Saturday, September 1, 2007

Bukan Pengibar Bendera


BUDIARTO SHAMBAZY

Salah satu pasien dokter ahli saraf di Jakarta Pusat adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang diciduk polisi 29 September 1998. Pengadilan menuduh Anwar melakukan korupsi dan sodomi.

Pengadilan juga menyidangkan Inspektur Jenderal Polisi Rahim Noor yang menyiksa Anwar selama mendekam di penjara. Sampai kini Anwar berobat ke sang dokter tersebut karena saraf punggungnya sakit cukup parah.

Polisi menganiaya pelatih karate Donald Luther Colopita. Bagi sebagian orang, maaf PM Abdullah Badawi sudah cukup, tetapi sebagian lagi mendesak pemerintah lebih tegas lagi terhadap Malaysia.

Dalam diplomasi ada opsi-opsi pembalasan dengan berbagi risiko. Salah satu risiko, bagaimana nasib minimal 1,8 juta warga RI, belum termasuk pendatang gelap, yang bekerja di Malaysia?

Imigran asing selalu jadi soal pelik. Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush membangun tembok untuk mencekal pendatang, Eropa pusing menghadapi imigran Afrika dan Asia.

Imigran merebut lowongan kerja dan dianggap kurang peka. Budaya serta etos kerja mereka dilecehkan, mereka sering mengalami diskriminasi.

TKI di Malaysia bukan hanya jadi sasaran warga di sana, tetapi juga orang-orang di KBRI. Sudah jatuh, mereka tertimpa tangga pula.

Banyak TKI tewas dianiaya majikan. Berkas perkara korupsi mantan Duta Besar RI untuk Malaysia dan mantan pejabat Kantor Imigrasi sebentar lagi diajukan ke pengadilan.

Majikan mudah bebas dari ancaman hukuman. Sang mantan duta besar dan mantan pejabat Kantor Imigrasi melakukan pemerasan terhadap TKI.

Pemukulan terhadap Donald menimbulkan reaksi keras. Muncul lagi "nasionalisme bendera" (flag waving nationalism) yang emosional, mulai dari demonstrasi sampai sweeping warga Malaysia di sini.

Nasionalisme bendera bersifat chauvinistic dan anti-asing. Ia dilecehkan akal sehat, termasuk saat sebagian rakyat AS menghadapi situasi pascatragedi 11 September.

Di Inggris nasionalisme bendera hanya ada di lapangan sepak bola. Darah penggemar langsung mendidih kalau timnas Inggris menghadapi Argentina.

"Here we go, here we go/Where is your navy?/At the bottom of the sea". Ini merujuk ke perang pada awal 1980-an ketika kedua negara terlibat pertikaian kepemilikan Pulau Malvinas.

Penonton fanatik Jerman hanya bisa berteriak "Deutchland, Deutchland" di stadion sepak bola saja. Soalnya kalau teriak di tempat yang salah, mereka dicurigai mau menghidupkan Nazi kembali.

Sayang timnas RI selalu kalah. Maka, nasionalisme bendera kadang kala muncul tiba-tiba di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Nasionalisme bendera tak ubahnya flu ringan yang cuma mendatangkan bersin. Ia seram kayak kuburan tanpa nisan dan tak logis seperti ayam hidup yang tak ada lagi kepalanya.

Saya tak suka nasionalisme bendera meski sejak di SD senang disuruh mengérék bendera dalam upacara. Jika harus memilih mengkhianati negara atau sahabat, saya pilih yang pertama.

Saya lebih suka patriotisme bukan karena saya tidak jualan bendera. Saya pilih patriotisme karena bicara tentang pengorbanan demi bangsa dan melarang pembunuhan antarsesama, apalagi cuma demi kepentingan pemerintah.

Patriot tewas di medan laga mempertahankan setiap jengkal wilayah negaranya. Patriot ogah bersiasat untuk menculik atau meracuni aktivis prodemokrasi yang tak suka pemerintah.

Patriot tak semata-mata setia kepada negaranya saja. Ia pun wajib setia kepada keadilan dan kemanusiaan karena sikap itulah yang justru membuat negara dan bangsanya kuat serta sejahtera.

Unjuk rasa patriot tak berlangsung di pinggir jalan dengan teriakan ke langit sampai suara hilang. Seorang patriot unjuk rasa dengan dedikasi sepenuh hati melalui pengabdian yang amat panjang.

Unjuk rasa patriot jauh dari unsur "demo pesanan". Ia tidak butuh sorotan kamera dan lampu-lampu kilat yang sinarnya menyilaukan.

Patriot tak perlu mati karena alasan-alasan sepele belaka. Apalagi kalau ada yang suruh meruncingkan bambu, lalu ke Ambalat menghadapi kapal-kapal perang Malaysia.

Patriot seperti Bung Karno menggalang sukarelawan dalam Konfrontasi pada awal 1960-an. Patriot sejati adalah Usman dan Harun, dua prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) yang melancarkan infiltrasi dan dihukum gantung di Singapura akhir 1960-an.

Patriotisme bermakna mendukung negara dan, jika perlu, membantu pemerintahan yang sah. Namun, patriot berani berbeda pendapat melawan penguasa yang menindas rakyatnya.

Patriot siap mempertahankan negaranya melawan pemerintah. Patriot berprinsip "jangan dibutakan patriotisme dangkal sampai takut menghadapi kenyataan" dan "salah ya salah, tak peduli siapa yang melakukannya".

Patriot tak perlu bendera, tetapi butuh beras, gula, sampai minyak tanah. Patriot rindu pemimpin yang bukan pemimpi, tak butuh pejabat berwatak penjahat, dan enggak suka penguasa-pengusaha.

Patriot enggak mau lagi mengibarkan bendera karena bangsa ini sudah lama merdeka. Usianya sudah 62 tahun, kalau manusia, sudah manula.

Patriot bertanya, "Apakah tol mahal di sini sama kayak Taj Mahal di India?" Apakah telah tiba saatnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah?

Makanya jangan terlalu sering mengibarkan bendera. Kalau salah ikat, salah kérék, dan salah lipat, leher Anda tercekik tali tiang bendera.

No comments:

A r s i p