pokoknya: rakyat sebagai kesatuan dan kekuatan asing yang merongrong.

Demokrasi dan modernitas

Dalam bukunya yang berjudul Complications (1999), Lefort mengungkapkan sesuatu yang menarik berkenaan dengan Uni Soviet. Konstitusi 1938 Uni Soviet, menurut Lefort, memberi ruang bagi hak-hak demokratis seperti hak berpendapat dan berasosiasi. Namun, hak-hak itu tidak boleh diaksentuasi tanpa merujuk pada prinsip-prinsip pokok sosialisme. Sementara, satu-satunya yang berhak menafsirkan apa itu prinsip-prinsip pokok sosialisme adalah partai berkuasa.

Masyarakat demokrasi modern, menurut Lefort, menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Memang, dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Hanya saja percakapan itu senantiasa dihantui kecemasan yang mendasar soal ruang kosong dalam demokrasi itu sendiri. Artinya, totalitarianisme bisa saja muncul tiba-tiba dari kegelapan dan mengisi secara total ruang kosong itu.

Geliat politik sektarian di republik ini lantas menyisakan pertanyaan: "Apakah kelompok politik berbasis agama bisa menjadi kandidat utama totalitarianisme?"

Berdasarkan analisis Lefort, saya meragukan itu. Kelompok politik sektarian tidak bisa muncul tiba-tiba mengatasnamakan kepentingan semua dan melindas segala ketegangan. Kalaupun secara perlahan mereka menguat, kerja totalitarian mereka takkan pernah menutup ruang kosong demokrasi secara total. Ancaman sesungguhnya datang dari kelompok politik sektarian yang mengambil bentuk politik kebangsaan.

Izinkan saya membawa kesimpulan Lefort tentang demokrasi lebih jauh. Jika demokrasi adalah ruang di mana urusan publik dibincangkan dan diputuskan, siapa yang bisa mengatasnamakan publik? Ruang kosong dalam demokrasi, menurut hemat saya, tidak memiliki satu titik koordinat, melainkan menyebar.

Setiap partisipan di ruang publik demokratis adalah ruang kosong yang tak pernah menginkarnasi yang publik secara utuh. Artinya, setiap klaim publik senantiasa digerogoti oleh ketidakpastian. Urusan publik selalu dilontarkan dari perspektif yang nonpublik.

Dengan kata lain, kerja demokrasi adalah mengelola konflik, baik secara prosedural maupun deliberatif guna mencegah yang publik hadir secara tiba-tiba dan menotalisasi segalanya. Kita tak pernah bisa serta-merta mengklaim sebagai penggotong suara publik. Namun, kita mesti percaya bahwa yang publik bisa dihampiri perlahan-lahan lewat perjumpaan sudut pandang. Akhir kata, yang publik, bagi saya adalah kehampiran, bukan kepastian.

Donny Gahral Adian Ketua Jurusan Filsafat Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p