Tuesday, September 4, 2007

Nasionalisme di Tengah Gempuran Globalisasi

Oleh Try Harijono

Tudingan yang sering dilontarkan menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI seperti sekarang, antara lain, adalah semakin pudarnya semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Tudingan yang belum tentu benar, tetapi sudah mulai membentuk stigma di tengah masyarakat.

Bila ukurannya semangat patriotisme dan perjuangan fisik seperti perang kemerdekaan dulu, tentu ada benarnya. Generasi sekarang tidak mungkin lagi melakukan perjuangan fisik penuh heroisme seperti masa lalu.

Akan tetapi, nasionalisme bukanlah sesuatu yang kaku, baku, dan statis. Setiap zaman memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda sehingga membutuhkan wujud nasionalisme yang dinamis.

Ini tidak aneh karena sebagai sebuah konsep sosial, nasionalisme muncul, berkembang, dan mengalami evolusi yang sangat panjang hingga mencapai bentuknya seperti sekarang.

Bermula pada masa Kekaisaran Romawi sekitar 400 tahun Sebelum Masehi (SM) istilah nasionalisme muncul dengan makna negatif, dan baru pada abad ke-18 pada masa Revolusi Perancis nasionalisme memiliki makna positif.

Namun, dalam perkembangannya, nasionalisme juga menimbulkan sebuah paradoks. Di satu sisi nasionalisme yang fanatik menimbulkan fasisme seperti terjadi di sejumlah negara Eropa, sedangkan di sisi lain menumbuhkan semangat pembebasan bangsa-bangsa Asia Afrika dari belenggu kolonialisme.

Harga diri

Di Indonesia, semangat nasionalisme atau kecintaan pada bangsa oleh para pendiri negara dengan sangat cerdik dipadukan dengan harga diri (dignity) untuk melawan penindasan kolonialisme. Kecintaan pada bangsa ini pada gilirannya melahirkan semangat juang, rela berkorban, dan bersikap tulus tanpa pamrih untuk kejayaan bangsa. Sikap ini bukan cuma ada di kalangan elite politik saat itu, tetapi juga mengakar di kalangan masyarakat.

"Saya, misalnya. Ketika duduk di sekolah dasar sempat menyaksikan pejuang yang gugur melawan kolonialis Belanda dan kemudian dimakamkan. Dalam hati ini tumbuh semangat nasionalisme, kecintaan terhadap bangsa, tetapi tentu saja konsepnya tidak cocok jika diaplikasikan untuk zaman sekarang," kata sejarawan Taufik Abdullah (71) yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Meski konsep dan aplikasinya berbeda, nasionalisme yang secara universal tidak lahir secara natural, membutuhkan suatu sentuhan dan tantangan untuk berkembang.

"Itulah sebabnya momentum- momentum yang terjadi di tengah masyarakat jika diolah sedemikian rupa bisa mempertebal rasa nasionalisme," kata Taufik Abdullah.

Masyarakat Amerika Serikat (AS), misalnya, boleh dibilang rasa nasionalismenya semakin kuat setelah terjadi serangan 11 September 2001. Mereka pun rela saja ketika Patriot Act yang mengurangi hak-hak individu masyarakat diberlakukan dengan dalih mencari dan mengejar teroris. Begitu pun rancangan Universal National Service Act yang mewajibkan seluruh warga AS berusia 18-26 tahun melakukan pengabdian nasional (national service) selama dua tahun, nyaris tidak mendapat tentangan kuat.

Di Indonesia, belum kita lupakan, bagaimana rasa nasionalisme sebagai anak bangsa mendidih ketika Malaysia melakukan provokasi di perairan Ambalat, Kalimantan Timur.

Meski hanya berbekal keahlian silat bahkan cuma sepotong kayu, sebagian masyarakat bersumpah dengan cap jempol darah siap membela harga diri bangsa mempertahankan perairan Ambalat. Padahal, mereka tidak tahu kondisi kawasan tersebut yang berupa perairan, sedangkan daratan terdekat cuma Pulau Sebatik.

Contoh mutakhir, jika bisa disebut nasionalisme, adalah pertandingan sepak bola Indonesia melawan Arab Saudi dalam laga Piala Asia 2007 di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Tanpa komando dan tanpa instruksi, penonton yang jumlahnya lebih dari 100.000 orang secara serempak bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, Padamu Negeri, dan lagu-lagu patriotik lainnya sebagai wujud kecintaan pada bangsa Indonesia.

"Semangat nasionalisme bisa diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Masyarakat yang memelihara hutan demi kelestarian lingkungan dan bangsa juga wujud dari nasionalisme atau kecintaan pada bangsa," kata Anton Novenanto, dosen Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya, Malang.

Cinta dan bangga menggunakan produk-produk dalam negeri juga merupakan wujud nasionalisme. Begitu pun jika punya kesempatan untuk melakukan korupsi, tetapi secara sadar tidak melakukannya karena cintanya pada bangsa, juga merupakan bentuk nasionalisme yang sangat dibutuhkan saat ini.

"Kesalahan terbesar yang terjadi selama ini adalah penyeragaman makna nasionalisme oleh negara. Padahal, nasionalisme adalah ruang terbuka yang bisa diisi oleh segenap warga negara untuk mewujudkan cintanya pada bangsa," kata Anton.

Siapa pun bisa berbuat untuk bangsa sesuai kemampuan, kondisi, atau keahlian sebagai wujud kecintaan pada bangsa.

"Namun, yang dibutuhkan saat ini adalah solidaritas sosial karena mulai pudar di masyarakat maupun elite politik," ujar Taufik Abdullah.

Arus globalisasi

Secara universal, semangat nasionalisme dalam perkembangannya kini ternyata mampu menggeser beragam kalkulasi bisnis yang sebenarnya bisa memberikan keuntungan finansial. AS yang merupakan pelopor perdagangan bebas, misalnya, dengan beragam cara menggagalkan penjualan perusahaan minyaknya, Unocal, yang hampir jatuh ke tangan China.

Tawaran perusahaan China, CNOOC, yang lebih tinggi dari perusahaan lain ditampiknya karena khawatir persoalan minyak Amerika akan dikuasai asing.

Begitu pun saat pelabuhan-pelabuhan di Amerika Serikat akan dikelola perusahaan raksasa di Dubai, Kongres AS menggagalkannya dengan dalih keamanan.

Kalangan pengusaha China berjuang mati-matian agar saham bank negara tidak jatuh ke tangan asing yang lambat laun bisa menguasai perekonomian China.

Di Eropa, masyarakat Perancis menentang keras ketika perusahaan raksasa Perancis, Danone, akan dibeli Pepsi. Di Belanda dan Italia, masyarakat kedua negara bereaksi keras ketika bank kebanggaan mereka, ABN Amro milik Belanda dan Bank Antonveneta milik Italia, akan dimerger. Masyarakat di negara-negara tersebut menyadari betul makna sebuah kepentingan nasional (national interest).

Apakah fenomena ini menunjukkan munculnya kesadaran masyarakat dunia bahwa globalisasi modal menjadi ancaman serius yang bisa mengikis dan menghancurkan kepentingan nasional? Kesadaran bahwa perusahaan multinasional, tetap saja membawa keuntungan yang diperolehnya ke negara asalnya?

Jika demikian, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeruk dengan rakusnya kekayaan alam Indonesia? Bukannya anti-asing, tetapi apakah sepadan dan adil kontribusi mereka pada kepentingan nasional kita?

Apakah kita masih memiliki setitik semangat nasionalisme? Ibu Pertiwi menunggu jawabannya dari lubuk hati yang paling dalam.

No comments:

A r s i p