Thursday, August 30, 2007

Pentingnya Ideologi

Ivan A Hadar

Seusai peluncuran buku Making Globalization Work versi bahasa Indonesia, terjadi perdebatan antara Joseph E Stiglitz—pengarang dan peraih Nobel Ekonomi 2001—dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Boediono terkait dengan ideologi.

Sejumlah ekonom di Indonesia, kata Boediono, menuding pemerintah menjual diri demi berpegang pada ideologi liberalisme yang diusung Konsensus Washington. Namun, baginya, menjadi tidak produktif jika mencari jawaban atas persoalan riil melalui perdebatan ideologi.

Menanggapi Boediono, Stiglitz mengatakan, pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari konteks ideologi yang menyajikan pandangan mendasar tentang bagaimana pemerintah seharusnya berperan (Kompas, 19/8).

Ketimpangan dalam globalisasi, kata Stiglitz, perlu dikelola oleh negara berkembang, dengan peran pemerintah lebih efektif dan efisien, tercermin dalam dorongan pemerintah mengembangkan industri baru, pertanian, bisnis skala kecil, dan memastikan pengelolaan sumber alam berbuah kesejahteraan bagi rakyat.

Sejarah mencatat, di satu sisi, maraknya perekonomian tidak hanya disebabkan liberalisme perdagangan. Krisis ekonomi sebelumnya pun tidak bisa diatasi pasar. Pada sisi lain, proteksionisme negara memperparah gejala krisis ketimbang memperbaikinya.

Manfaat (neo)liberal

Secara umum, konsep (neo)liberal diakui bisa bermanfaat dalam mengurangi mentalitas rent seeking birokrat. Namun, pada saat sama, ekonomi pasar murni yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang gagal memenuhi janjinya. Kesenjangan antarnegara kaya-miskin dan antara lapis sosial dalam sebuah negara kian melebar. Tiga contoh berikut memperjelas hal itu.

Pertama, asumsi neoliberal bahwa pasar modal tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan (spekulativer Marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan kekuatan ekonomi sebenarnya dari berbagai perusahaan anggotanya. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan, bahkan dunia, seperti diperlihatkan "Krisis Asia" yang dampaknya masih terasa bagi Indonesia hingga kini.

Kedua, penelitian Prittchett (1996) membuktikan, dalam proses globalisasi yang terjadi bukan konvergensi, tetapi kesenjangan yang meluas. Pasar bebas, liberalisasi perdagangan dunia, serta investasi dan pasar modal tidak berperan dalam memperkecil kesenjangan kaya-miskin. Pemenang proses globalisasi adalah negara-negara kaya anggota OECD, sementara negara berkembang kian terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus diakui, kegagalan yang sama dialami negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ternyata, pasar seperti negara, dapat gagal.

Penyebab kegagalan pasar dan pentingnya intervensi negara terkait beberapa hal, yaitu adanya monopoli dan oligopoli, tidak sehatnya persaingan, kesenjangan ekonomi di tingkat nasional, dan global, kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta ketidakmampuan perusahaan swasta untuk mencukupi kebutuhan publik, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Negara yang efisien

Untuk membendung dampak negatif proses globalisasi neoliberal diperlukan sebuah negara yang efisien. Namun, pada saat sama, akibat keterpenggalan antara ekonomi global dan politik nasional, sebuah kebijakan proteksionistis oleh negara diduga akan mengalami kegagalan. Bagaimana mengatasi dilema itu?

Solusinya terletak pada kian menyatunya masyarakat global, yang memunculkan berbagai lembaga ekonomi dan politik serta terbentuknya global civil society. Sebagai instansi politik terpenting, negara dapat berfungsi sebagai mediator kepentingan nasional dalam membendung dampak destruktif globalisasi. Pada saat sama, negara diharapkan berperan sebagai moderator berbagai proses dalam masyarakat sebagai instansi integrasi dan penengah yang mencegah terjadinya fragmentasi di masyarakat.

Sementara itu, kelompok kepentingan lokal dapat memperkuat berbagai faktor setempat seperti pendidikan, budaya, infrastruktur, dan mengorganisasi jaringan lokal seperti perluasan partisipasi politik, seleksi jenis investasi, dan penguatan potensi ekonomi lokal.

Pada tingkat regional, kerja sama antarnegara dalam pakta ekonomi, seperti ASEAN, bila dikelola dengan pas, bisa lebih membuka gerak bagi perdagangan sekaligus memperkuat posisi tawar dalam menghadapi persaingan global.

Terakhir, berfungsinya global governance. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama antara negara dan masyarakat sipil di tataran lokal, nasional, dan internasional. Sasarannya, reorganisasi politik dalam semua tataran aksi melawan logika pasar murni. Negara, masyarakat sipil, dan global governance, idealnya bersekutu membendung dominasi pasar dan ekonomi serta mengurangi dampak buruknya. Kegagalan pasar global, seperti kesenjangan antarnegara dan antarkelompok masyarakat, kemiskinan, pengangguran, dan krisis lingkungan hidup tidak saja menuntut negara yang efektif dan efisien, terutama dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Dari semua argumentasi itu, terlihat betapa pentingnya ideologi.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

1 comment:

Unknown said...

Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.

A r s i p