Saturday, September 22, 2007

ANALISIS POLITIK



Menggendong Lupa

SUKARDI RINAKIT

Mencermati geliat partai-partai politik yang mulai menyebut calon presiden mereka, saya teringat kejadian tahun lalu. Sore itu, di pojok kota Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, saya minum kopi sendirian. Sambil menunggu teman yang belum datang, penulis membuka percakapan dengan lelaki yang duduk di sebelah.

"Tampaknya kota ini sekarang lebih baik ya, Pak?"

Lelaki itu kaget. Menatap sekilas, lalu mengangguk. Percakapan terjadi. Ternyata ia seorang guru. Singkatnya, ia menyatakan bahwa di antara kemajuan kota, masalah pendidikan dan kesehatan termasuk menonjol.

"Siapa bupatinya?" tanya saya. "Alex Noerdin," jawabnya pendek.

Republik ini ternyata memang mempunyai figur-figur yang mampu menjadi pulau-pulau integritas (islands of integrity). Kita mungkin belum pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi, mereka sepenuh hati bekerja untuk rakyat. Mereka membelah antara Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin, Tarakan, Kebumen, Sragen, Blitar, dan Jembrana. Pada tingkat provinsi, jejaringnya adalah Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta.

Sosok alternatif

Harus diakui secara jujur bahwa para bupati, wali kota, dan gubernur yang mampu "memanusiawikan" warganya adalah sosok-sosok unggul. Mereka mempunyai kapabilitas sebagai seorang pemimpin karena mampu membuat perubahan. Mereka bukan sekadar manajer yang karakter alamiahnya adalah mempertahankan kekuasaan.

Dengan demikian, sosok-sosok bupati dan wali kota tersebut layak untuk menempati posisi gubernur, sedangkan para gubernur layak untuk bertarung di tingkat nasional memperebutkan kursi presiden.

Mereka adalah sosok-sosok alternatif yang layak bersaing dengan tokoh-tokoh nasional seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Akbar Tandjung, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla. Di antara para gubernur itu, yang istimewa adalah Sultan Hamengku Buwono X. Ia lebih dulu masuk jajaran tokoh nasional sejak reformasi tahun 1998.

Republik ini sebenarnya tidak miskin pemimpin. Itu belum lagi kalau nama-nama lain seperti Ryamizard Ryacudu, Jimly Ashiddiqie, Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, dan Surya Paloh, ikut diperhitungkan. Selain itu, juga banyak tokoh muda yang berkualitas, tetapi sampai sekarang belum mau menonjolkan diri—itu bukan berarti mereka tidak siap memimpin.

Oleh sebab itu, jika partai politik ingin menang dalam pertempuran, kandidat yang dipilih (dilamar) sebaiknya mempunyai dua karakteristik utama. Pertama, kelemahannya belum menjadi catatan nasional. Kedua, karakternya harus diametral dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika kandidat itu belum mempunyai catatan kelemahan tingkat nasional, ruang untuk melakukan manuver politik tersedia luas. Karakter diametral diperlukan karena sifat masyarakat Indonesia adalah melodramatik. Jika presiden sekarang dicitrakan tidak tegas, misalnya, masyarakat akan memilih sosok yang dicitrakan tegas. Mereka akan menyandarkan mimpi dan harapan barunya kepada tokoh itu.

Kadar ambisi

Memilih kandidat yang kadar ambisinya lebih kecil dari cita-citanya adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, ibu saya selalu mengingatkan melik gendhong lali (hasrat itu menggendong lupa). Jadi, kalau memegang kekuasaan, harus sadar itu bukanlah kebun mawar pribadi. Jadi jangan dipersonalisasi karena semua orang berhak untuk menikmati.

Secara jujur harus diakui bahwa tidak mudah mencari sosok pemimpin yang tidak menggendong lupa. Akan tetapi, yang penting adalah kadar kealpaannya. Jangan sampai komposisi untuk memersonalisasi kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan ketulusan untuk mengabdi pada rakyat. Jangan sampai derajat ketakutannya pada citra diri berbanding terbalik dengan keberaniannya untuk mengakui kesalahan kebijakan yang diambil.

Sebagai contoh, meski konversi gas mengurangi beban pemerintah karena memotong subsidi minyak tanah, tetapi jika daya beli rakyat masih rendah, sebaiknya kebijakan itu diperhitungkan lebih matang lagi. Ada fenomena yang bergerak di luar kalkulasi pemerintah. Saat ini banyak pihak mulai menjadi tukang kredit gas. Mereka menjual gas dengan harga lebih mahal, tetapi dibayar dengan cara mencicil.

Praktik itu untuk sementara ini menegasikan keinginan pemerintah untuk meringankan beban rakyat.

Dengan pertimbangan seperti itu, silakan jika para tokoh politik menerima pengajuan dirinya sebagai kandidat presiden. Bahkan, bisa dimaklumi jika tokoh lain mencalonkan diri. Namun, kalau kesadaran yang melandasinya adalah sekadar mendapatkan kekuasaan dan bukan mengabdi pada rakyat, lorong melik gendhong lali akan segera mereka masuki. Kekuasaan akan menjadi ranah pribadi.

Siapakah tokoh-tokoh yang menggendong lupa atau berpotensi melakukan itu? Sejujurnya, saya tidak mau menyebut nama mereka saat ini. Rasanya kurang elok. Maklum, saya sedang puasa dan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

No comments:

A r s i p