Monday, August 27, 2007

Membuang Duri dalam Daging

Usman Hamid

"Poisoner do their deadly work in secret. The evidence in poisoning cases is nearly always circumstantial. In this case it is more direct than usual. You must remember that poisoning is always concealed and deliberate. It is crime that is not done in a moment of passion, or on an impulse. It is crime that must be planned."

Itulah ungkapan hakim William Windeyer saat mengadili Dean, pelaku pembunuhan dengan racun, di Pengadilan Pidana Pusat Sidney tahun 1896, yang dikutip Peter Macinnis dalam buku Poisons, from Hemlock to Botox and the Killer Bean of Calabar (Arcade New York 2005).

Ungkapan itu memang telah lama, tetapi maknanya masih relevan untuk dijadikan jendela dalam melihat pembuktian yuridis kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib (39).

Sebagai hamba hukum, hakim Windeyer menginsafi, pelaku pembunuhan dengan racun melaksanakan pekerjaan mematikan dalam kerahasiaan. Kasus-kasus ini hampir selalu bertumpu pada circumstantial evidence dan pada keadaan yang memungkinkan pengadilan untuk menjangkau kesimpulan bahwa seseorang bersalah meski tanpa bukti yang sempurna/konklusif.

Dalam kerahasiaan

Kejahatan ini lebih langsung dari biasa. Kita, kata Windeyer, harus ingat bahwa peracunan selalu disembunyikan, nyaris tak terlihat, serta dipenuhi kesengajaan, niat, dan kehendak. Ia adalah kejahatan yang tidak dapat dilaksanakan dan selesai dalam sebuah momen keraguan atau sebuah momen keseketikaan. Ia adalah kejahatan yang pasti telah direncanakan. Itu pasti.

Pada kasus Munir, ada keyakinan kuat, ia telah mati karena terbunuh racun, seseorang telah meracunnya secara kejam dan pengecut. Dan sang peracun tidak sendirian, tetapi ada dalam komplotan. Keyakinan ini bukan tanpa bukti. Hanya saja, pada sisi lain mata rantai bukti-bukti dalam kejahatan ini terkesan menjadi terputus.

Pembuktian yuridis who did what to whom berakhir dengan vonis 14 tahun penjara oleh pengadilan negeri kepada Pollycarpus atas tuduhan pembunuhan berencana dan penggunaan surat palsu. Namun, dua hakim agung majelis kasasi Mahkamah Agung membatalkan tuduhan pembunuhan. Pandangan hukum kaum positivis merasa babak ini akhir segalanya, demi kepastian hukum.

Bagi kita, hukum harus menyibak kebenaran sehingga keadilan bisa tegak. Kepastian hukum yang menyisakan kebenaran masih sebagai misteri, keadilan pun tak hadir, dan ini tidak boleh dibiarkan.

Pencarian kebenaran

Upaya mengungkap kebenaran dalam kasus pembunuhan Munir telah menempuh semua cara yang mungkin dan tersedia. Dari segi hukum, pengajuan peninjauan kembali (PK) adalah upaya terakhir yang mungkin dilakukan kendati justifikasinya dalam prosedur keadilan bersifat problematik. Satu-satunya dasar legal utama bagi upaya PK adalah pencarian kebenaran demi keadilan itu sendiri.

Kita menyadari, upaya mengungkap kebenaran tak pernah mudah. Dan bagi kasus Munir, upaya ini telah melibatkan komitmen dan solidaritas dari begitu banyak pihak, baik oleh negara maupun warga.

Meskipun keadaan itu tidak membuatnya jadi lebih mudah, harus diakui telah membuatnya bernapas lebih panjang. Semua solidaritas dan kerja sama dari berbagai pihak itu memberi kita harapan untuk tetap bekerja, setia (fidelity), dan tidak mudah menyerah meski bukti sempurna belum juga ditemukan.

Duri yang menyakitkan

Jika dulu Presiden Yudhoyono menyatakan pengungkapan kasus Munir adalah test of our history, sampai hari ini hasilnya adalah runtuhnya benteng tirani kebisuan dan sikap tinggal diam, yang sebelumnya dengan banal memenjarakan kita.

Kasus Munir bukan hanya pembunuhan. Bukan semata kejahatan pada relasi intersubyektivitas. Ia adalah akibat perbuatan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Jika tak ada kemampuan dan kehendak kita untuk menjaga organ kekuasaan seperti intelijen atau badan publik lainnya, selamanya tubuh negara mengalami kesakitan. Jika tubuhnya kesakitan, jiwanya pun tak akan tenang.

Para pembunuh Munir adalah duri yang menyebabkan sakit itu. Mereka ada dalam daging tubuh negara kita. Duri itu telah terus mempermalukan kita dan badan-badan kekuasaan negara kita di mata dunia dan anak cucu kita. Karena itu, harus dicabut dan dibuang. Bukan hanya oleh hamba-hamba hukum, tetapi juga oleh bagian-bagian lain dari tubuh kekuasaan negara kita dan jiwa bangsa Indonesia.

Usman Hamid Koordinator Komisi untuk Orang Hilang

No comments:

A r s i p