Wednesday, September 12, 2007

Sistem Pertahanan


Peningkatan Persenjataan Indonesia Bukan untuk Kepentingan Agresi

Sydney, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta negara-negara lain untuk tidak terlalu mencurigai langkah yang ditempuh Indonesia dalam memperbaiki alat utama sistem persenjataannya. Perbaikan itu bukan untuk kepentingan agresi, melainkan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.

Presiden menegaskan hal itu hari Senin (10/9) menanggapi kekhawatiran banyak negara atas langkah Indonesia memperbaiki persenjataan tentara nasional. Indonesia memutuskan untuk membeli persenjataan darat, laut, dan udara senilai 1 miliar dollar AS dari Rusia.

"Saat berpamitan dengan PM Australia John Howard, ia memang mempertanyakan kebijakan pembelian senjata dari Rusia. Saya katakan, tak perlu ada yang dikhawatirkan dengan kebijakan itu. Pembelian persenjataan itu bukan untuk tujuan agresi, tetapi untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia," kata Presiden dalam perjalanan pulang setelah menghadiri pertemuan para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia.

Menurut Presiden, tidak perlu ada kehebohan dengan pembelian senjata dari Rusia. Apa yang dilakukan bukan dimaksudkan untuk memacu perlombaan senjata, melainkan Indonesia ingin membenahi alat utama sistem persenjataan yang selama ini sudah jauh tertinggal.

Embargo senjata yang dijatuhkan negara-negara Barat membuat kemampuan TNI menjadi sangat terbatas. Bahkan, untuk operasi kemanusiaan, seperti ketika terjadi bencana alam, TNI tidak bisa menjalankan tugasnya secara optimal.

Mengenai pilihan untuk membeli persenjataan dari Rusia, Presiden menjelaskan, hal itu sebagai bagian dari langkah diversifikasi agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu negara.

Kepentingan nasional

Saat menjelaskan hasil-hasil yang dicapai dalam pertemuan APEC, Yudhoyono menegaskan, kepentingan nasional selalu menjadi pertimbangan dan diupayakan untuk diperjuangkan pada setiap kali menghadiri pertemuan internasional.

"Seperti pada pertemuan APEC di Sydney ini, pemerintah mempunyai tujuan dan sasaran bagi kepentingan nasional, baik untuk ekonomi maupun yang lain. Bahkan, dalam pertemuan bilateral, baik dengan Presiden Korsel Roh Myun-hoo, Presiden China Hu Jintao, maupun Presiden AS George W Bush, saya mencoba menarik manfaat bagi kepentingan nasional Indonesia," kata Presiden.

Yudhoyono menunjuk contoh pertemuannya dengan Hu Jintao. Pada pertemuan itu dibahas cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perdagangan di antara kedua negara.

"Kami sama-sama mempunyai keinginan untuk mendorong peningkatan perdagangan hingga mencapai 30 miliar dollar AS pada tahun 2010 dan 20 miliar dollar AS pada tahun 2008. Saya percaya angka itu akan tercapai karena tahun ini nilai perdagangan antara Indonesia dan China sudah mencapai angka 16 miliar dollar AS," ujar Yudhoyono.

Pada dua kali mengikuti pertemuan para pemimpin APEC, menurut Presiden, setiap kali menyampaikan pandangan, dirinya selalu berpijak pada kondisi Indonesia dan kepentingan nasional Indonesia. Seperti dalam isu perubahan iklim, Indonesia menyampaikan pandangan mengenai pentingnya menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim. Pandangan itu bahkan tidak hanya terbatas pada pengelolaan hutan, tetapi juga terumbu karang, khususnya yang ada di kawasan yang disebut sebagai Amazon of the sea, yakni kawasan yang berbentang dari Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Solomon.

Hanya saja, menurut Yudhoyono, hutan jangan hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga harus bisa dipakai sebagai alat peningkatan kesejahteraan. "Untuk itulah saya merencanakan membuat 8F Summit, yakni pertemuan antara 8 negara yang memiliki hutan, seperti Indonesia, Brasil, Papua Niugini, Gabon, dan Kamerun," ujar Presiden.

Mengenai isu Putaran Doha, Presiden mengatakan, posisi Indonesia jelas, yakni menginginkan adanya sistem perdagangan yang bebas, tetapi juga adil. Dengan perdagangan yang lebih adil, negara-negara berkembang mempunyai kesempatan untuk bisa bersaing dan memanfaatkan kesempatan guna memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui pengurangan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.

Menghadapi kebuntuan yang terjadi dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Yudhoyono mengajak semua negara untuk mau memperbaiki posisinya. Tak ada salahnya jika semua negara mundur dulu selangkah dan kemudian mau memberi dan menerima bagi keberhasilan Putaran Doha.

Hal yang sama disampaikan Presiden dalam menanggapi keinginan anggota APEC untuk membentuk Wilayah Perdagangan Bebas Asia Pasifik. "Saya mengingatkan agar gagasan ini jangan dipaksakan karena harus mempertimbangkan kesetaraan di antara negara anggota APEC. Apalagi jika wilayah perdagangan bebas ini ingin menggantikan WTO," kata Presiden.

No comments:

A r s i p