Tuesday, September 11, 2007

Anatomi Hubungan RI-Malaysia


Maruli Tobing

Setelah sekitar dua tahun absen, tiba-tiba saja "Ganyang Malaysia" muncul kembali. Diawali oleh kelompok pengunjuk rasa yang membakar bendera Malaysia di Medan dan Jakarta, Rabu (29/8) dua pekan lalu.

Esok harinya, kalimat itu menjalar ke berbagai kota. Malah massa juga mendesak pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri jiran tersebut.

Peristiwa ini dipicu oleh tindakan empat polisi Malaysia yang menganiaya wasit karate asal Indonesia, Donald Peter Luther Kolobita, Jumat (24/8) dini hari di Kuala lumpur. Kalangan politisi di DPR menuntut Pemerintah Malaysia agar meminta maaf.

Pemerintah Malaysia yang sibuk berbenah menyongsong perayaan HUT ke-50 kemerdekaan mereka terperanjat mendengar informasi dari KBRI Kuala Lumpur. Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar dan Kepala Polisi Diraja Malaysia Tan Sri Musa Hitam bergegas diutus. Saat itu protes di Indonesia baru sebatas di media massa.

Seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Selasa (28/8), Tan Sri Musa Hitam menjelaskan kepada wartawan, keempat polisi sudah diskors. Gaji mereka hanya dibayar separuh. Dalam beberapa hari ini kasusnya akan dilimpahkan kepengadilan.

Antara hukum dan politik

Seperti halnya negara eks jajahan Inggris, Malaysia melihat penganiayaan itu sebagai perbuatan melawan hukum, yang harus diselesaikan secara hukum. Sebaliknya, bagi Indonesia, peristiwa ini menyangkut harkat dan martabat bangsa. Maka, pernyataan maaf adalah mutlak dan mendahului proses hukum.

Besoknya, protes melalui media massa berubah menjadi unjuk rasa dan menjalar cepat ke kota-kota lain. Alhasil, sore itu juga Dubes Malaysia Dato Zainal Abidin menjenguk Donald Peter di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, membawa surat permintaan maaf Kepala Polisi Diraja Malaysia.

Malamnya, sekitar pukul 20.00, PM Abdullah Badawi menelepon Presiden Yudhoyono menyatakan penyesalan yang mendalam dan permintaan maaf atas insiden yang dialami Donald Peter. Pada malam itu juga, Wapres Jusuf Kalla berangkat ke Kuala Lumpur menghadiri acara HUT ke-50 Malaysia.

Akan tetapi, mengapa harus ada kalimat yang selalu muncul bertubi-tubi? Bukankah isu tersebut sensitif bagi hubungan kedua negara?

Berbuah kegagalan

Dua tahun lalu, ketika muncul sengketa Pulau Ambalat, "Ganyang Malaysia" berkumandang di Makassar dan menjalar ke kota-kota lain. Secara bersamaan, muncul pos-pos pendaftaran sukarelawan di berbagai kota.

Di Jawa Timur, dibuka pos pendaftaran pasukan berani mati. Banyak warga mendaftarkan diri, termasuk ibu-ibu rumah tangga. Mereka menyatakan siap mempertahankan Ambalat.

"Ganyang Malaysia" di era Reformasi jelas bukanlah dimaksud seperti dicanangkan Bung Karno pada 27 Juli 1963. Sejarah menunjukkan, politik konfrontasi hanya berbuah kegagalan dan Indonesia makin terisolasi. Suatu perangkap yang akhirnya mempercepat proses ambruknya kekuasaan Bung Karno dan rontoknya PKI.

Seandainya "Ganyang Malaysia" bukan sekadar ejekan, tetapi konfrontasi, dampaknya bisa lebih parah dibandingkan dengan masa lalu. Apalagi beberapa negara besar dikabarkan mengincar pecahnya NKRI.

Pemimpin Front Kedaulatan Maluku, dr Alex Manuputty, misalnya, memperoleh visa AS meski saat itu ia buron polisi Indonesia. Dari negeri Paman Sam, ia mengatur peristiwa tari cakalele yang menghebohkan, Jumat (29/6). Beberapa aktivis Papua Merdeka pun bermukim di AS.

Australia, tetangga dekat, menusuk Indonesia dari belakang dalam kasus lepasnya Timor Timur. Tanpa menghiraukan permintaan Pemerintah RI, Australia memberi visa kepada 42 warga Papua yang mencari suaka, April 2006.

Lain lagi masalah yang dihadapi Malaysia. Negara ini sejak lama masuk dalam "radar" pengamatan AS. Semasa berkuasa, PM Mahathir menuding AS sebagai neokolonialis dan negara teroris.

Penerusnya, PM Abdullah Badawi, memang tidak sekeras Mahathir. Namun, dalam pertemuan Organisasi Negara-negara Islam (OKI) beberapa waktu lalu, PM Abdullah Badawi mengusulkan OKI membantu persenjataan Hezbollah dalam menghadapi Israel.

Kini, di tengah maraknya kampanye Washington mengisolasi Iran, termasuk menjalankan sanksi ekonomi, Malaysia justru meningkatkan hubungan dagang dan investasi dengan Iran. AS menuding Malaysia berupaya mengintegrasikan ekonomi Iran dengan Asia Tenggara.

Dewa penolong

Malaysia maupun Indonesia sama-sama menghadapi ancaman yang tidak terlihat. Sangatlah masuk akal jika ada dugaan skenario membenturkan kedua bangsa serumpun ini.

Dalam hal ini aksi unjuk rasa di Kedubes Malaysia seharusnya tidak perlu terjadi seandainya Pemerintah Malaysia belajar dari cara Dubes Australia, Bill Farmer, menyelesaikan masalah yang terkait dengan kunjungan Gubernur DKI Sutiyoso ke Negara Bagian New South Wales, Australia, akhir Mei lalu.

Pada waktu itu pengadilan mengeluarkan surat perintah menghadirkan Sutiyoso untuk didengar kesaksiannya dalam peristiwa terbunuhnya lima wartawan Australia di Timtim (1975). Polisi masuk dengan paksa ke kamar hotel yang dihuni Sutiyoso.

Peristiwa ini menimbulkan protes di Jakarta. Namun, sebelum situasi di Jakarta berubah menjadi aksi anti-Australia, Dubes Bill Farmer bergerak cepat dan meminta maaf. Pada hari yang sama, ia kembali menemui Sutiyoso dengan surat permintaan maaf Kepala Pemerintahan Negara Bagian New South Wales. Gubernur Sutiyoso terharu.

Masalahnya, bagi Pemerintah Indonesia sendiri "Ganyang Malaysia" kini mirip dewa penolong. Contohnya, Februari 2005 muncul aksi menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM hingga 100 persen, yang akan diberlakukan bulan Mei.

Mendadak muncul sengketa Pulau Ambalat, yang diikuti gelombang aksi unjuk rasa selama lebih-kurang dua bulan. Dengan sendirinya, protes kenaikan harga BBM pun sirna.

Baru-baru ini pemerintah kembali diguncang krisis minyak tanah di hampir semua daerah. Ditambah lagi masalah meroketnya tarif jalan tol, antrean kendaraan di Pelabuhan Merak selama lebih dari sepekan, dan beberapa masalah lain; termasuk lumpur Lapindo dan sidang PK kasus pembunuhan Munir.

Lantas saat "anti-Malaysia" mulai bergulir, ia mirip magnet yang menyedot perhatian masyarakat. Semua masalah di atas lenyap seperti ditelan bumi.

Maka, bukanlah hal mengejutkan apabila—kendati PM Abdullah Badawi dan Kepala Polisi Diraja Malaysia sudah menyampaikan permintaan maaf dan ibunda Donald Peter menerimanya ikhlas—tetap saja muncul suara menghendaki berlanjutnya suara-suara tadi.

No comments:

A r s i p