Saturday, September 22, 2007

LSM dan Pemberantasan Korupsi di Daerah

M Burhanudin

Sejak reformasi bergulir, banyak perubahan mendasar terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah lahirnya otonomi daerah yang membawa konsekuensi pembagian kekayaan dan kewenangan daerah untuk mengurus dirinya sendiri.

Akan tetapi, harapan ideal tersebut tak mudah terealisasi. Sejumlah persoalan justru muncul seiring menggeloranya otonomi daerah. Salah satu persoalan krusial yang muncul adalah merebaknya praktik korupsi di daerah.

Pejabat legislatif dan eksekutif di daerah seakan berlomba menjarah uang rakyat. Ratusan anggota DPRD pun dijadikan tersangka kasus korupsi, baik oleh kejaksaan maupun kepolisian. Tak ketinggalan, sejumlah kepala daerah, kepala dinas, dan rekanan proyek pemerintah banyak yang bernasib sama.

Di Jawa Tengah (Jateng), hingga awal 2007 tercatat 324 kasus dugaan korupsi yang terjadi di legislatif, eksekutif, badan usaha milik negara, perusahaan daerah, serta beberapa lembaga pendidikan tinggi. Dari jumlah itu, 216 kasus atau lebih dari 50 persen dikategorikan lamban, bahkan macet penanganannya.

Banyak kasus yang berkutat di penyelidikan dan penyidikan hingga lebih dari dua tahun, seperti kasus dugaan korupsi renovasi rumah dinas Bupati Kudus, dugaan korupsi pengadaan buku ajar Kabupaten Pemalang Rp 26 miliar, dan kasus asuransi jiwa fiktif Kota Semarang Rp 1,83 miliar.

Selain itu, dari 52 kasus yang sudah sampai di pengadilan sampai awal 2007, enam kasus atau 11,54 persen para terdakwanya dijatuhi vonis yang kontroversial, bebas. Pada tahun 2005, hanya dua kasus yang kontroversial, yakni divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan.

Di tengah masih lemahnya kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendorong dan menyosialisasikan perlunya pemberantasan korupsi tentu sangat diperlukan. Namun, tak banyak LSM antikorupsi di Jateng yang secara konsisten bertahan.

Dari segelintir LSM antikorupsi di Jateng, salah satu yang layak dikedepankan adalah Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng.

Berdiri sejak tahun 1998, LSM yang beranggotakan sejumlah praktisi hukum dan akademisi di Jateng itu hingga kini masih mampu bertahan meski dengan taruhan kehidupan ekonomi yang kurang mapan.

Berikut wawancara Kompas dengan pendiri yang kini juga menjadi Koordinator KP2KKN Jateng Abhan Misbah, Kamis (13/9), terkait pemberantasan korupsi dan tantangan LSM antikorupsi di daerah.

Bagaimana KP2KKN Jateng bisa bertahan di tengah banyaknya LSM antikorupsi lain yang timbul tenggelam?

Hingga saat ini kami masih terbantu oleh komitmen dari teman-teman di KP2KKN untuk terus memperjuangkan misi pemberantasan korupsi meski itu tak mudah. Apalagi, kami di sini bekerja dengan sistem kesukarelaan. Tanpa gaji.

Awal-awal berdirinya KP2KKN, kami bantingan untuk soal dana. Saat itu dana juga masih belum masalah karena masih mendompleng dengan LBH Semarang. Kebetulan LBH Semarang masih didukung dana dari YLBHI. Namun, setelah itu kami ingin mandiri. Ternyata tidak mudah. Pada tahun 1999, kami menerima dana dari APBD Jateng sebesar Rp 100 juta untuk tiga tahun. Hal itu sebenarnya melalui proses perdebatan yang panjang di antara kami. Tapi, karena kami berpikir dana itu dari rakyat dan yang terpenting ada pertanggungjawaban penggunaannya dengan baik, kami menerima. Dana itu hanya sampai tahun 2002.

Setelah itu, kami harus mandiri lagi. Tak mudah bagi LSM di daerah seperti kami mendapatkan sumber pendanaan dari organisasi internasional, seperti halnya LSM antikorupsi di Jakarta. LSM daerah paling hanya dapat cipratan.

Dalam kemandirian itu sebenarnya ada untungnya ada tidaknya. Untungnya, komitmen kami terbentuk untuk terus mengabdi di KP2KKN meski tak ada penghidupan yang kami peroleh. Tapi kelemahannya, kami juga dituntut harus memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing. Istilahnya tetap ngisi kendil. Di sinilah tantangan internal terberat yang kami hadapi. Ada anggota yang tak kuat dengan kondisi tersebut dan keluar.

Apa tantangan eksternal yang dihadapi LSM di daerah dalam upaya turut mendorong pemberantasan korupsi?

Tantangan utama dari penegak hukum dan tersangka korupsi. Banyak kasus korupsi yang kami laporkan tak ditindaklanjuti. Kejaksaan, misalnya, mereka selalu meminta bukti selengkap-lengkapnya atas kasus korupsi yang dilaporkan. Terkadang, bukti sudah ada, tapi tetap tak ditindaklanjuti. Padahal, penelusuran data adalah tugas mereka. Sudah sangat sering kami diancam melakukan pencemaran nama baik setiap melaporkan kasus korupsi.

Banyak kasus korupsi yang kami laporkan ke penegak hukum justru menjadi ajang korupsi baru bagi oknum aparat. Ada pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi kemudian status tersangka itu lenyap begitu saja. Kasus dugaan korupsi dana tak tersangka Kota Semarang adalah buktinya. Dulu Kejaksaan Tinggi Jateng menetapkan Wali Kota Sukawi Sutarip sebagai tersangka, tapi belakangan mengatakan Sukawi bukan tersangka. Kasus di Boyolali pun demikian. Mantan bupati pernah dijadikan tersangka, tapi belakangan tak ada dalam berkas.

Setiap kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau orang yang mempunyai akses politik yang kuat selalu berlarut-larut. Tersangka semacam ini dengan kekuasaan yang mereka miliki bisa berbuat banyak, termasuk menekan LSM atau memengaruhi kami. Ancaman-ancaman sudah biasa kami terima.

Sebagian besar dari anggota KP2KKN berlatar belakang pengacara. Dalam kode etik kami, dilarang menangani kasus korupsi. Padahal, kasus korupsi saat ini begitu merebak. Banyak tersangka korupsi yang menawari kami untuk menjadi pengacara mereka dengan imbalan yang tentu sangat besar. Tapi, sudah menjadi komitmen teman-teman untuk tak menanggapi itu semua.

Meski sudah banyak kasus korupsi yang terungkap, mengapa Jateng masih dinilai lamban dalam pemberantasan korupsi dan pelaku korupsi tak pernah berkurang?

Hasil survei Transparency Internasional menyatakan, Jateng provinsi terkorup ketiga di Indonesia. Komisi Kejaksaan juga menempatkan fenomena jaksa nakal di Jateng ketiga di Indonesia. Ini menunjukkan betapa hingga saat ini korupsi tak kunjung berkurang.

Salah satunya karena penegakan hukum terhadap perkara korupsi di daerah, termasuk Jateng, yang tak pernah memberikan efek jera. Banyak pelaku kasus korupsi di Jateng yang divonis bebas atau percobaan. Kasus dugaan korupsi dana APBD Jateng 2003 adalah contohnya.

Kalaupun ada perkara yang divonis penjara, sangat ringan. Paling-paling satu sampai dua tahun.

Itu pun sebagian besar kasus korupsi yang diputus belum in kracht (berkekuatan hukum tetap). Banyak yang menumpuk di Mahkamah Agung. Ini memunculkan kekhawatiran adanya skenario besar untuk membebaskan terdakwa korupsi. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum terhadap korupsi.

Faktor budaya juga menjadi salah satu penyebab. Sikap ewuh pakewuh masih menjadi kendala untuk membongkar kasus korupsi. Tak pelak, banyak kasus korupsi yang dilakukan berjemaah, tahu sama tahu. Ngono yo ngono ning ojo ngono, korupsi ya korupsi tapi jangan dimakan sendiri. Ini terjadi di legislatif maupun eksekutif. Tender proyek contohnya. Sekarang tender sistemnya bagi-bagi kepada rekanan. Ada yang jadi rekanan, yang lainnya nge-sub (sub rekanan).

Bentuk korupsinya bermacam-macam. Di legislatif umumnya anggaran ganda, di eksekutif biasanya penggelembungan dana atau penunjukan langsung.

Kendala apa yang membuat pengusutan kasus korupsi berlarut-larut di daerah?

Sumber daya manusia di kejaksaan maupun kepolisian itu salah satu kendalanya. Tak semua kejaksaan negeri atau kepolisian resor mampu menangani kasus korupsi. Apalagi terhadap kasus yang rumit dan melibatkan elite politik. Ujung- ujungnya, banyak kasus yang terbengkalai atau dakwaan yang kurang baik. Kasus dikembalikannya berkas Bupati Semarang Bambang Guritno adalah contohnya.

Lamanya proses audit di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan kerugian negara atas sebuah kasus juga menjadi persoalan lain. Ada kasus yang menunggu proses audit hingga lebih dari setahun.

Bahkan, ada yang dua tahun. Belum lagi adanya prosedur perizinan yang harus ditempuh kejaksaan dan kepolisian untuk memeriksa kepala daerah atau anggota DPRD. Tak jarang, izin pemeriksaan ini datang terlambat.

No comments:

A r s i p