Tuesday, September 11, 2007

Si Penggerutu


Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bukan cuma dosen atau pembimbing skripsi saya, tetapi juga pendidik sejati. Ia pengganti dua "orang bijak" FISIP UI, Selo Soemardjan dan Miriam Budiardjo.

Sukar mencari guru besar UI seperti Menteri Pertahanan yang dipercaya menjadi menteri, baik oleh Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, maupun Pak Bambang. Bu Mega menunjuknya sebagai Duta Besar untuk Inggris.

Artikel "Indonesia (Seharusnya) Bangsa yang Besar" (Kompas, 4/9) Menteri Pertahanan mengajak semua pihak bersikap optimistis. Ia menyayangkan masyarakat dan pakar, melalui media, melancarkan otokritik secara berlebihan.

"Sering saya dengar, misalnya di stasiun radio, semua orang cuma ngomel saja kerjanya," ujar Menteri Pertahanan. Ia ambil contoh bahwa rakyat China—bukan para pemimpinnya—selalu optimistis sehingga sukses membangun Tembok Besar.

Pernyataan Menteri Pertahanan "cuma ngomel kerjanya" menarik. Tetapi, ada baiknya saya ulang cerita di edisi terakhir rubrik ini tentang Si Pasrah, Si Sabar, dan Si Tak Peduli.

Walau berbeda, tiga orang ini berangkat dari kondisi psikologis serupa: marah. Untungnya Si Pasrah, Sabar, dan Tak Peduli tak masuk golongan pemarah "aktif" yang mudah mengamuk.

Mereka pemarah "pasif" yang hanya bisa ngedumel. Si Pasrah tak punya harta atau kuasa karena sudah terlalu lama "kalah", Si Sabar percaya pada prinsip "orang sabar selalu dikasihani Yang Mahakuasa".

Si Tak Peduli "membungkam" bagian otaknya yang berisi memori buruk tentang republik ini. Jika tekanan darah mereka tiba-tiba naik, Sabar, Pasrah, dan Tak Peduli paling maksimal cuma jadi Si Penggerutu.

Si Penggerutu memiliki empati meski belum tentu menjadi korban ketidakadilan. Ia orang kantoran, rajin mengikuti perkembangan, dan bercita-cita republik ini jadi negara kesejahteraan.

Ia ngomel karena orang-orang di pusat kekuasaan rajin lomba TP (tebar pesona). Ia bingung menyaksikan ulah menteri, mulai dari yang enggan mengumumkan jumlah kekayaan sampai yang dilempari botol minuman.

Ia ngomel karena tiap hari menyaksikan ketidakadilan. Ia tak bosan menunggu datangnya kemakmuran, tetapi tiap bertanya kepada penguasa ia selalu mendapat jawaban seperti judul lagu Koes Plus, Kapan Kapan.

Si Penggerutu tak heran jika Menteri Pertahanan atau menteri-menteri lain enggak pernah ngomel? Maklum, mereka enggak usah antre minyak, numpak busway, bayar uang tol, atau dianiaya polisi Malaysia.

Kehidupan politik masih sehat jika mayoritas masyarakat jadi Penggerutu karena setiap kritik dibarengi pula dengan solusi. Kalau ditotal, sejak era reformasi sudah ada 1.001 solusi di negeri ini.

Penguasa selalu menjawab solusi dengan mimpi. Penggerutu tawari solusi sosialisasi kompor gas atau kenaikan tarif tol, penguasa bagai sopir mau belok ke kanan tetapi menyalakan lampu sein ke kiri.

Si Penggerutu kayak Dewi Saraswati yang punya banyak tangan yang siap diulurkan bagi penguasa jika butuh bantuan. Namun, penguasa kayak patung kaisar-kaisar Romawi yang bisu, tuli, dingin, dan tak bertangan.

Si Penggerutu mengkritik penguasa agar rajin bekerja ketimbang keseringan tebar pesona. Penguasa menjawab, "Ah, saya mau balapan siapa yang duluan menyaksikan final turnamen sepak bola Piala Asia".

Si Penggerutu tahu demokrasi adalah sistem yang mengandung untung dan rugi. Penguasa, seperti kata iklan mebel, "Kalau sudah duduk, lupa berdiri".

Nah, Si Penggerutu amat paham demokrasi tanpa kebebasan menyampaikan aspirasi lewat media bagaikan sayur bakwan tanpa udang. Dokter bilang udang itu lebih sehat daripada daging merah yang menyumbat darah di jantung.

Penyumbatan darah di jantung dapat mengakibatkan stroke yang dipicu tekanan darah tinggi. Meski bukan dokter, Si Penggerutu mengerti tekanan darah tinggi tak datang tiba-tiba karena merupakan akumulasi dari proses tahunan.

Rakyat sudah "darah tinggi" hampir tiga tahun karena kesenjangan antara janji-janji kampanye dan realitas semakin lebar. Waspadailah bahaya stroke politik!

Stroke ringan terjadi saat 30 persen pemilih di Ibu Kota memilih golput. Calon gubernur/calon wakil gubernur simbol politik zaman edan, kepanjangan tangan kekuasaan tanpa nurani, strong leadership tentara yang tak relevan lagi, dan pemimpin yang tak mau rugi.

Stroke ringan kedua sedang terjadi. Semua harga barang naik menjelang Ramadhan yang datang sebentar lagi.

Stroke mengakibatkan pasien koma atau tubuhnya lumpuh separuh. Jika sudah terlambat, Si Penggerutu paling berkomentar, "Ah, saya enggak mau membantu kamu."

Saran Si Penggerutu untuk pasien, perbaikilah gaya hidupmu. Jadilah pemimpin suri teladan yang ditiru menteri, gubernur, jenderal, dirjen, kepala biro, sampai bupati.

Oh ya, untuk Pak Menteri Pertahanan, Tembok Besar tak dibangun rakyat China yang optimistis. Tembok yang panjangnya lebih dari 6.000 kilometer itu hasil karya sedikitnya sejuta budak dan tawanan yang disiksa penguasa bekerja paksa.

Banyak yang mati kelelahan dan kelaparan. Mayat mereka tak dikebumikan, tapi ditumpuk untuk memperkuat konstruksi Tembok Besar—makanya ia disebut "makam terpanjang di dunia".

Oh ya, menteri adalah pembantu presiden. Salah satu tugas Menteri Pertahanan ialah meredakan ketegangan Jakarta-Singapura akibat ketidakjelasan perjanjian ekstradisi dan keamanan.

Jangan ngomel lho.

No comments:

A r s i p