Tuesday, September 11, 2007

Pentingnya Menjadi Oposisi



KETUA Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri melontarkan kritik yang tajam kepada pemerintah. Kritik disampaikan pada forum terhormat partai, yaitu Rapat Kerja Nasional II PDIP yang dihadiri 1.532 pengurus partai dari seluruh Indonesia.

Perhelatan PDIP kali ini memang melibatkan partisipasi yang luas. Setelah rakernas, kemarin PDIP juga menggelar rapat koordinasi nasional (rakornas) yang diikuti 15 ribu kader.

Inti kritik Megawati adalah dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang kesejahteraan rakyat semakin merosot. PDIP prihatin kemiskinan dan pengangguran meningkat. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, anggaran pendapatan dan belanja negara terus meningkat. Akan tetapi, kenaikan APBN itu tidak diikuti perbaikan kualitas kehidupan dan ekonomi bangsa. Janji setinggi langit, pencapaian hanya sampai di kaki bukit.

Kritik itu menunjukkan posisi yang tegas yang diambil PDIP, yaitu sebagai partai oposisi. Kritik pun disampaikan pada forum resmi partai, secara terbuka, bukan sembunyi-sembunyi sehingga semakin menunjukkan peranan oposisi itu.

PDIP adalah partai yang meraih suara terbanyak kedua dalam Pemilu Legislatif 2004. Perolehannya kalah dari Partai Golkar. Tetapi Ketua Umum Partai Golkar adalah wakil presiden sehingga tidak bisa mengambil posisi sebagai oposisi. Namun, di lain sisi, Partai Golkar pun tidak sepenuhnya menjadi partai pemerintah karena sedikitnya kursi kabinet yang diberikan kepada Golkar.

Satu-satunya partai besar yang tidak memiliki orangnya di kabinet adalah PDIP. Oleh karena itu, satu-satunya partai yang bisa dengan tegas mengambil posisi sebagai oposisi pun hanyalah PDIP. Dan itulah yang ditunjukkan Megawati dalam pidatonya yang mengkritik pemerintah ketika membuka Rakernas PDIP.

Mengambil posisi sebagai partai oposisi sesungguhnya belum memiliki riwayat kelembagaan yang panjang di negeri ini. Partai oposisi pernah hidup di zaman liberal, di era kabinet parlementer, tetapi menyebabkan ketidakstabilan yang luar biasa hebat. Kabinet jatuh bangun dengan cepat dan gampang.

Sistem politik kemudian berubah menjadi otoriter, baik di zaman Orde Lama di bawah Presiden Soekarno maupun di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Praktis selama 39 tahun (1959-1998), yaitu sejak Dekrit Presiden hingga pecahnya reformasi yang menumbangkan Pak Harto, Indonesia tidak mengenal partai oposisi.

Dari perspektif sejarah politik Indonesia modern itu, demokrasi yang sekarang dinikmati bangsa ini sudah seharusnya diimbangi pula dengan tumbuh dan menguatnya partai oposisi. Ada yang memenangi pemilu presiden dan karena itu berkuasa dan menentukan kabinet, tetapi ada yang sepenuhnya berada di luar kabinet sebagai oposisi. Maka, selalu ada yang dengan sadar dan sehat mengoreksi kekuasaan agar setidaknya tetap ingat janji-janjinya di kala kampanye.

Mengingatkan janji adalah perkara penting karena seorang presiden hasil pilihan rakyat sekarang ini tidak lagi diberi mandat oleh MPR. Ia juga tidak lagi diberi tanggung jawab konstitusional yang harus dipikulnya melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tidak ada lagi GBHN. Yang ada ialah janji yang harus selalu ditagih dan diingatkan. Di situlah arti penting dan arti strategis partai oposisi.

Lagi pula, merupakan keniscayaan demokrasi bahwa kekuasaan dapat datang dan pergi setiap lima tahun sekali. Yang kemarin berkuasa sekarang menjadi oposisi, seperti yang sekarang berkuasa terbuka kemungkinan tidak terpilih lagi dan kemudian menjadi oposisi.

Bukankah roda berputar, kadang di atas kadang di bawah? Dalam kearifan dan kematangan berdemokrasi seperti itulah kritikan Megawati Soekarnoputri layak dicamkan dan diapresiasi.

No comments:

A r s i p