Tuesday, September 4, 2007

Indonesia (Seharusnya) Bangsa yang Besar


Indonesia bangsa yang besar. Paling tidak, besar jika dilihat dari sisi populasi penduduk serta ribuan pulau yang terserak, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Dana Rote.

Tidak hanya itu, Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku bangsa, adat kebiasaan, bahasa, agama, dan kepercayaan. Jika dilihat dari sisi itu, setidaknya bangsa ini memang bangsa yang besar.

Akan tetapi, sebagai bangsa yang besar, Indonesia dianggap tidak punya mimpi atau cita-cita besar untuk diraih bersama. Padahal, kedua hal itu dinilai penting, khususnya untuk mengetahui akan dibawa ke mana atau seperti apa tujuan akhir bangsa ini. Tanpa mimpi besar, Indonesia dinilai sulit solid.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, pekan lalu, yang bertema "Pemantapan Nilai Kebangsaan Dalam Berdemokrasi", Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat meyakini, bangsa yang besar dan maju hanyalah bangsa yang solid. Soliditas bisa muncul jika semua pihak punya mimpi besar bersama untuk diwujudkan.

"Masalahnya, pemerintah sekarang tidak punya agenda jelas. Kalau pada masa lalu pemerintah punya rencana pembangunan lima tahunan dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sekarang yang seperti itu tidak ada lagi," ujar Komaruddin.

Secara garis besar, alinea IV Pembukaan UUD 1945 memang telah menyebutkan sejumlah "target" utama Indonesia dalam bernegara.

Disebutkan, tujuan akhir Indonesia adalah untuk "membentuk pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Selain itu, bangsa Indonesia juga bertekad "memajukan kesejahteraan umum", "mencerdaskan kehidupan bangsa", dan "ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Walau memang masih terbilang relatif abstrak, semua poin tadi setidaknya bisa dan harus dijadikan patokan kita dalam bernegara.

Sayangnya, menurut Ketua Dewan Pertimbangan HKTI Siswono Yudo Husodo, juga dalam diskusi itu, sebagian besar masyarakat kita masih menganut nilai-nilai agraris, feodal, tradisional, komunalistik, dan sering kali bersikap pragmatis. Dengan kondisi seperti itu, bangsa ini dikhawatirkan akan semakin terpuruk dan berada dalam kondisi di mana sikap saling percaya menjadi semakin terkikis.

Dalam kultur masyarakat yang feodal dan tradisional, masyarakat hanya "mengenal" istilah di-timbali (dipanggil), di-dawuhi (disuruh), serta di-dukani (dimarahi). Kondisi seperti itu diperparah pula dengan masih sangat besarnya gap tingkat kesejahteraan dan pendapatan di kalangan masyarakat. Dampaknya, demokrasi yang ada di Indonesia masih sebatas demokrasi semu yang terlahir dari sistem politik yang bermasalah.

Tetap optimistis

Dalam kesempatan berbeda, seusai kunjungan kerjanya di Malang, Jawa Timur, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menilai, tak ada salahnya semua pihak mencoba tetap bersikap optimistis ketimbang selalu berpikir pesimistis dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan.

Juwono menilai, terlalu disayangkan jika kebanyakan pihak melakukan self-criticism berlebihan, seperti dilakukan kebanyakan pengamat dan masyarakat sepanjang tujuh tahun belakangan. Sering kali kritik diri berlebihan seperti itu diperkuat melalui media massa.

"Sering saya amati dan dengar setiap sekitar pukul 04.00, misalnya di salah satu stasiun radio swasta, itu sepertinya semua orang isinya cuma ngomel saja kerjanya. Sayang. Mungkin sudah waktunya kita sekarang coba lebih optimistis. Tidak perlu terlalu menggebu, namun juga tak selalu menghakimi diri sendiri dan menyalahkan keterpurukan," ujar Juwono.

Sebuah mimpi besar hanya dapat terwujud justru setelah kita terbangun, lalu bangkit bekerja, berusaha merealisasikannya. Tembok China, misalnya, tidak dibangun oleh para pemimpi. Tembok itu terwujud berkat kerja keras bersama serta kesungguhan tekad. (DWA)

No comments:

A r s i p