Saturday, August 18, 2007

Apa Makna Kemerdekaan?

AHMAD ARIF dan LUKI AULIA

Pagi masih buta ketika aparat keamanan mendatangi tiap rumah di Mangga Dua, Distrik Merauke, 17 Agustus 2006. Mereka meminta warga mengibarkan bendera Merah Putih untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia.

Hari yang sama tahun 2007 kampung yang dihuni penduduk asli Papua, yang bermigrasi dari pedalaman, meriah oleh kibaran bendera Merah Putih yang rata-rata masih baru.

Ironisnya, pemasangan bendera di sana-sini yang tanpa imbauan lagi tak dibarengi dengan perubahan nasib warga. Kesusahan masih lekat dengan mereka. Bahkan, bisa dibilang hidup warga makin sulit. Tanah-tanah adat, tempat mereka meramu, terbakar dan sebagian berpindah ke tangan pendatang. Dan penyakit HIV/AIDS diam-diam terus menggerogoti, membuat warga di ujung timur Indonesia ini terjepit di tanah sendiri.

"Kitorang disuruh kibarkan bendera, ya... dikibarkanlah. Tapi, ini, kan, hanya simbol. Kemerdekaan itu ada di sini, di hati kami. Lebih penting sekarang, bagaimana menata hidup warga agar lebih baik," kata Theresia Esi Samkakai (64), tokoh masyarakat Mangga Dua.

Secara kasatmata, peringatan kemerdekaan RI memang disambut meriah di Kabupaten Merauke. Di ibu kota kabupaten, mulai hari Senin lalu bahkan digelar pawai budaya anak-anak, mulai dari siswa SD hingga mahasiswa. Jalan Mandala, jalan utama di Merauke, penuh umbul-umbul dan bendera Merah Putih. Berbagai perlombaan digelar, termasuk lomba panjat pinang yang diimpor dari Jawa, dengan hadiah menggiurkan.

Sepanjang jalan menuju Distrik Okaba, sekitar tujuh jam jalan darat dari Merauke dan dua kali menyeberangi sungai dengan perahu, di halaman rumah-rumah warga yang reyot bendera Merah Putih dikibarkan. Namun, sudahkah makna kemerdekaan mereka rasakan?

"Dari segi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, kami sebenarnya belum merdeka. Banyak sekolah tanpa guru. Demikian pula bidan. Warga kesusahan mencari makan karena hutan sagu terbakar," kata Frederick Mahuze (41), Ketua Lembaga Masyarakat Adat Okaba.

Kegelisahan Mahuze sangat beralasan. Jauh di Kampung Poepe, sekitar tiga jam jalan darat dari Okaba ditambah dua jam mendayung, warga hidup dalam kesusahan yang sangat. Anak-anak belajar di satu-satunya sekolah di kampung, yang hampir roboh. Hanya ada seorang guru di sekolah itu, F Sitaung (35). Ia mengajar murid kelas I hingga kelas VI. Siang itu, Rabu (15/8), F Sitaung pergi ke kota mengantar istrinya, yang mengalami gagal ginjal, berobat.

"Mungkin akhir Agustus saya kembali ke Poepe. Tujuh belasan tahun ini tak ada upacara bendera di Poepe. Mau bagaimana lagi, sekolah libur sampai saya kembali karena tak ada guru lain," katanya. Ia sudah 15 tahun mengajar di SDN Poepe.

Satu-satunya bidan desa di Poepe juga telah pergi, pindah tugas ke tempat lain. Kini warga Poepe harus berjuang sendiri menghadapi serangan penyakit. Tak ada bekas pembangunan berarti di Kampung Poepe, yang dikepung rawa dan Sungai Buraka. Rumah penduduk umumnya berupa gubuk reyot dari kulit kayu mbus dan batang pohon sagu. Jangankan telekomunikasi, listrik saja tak ada di sana.

Menurut warga, belum satu pun pejabat pemerintah datang ke sana. Hanya para pedagang pencari gambir, burung kuning, dan anakan arwana yang datang dan membeli murah kekayaan alam yang mereka kumpulkan. Di Poepe gambir hanya dihargai Rp 700 per kilogram, burung kuning (cenderawasih) yang diawetkan Rp 15.000-Rp 30.000 per ekor, anakan arwana sepanjang 5 cm dihargai Rp 5.000 per ekor. Daging rusa hasil buruan Rp 10.000 per kilogram.

"Pedagang semaunya beri harga. Mereka seperti bersekongkol buat harga semurah- murahnya, tetapi menjual barang, seperti beras dan minyak, semahal-mahalnya kepada kami," kata Oktavianus Ndiken (46), Kepala Kampung Poepe.

Ndiken patut resah dan marah. Ekonomi modern, yang bersinggungan langsung ke kampungnya, telah membuat mereka, penduduk asli Papua, "tersingkir". Sementara itu, mereka merasa negara tak berbuat banyak untuk mengangkat hidup warga. Dalam logika sederhana di benak mereka, kemerdekaan RI yang kian berumur justru kian membuat hidup tak nyaman.

Namun, bukan kemarahan itu yang membuat tak ada satu pun bendera Merah Putih berkibar di Poepe. "Kalau kitorang beli bendera Merah Putih, berarti harus bisa jual burung kuning dua ekor toh? Sekarang kitorang lebih butuh uang untuk beri makan anak-anak," kata Ndiken.

Uskup Merauke Mgr Nicholaus Adi Seputra menilai masyarakat Papua bisa dikatakan mengalami ketidakadilan yang berlapis-lapis. Mereka secara sosial dan ekonomi tertinggal karena tidak mampu bersaing. "Itu realitas. Bukan salah siapa-siapa," ujar Ukup Adi.

Oleh karena itu, kata Uskup Adi, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang lebih lunak, khususnya untuk Papua. Harus ada pendekatan yang lebih manusiawi agar Papua dapat mengatasi ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia. "Jangan paksakan Papua seperti Jakarta. Macam orang sakit, bagaimana bisa orang sakit disuruh lomba lari dengan orang yang sehat," ujarnya.

Warga Papua sungguh ingin mereguk nikmat kemerdekaan yang telah berusia puluhan tahun ini. Merdeka…!

No comments:

A r s i p