Tuesday, September 11, 2007

Jajak Pendapat "Kompas"


Kegairahan Parpol pada Kekuasaan

SULTANI

Daripada membangun citra partai politik lewat agregasi kepentingan publik, elite partai-partai politik di negeri ini tampak lebih menonjolkan pemanfaatan partai hanya untuk mendapatkan kekuasaan.

Pemanfaatan partai politik (parpol) sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan sebenarnya merupakan hal wajar dalam kehidupan politik. Parpol dan kekuasaan seolah identik satu sama lain karena melalui partai politik suksesi kepemimpinan politik yang absah dilakukan.

Menurut Mark N Hagopian (Regime, Movements, and Ideologies, 1978), parpol merupakan suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau memengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.

Sebagai organisasi politik, partai merepresentasikan berbagai aspirasi, kepentingan, dan ideologi yang ada dalam masyarakat. Melalui partai, semua aspirasi, kepentingan, dan ideologi diagregasikan menjadi sebuah kebijakan publik.

Menurut Ichlasul Amal (Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, 1988), ideologi dan kepentingan merupakan basis sosiologis yang selalu menggerakkan parpol pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan.

Kecenderungan parpol inilah yang dilontarkan mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung terhadap Partai Golkar saat ini. Dalam Ujian Terbuka Program Doktor UGM, awal September lalu, Akbar Tandjung mengemukakan pandangannya bahwa "terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada tahun 2004 menunjukkan, Partai Golkar masih dipenuhi orang yang sangat berorientasi pada kekuasaan". Lepas dari polemik atas pendapat tersebut, fenomena yang dikemukakan Akbar Tandjung mencerminkan watak parpol Indonesia secara umum.

Masyarakat luas pun merasakan hal yang sama. Setidaknya jajak pendapat kali ini mengungkapkan "unek-unek" publik tentang fenomena itu.

Secara umum, 63,9 persen responden mengakui, parpol saat ini cenderung mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat. Bahkan, fenomena tersebut juga diakui 52 persen responden terhadap parpol pilihan mereka.

Bagi Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla, orientasi Golkar pada kekuasaan wajar saja karena sebagai parpol, Golkar didirikan untuk mencari kekuasaan. Dengan kekuasaan itulah partai akan menyalurkan aspirasi masyarakat. "Kalau tidak mencari kekuasaan, ya bubarkan saja parpol itu. Jadikan saja lembaga swadaya masyarakat (LSM)," kata Jusuf Kalla.

Pertanyaannya, apakah untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat parpol harus memenangi kekuasaan terlebih dahulu? Responden (50,8 persen) tidak percaya kesejahteraan rakyat hanya bisa diperjuangkan setelah parpol mendapatkan kekuasaan. Faktanya, hampir semua parpol yang memegang kekuasaan, baik di eksekutif maupun di legislatif, melupakan rakyat begitu kekuasaan sudah ada di tangannya.

Bagi sebagian masyarakat, kepercayaan mereka terhadap parpol tidak sedikit yang disalahgunakan para elitenya. Wajar saja kalau sebagian besar (63,9 persen) responden mencurigai parpol saat ini cenderung dijadikan sebagai komoditas (barang dagangan) untuk kepentingan elite-elitenya.

Menguatnya kepentingan pribadi dalam orientasi perjuangan parpol bisa dirasakan juga oleh publik dengan melemahnya pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan parpol saat ini. Munculnya kepentingan yang beragam di balik faksionalisme yang berkembang saat ini mencerminkan gagalnya parpol mengompromikan perbedaan-perbedaan tersebut.

Fungsi agregasi (menggabungkan kepentingan-kepentingan) publik tidak berjalan. Kegagalan itu tercermin dari ungkapan 72 persen responden yang tidak puas dengan kinerja parpol dalam menangkap aspirasi masyarakat.

Selain agregasi politik, parpol juga memiliki fungsi artikulasi politik, yaitu mengolah berbagai kepentingan yang sudah diagregat menjadi sebuah rumusan yang teratur, entah sebagai program atau strategi perjuangan partai. Fungsi ini pun tidak dirasakan oleh publik. Mereka mengaku, parpol gagal mengartikulasikan kepentingan mereka (67,4 persen).

Secara eksternal, parpol juga dinilai gagal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakmampuan parpol dalam mengartikulasikan kepentingan publik membuat fungsi partai dalam perumusan kebijakan ikut mandek. Padahal, parpol memiliki kader-kader yang berkualitas di legislatif untuk ikut merumuskan kebijakan publik bersama pemerintah.

Terkooptasi

Melemahnya kontrol partai terhadap pemerintah bisa jadi disebabkan oleh terkooptasinya parpol ke dalam pemerintahan. Hampir semua partai diberi jatah kekuasaan sehingga sikap oposisi terhadap pemerintah hampir tidak ada.

Sebagian besar (67,9 persen) responden setuju bahwa parpol saat ini cenderung berpihak kepada pemerintah daripada menjadi oposisi. Sementara PDI-P sebagai satu-satunya partai yang secara terbuka menyatakan sikap oposisi terhadap pemerintah juga masih belum maksimal dalam menjalankan perannya.

Ketidakjelasan sikap parpol terhadap pemerintah barangkali merefleksikan ketidakkonsistenan partai menjaga haluan perjuangannya. Semangat perjuangan yang biasanya lekat dengan ideologi yang dibawa bisa saja berubah, tergantung kepentingan yang ditawarkan. Lebih dari separuh responden menganggap parpol telah berpaling dari ideologi dan konstituennya.

Tingkat kekritisan parpol dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah dengan sendirinya melemah. Hal ini bisa dilihat dari sikap partai-partai besar—terutama yang terkooptasi oleh pemerintah—yang lebih banyak mengambil posisi sebagai mitra pemerintah.

Misalnya, Golkar yang menempatkan dirinya sebagai mitra sejajar pemerintah dan PAN yang menempatkan dirinya sebagai mitra kritis sebelum akhirnya mengambil sikap sebagai partai bebas kritis.

Mungkin inilah hasil perjalanan parpol Indonesia yang lebih banyak diwarnai dengan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan.

Masih sedikit—bahkan hampir tak ada—partai yang mau menempatkan dirinya sebagai agregator kepentingan masyarakat. Partai-partai politik di Indonesia, tampaknya, memang berdiri hanya dengan satu tujuan: kekuasaan. Kegairahan sebagai artikulasi kepentingan masyarakat nyaris tak tampak. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p