Tuesday, September 4, 2007

Pertaruhan Kredibilitas Lembaga Penelitian

BAMBANG SETIAWAN

Kegairahan lembaga penelitian untuk ikut serta memantau jalannya pemilihan kepala daerah lewat penghitungan cepat menjadi ciri yang melekat pada Pilkada DKI Jakarta, 8 Agustus 2007. Pilkada kali ini tidak saja menjadi pertaruhan demokrasi bagi Ibu Kota Negara, namun juga menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga penelitian.

Paling tidak, ada enam lembaga yang melakukan penghitungan cepat atau quick count dengan sistem sampling dan mengeluarkan hasilnya secara bersamaan pada sore hari setelah pencoblosan suara di tempat pemungutan suara (TPS) selesai.

Keenam lembaga tersebut adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI; Lembaga Survei Indonesia; Lingkaran Survei Indonesia; Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis); dan Litbang Kompas. Di luar lembaga-lembaga tersebut, terdapat Seven Strategic Studies yang melakukan penghitungan atas seluruh TPS (real count) dan penghitungan oleh lembaga-lembaga dari masing-masing kandidat atau partai. Inilah pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan keterlibatan lembaga pemantau dan lembaga penelitian terbanyak sepanjang sejarah pilkada.

Jika ditengok lebih jauh ke belakang, penghitungan cepat dengan sistem sampling mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Ketika itu, dua lembaga penelitian melakukan uji coba di dua wilayah yang berbeda, LP3ES di wilayah DKI Jakarta dan Litbang Kompas di wilayah Kota Solo. Namun, situasi politik yang demikian bergejolak menjadikan kedua lembaga sama-sama memutuskan untuk tidak memublikasikan hasilnya.

Penghitungan suara cepat yang dikenal dengan nama quick count atau tabulasi suara paralel (Paralel Vote Tabulation-PVT), kemudian diujicobakan lagi pada Pemilu 1999 oleh Forum Rektor dan LP3ES yang mendapat bantuan pelatihan dari National Democratic Institute for International Affairs (NDI). Dalam pemilu tersebut, Forum Rektor melakukan pemantauan dan penghitungan cepat untuk level nasional, sedangkan LP3ES melakukannya di Nusa Tenggara Barat. Hasil dari uji coba tersebut juga tidak dipublikasikan secara luas dan hanya dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Publikasi hasil quick count secara luas baru terjadi pada Pemilu 2004. Dalam pemilu legislatif 5 April 2004, LP3ES melakukan penghitungan cepat dan memublikasikan hasilnya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemilu. Hasil quick count lembaga ini, yang hanya berdasarkan sampel 2.500 TPS, secara akurat memproyeksikan perolehan suara dengan selisih yang menakjubkan dari penghitungan manual yang dilakukan atas seluruh TPS oleh KPU. Perbedaan dengan hasil KPU hanya 0,15 persen, jauh di bawah margin of error ± 1 persen yang ditetapkan oleh LP3ES.

Publikasi hasil quick count atas pemilu legislatif tidak mendapat reaksi yang keras. Namun, reaksi yang sangat keras kemudian bermunculan ketika lembaga penelitian tersebut juga melakukan kegiatan yang sama pada Pemilu Presiden 5 Juli 2004. Hasil yang dilansir dalam waktu kurang dari 24 jam membuat LP3ES dan NDI yang bekerja sama menyelenggarakan quick count mendapat kecaman sangat keras dari sejumlah elite politik, termasuk Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie. Bahkan, persoalan ini disinggung dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pihak asing dituduh telah turut campur mengendalikan jalannya pemilu presiden.

Ketua KPU mengeluarkan pernyataan akan mencabut akreditasi LP3ES dan NDI sebagai pemantau. "Itu, kan, melanggar hukum. Sebelum pemantau memberikan kepada publik, ia harus memberitahukan dulu kepada KPU," ujar Nazaruddin Sjamsuddin (Kompas, 8/7/2004). Seorang pimpinan dari sebuah partai politik pun mempertanyakan keanehan yang terjadi setelah melihat tampilan hasil penghitungan suara oleh KPU selalu sama dengan hasil quick count yang dibuat LP3ES-NDI. "Kalaupun ada kesamaan, seharusnya hal itu terjadi mendekati hasil akhir penghitungan nanti," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa Mahfud MD saat itu (Kompas, 9/7/2004).

Meskipun mendapat kecaman, hasil quick count dari lembaga tersebut kemudian terbukti akurat. Hasilnya rata-rata hanya berbeda di bawah 1 persen dari hasil tabulasi nasional KPU.

Selain LP3ES-NDI, Forum Rektor, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) juga melakukan quick count dalam pemilu presiden putaran pertama tersebut. Keberhasilan yang dicapai beberapa lembaga dalam memprediksi hasil pemilu legislatif dan pilpres putaran pertama, membuat quick count menjadi primadona berita pemilu. Akibatnya, dalam pilpres putaran kedua, kian banyak lembaga yang tertarik untuk membuat penghitungan cepat, termasuk sejumlah televisi yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian. Harian Kompas pun, meskipun dengan jumlah sampel yang terbatas (98 TPS), turut melakukan uji coba dan hasilnya tidak terlalu melenceng jauh dengan hasil KPU.

Dalam Pilkada DKI Jakarta kemarin, hasil quick count beberapa lembaga penelitian secara umum cukup presisi memprediksi perolehan suara tiap-tiap kandidat. Selain tidak ada kesalahan menempatkan siapa pemenangnya, hasil prediksi juga menunjukkan relatif dekatnya hasil temuan masing-masing lembaga penelitian meskipun menggunakan jumlah sampel yang berbeda-beda. Litbang Kompas, dengan jumlah sampel terkecil (250 TPS), bisa dikatakan paling presisi karena simpangan hasil quick count-nya paling kecil, hanya sebesar 0,11 persen dari hasil KPUD.

Kode etik riset

Pasca-Pilkada DKI, kredibilitas sebuah lembaga penelitian pun akhirnya diukur dari hasil prediksinya. Keakuratan, menjadi kata kunci untuk menilai. Sayangnya, tujuan mulia quick count sebagai alat pemantauan dan penjaga proses demokrasi tampaknya mulai bergeser akhir-akhir ini. Keakuratan, yang memang menjadi dambaan dari setiap lembaga penelitian, justru dijadikan alat untuk melakukan subordinasi lembaga-lembaga penelitian. Uji sahih hasil penelitian, pada akhirnya memunculkan sifat arogansi kelembagaan daripada sifat ilmiah.

Sebuah iklan di salah satu surat kabar nasional yang terbit di Jakarta, Selasa 28 Agustus, terasa menyentak. Judulnya sangat provokatif: "Saatnya Lembaga Survei Diawasi!!" Selain berpotensi menimbulkan kontroversi, sebuah tanda tanya besar juga muncul.

Berpotensi menimbulkan polemik, karena inilah untuk pertama kalinya sebuah lembaga penelitian yang sudah cukup berpengalaman dalam melakukan berbagai macam survei, mendapatkan kartu kuning berupa peringatan oleh sebuah lembaga survei yang, sejauh ini, belum terdengar kiprahnya di level nasional.

Lembaga Survei Indonesia (LSI), meskipun dapat memprediksi pemenang pilkada, dinilai oleh Lembaga Survei Nasional gagal memprediksi angka golput dan quick count dalam Pilkada DKI Jakarta sehingga perlu mendapat kartu kuning. Hasil penghitungan cepat lembaga yang dipimpin Saiful Mujani tersebut memiliki selisih di atas 1 persen dibandingkan hasil KPUD. Sebaliknya, harian Kompas, LP3ES, dan Puskapol UI mendapatkan penghargaan untuk kategori keakuratan karena hasilnya memiliki selisih di bawah 1 persen. Di luar lembaga tersebut, Lingkaran Survei Indonesia dinyatakan oleh lembaga penilai mendapatkan dua kategori penghargaan untuk prediksi pemenang pemilu dan hasil quick count dengan selisih di bawah 1 persen. Di iklan tersebut, terpampang wajah Denny JA tersenyum sambil memegang sertifikat penghargaan.

Di satu sisi, peringatan tersebut mengingatkan kita pada dua hal: kontroversi RUU Statistik (1996-1997) dan konflik Ketua KPU dengan LP3ES-NDI pada Pemilu 2004, sebagaimana sudah disinggung di atas.

Apa yang terjadi sepanjang Agustus 1996-Mei 1997 adalah polemik berkisar pada upaya pengaturan dan standardisasi metode penelitian oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menjadi pertanyaan, seberapa penting upaya kontrol oleh lembaga negara tersebut dalam urusan metode dan hasil penelitian oleh badan swasta?

Sementara, konflik antara Komisi Pemilihan Umum dan LP3ES berkaitan dengan hasil penghitungan cepat yang segera dipublikasikan tanpa dikonsultasikan terlebih dahulu dengan KPU. Meskipun terbukti akurat, hasil riset dengan metode sampling saat itu dianggap tidak layak untuk memprediksi suara populasi. Inti dari semua itu adalah, ada upaya untuk mengendalikan lembaga riset oleh lembaga lain.

Wilayah penelitian, pada akhirnya menjadi domain yang diperebutkan. Dan, dalam konteks ini, pemberian penghargaan kepada yang akurat dan sekaligus peringatan kepada lembaga lain yang tidak akurat, menunjukkan dengan jelas upaya hegemonisasi dan kekuasaan yang coba dibangun di domain penelitian. Sekaligus, dengan demikian, upaya penyingkiran terhadap lembaga yang menyimpang dari pola yang ditetapkan lembaga penilai.

Apa dasarnya menilai keakuratan dengan skala margin of error 1 persen? Akan lebih rasional kalau yang dipakai sebagai dasar penilaian adalah margin of error yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga ketika lembaga tersebut memutuskan untuk mendesain sampel sebelum melakukan penelitian, atau atas dasar jumlah sampel riil yang didapat setelah penelitian selesai dilakukan. Dengan dasar penghitungan tersebut, maka hanya Litbang Kompas dan LP3ES yang hasilnya tidak meleset dari penghitungan riil yang dilakukan oleh KPUD atas seluruh populasi TPS. Dengan dasar itu pula, bahkan, Lingkaran Survei Indonesia yang selama pilkada paling banyak melakukan penghitungan cepat, ternyata dalam pilkada kali ini tidak akurat.

Pemberian penghargaan tersebut juga terkesan penuh dengan kepentingan karena mengapa hanya Lembaga Survei Indonesia pimpinan Saiful Mujani yang mendapatkan kartu kuning, padahal ada lembaga lain yang juga memiliki selisih di atas 1 persen?

Persoalan kedua, berkaitan dengan siapakah yang telah memberikan penilaian? Jawaban atas pertanyaan ini tak bisa dilepaskan kaitannya dengan terbentuknya sebuah lembaga bernama Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) pada tanggal 8 Juli 2007. Pada acara pembentukan lembaga ini, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA dipilih secara aklamasi menjadi ketuanya. Sementara Direktur Lembaga Survei Nasional Umar Bakry, yang kini menjadi lembaga penilai, menjadi ketua panitia acara tersebut. Pimpinan lembaga pemberi penghargaan dan peringatan tersebut juga menjadi pengurus AROPI. Dengan begitu, jelas bahwa pemberian penghargaan kali ini "bertaut-berkelindan" dengan kepentingan ekonomi politik sebuah lembaga daripada kepentingan ilmiah.

Rencana AROPI yang dalam waktu dekat akan membuat kode etik riset politik sebagai pedoman untuk menjalankan tugas penelitian atau riset politik, akan membawa perdebatan RUU Statistik jilid dua. Sekaligus, membuat sebuah lembaga penelitian akan kehilangan sifat dasarnya sebagai wadah kegiatan ilmiah: menghasilkan teknik, metode, interpretasi, dan teori penjelasan. Jika itu terjadi, represi di bidang penelitian riset opini sudah di ambang pintu. (BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p