Sunday, August 19, 2007

Tapak Sejarah Proklamasi di Jakarta

Oleh Iwan Santosa

Jakarta memang Kota Proklamasi, tetapi tapak sejarah atau heritage trail peristiwa kelahiran Republik Indonesia tidak banyak dikenal terutama oleh generasi muda Jakarta yang sejak satu dekade terakhir menjadi "Kota Seratus Mal" dan penuh hura-hura belaka.

Ketegangan, tekad, dan keberanian menyongsong kelahiran Republik Indonesia sang pemicu kemerdekaan ratusan bangsa di Asia Afrika bermula dari sejumlah lokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang tenggelam di tengah hiruk pikuk kesibukan dan ketidakpedulian warga kota yang dibanjiri pendatang tanpa ikatan emosional pada Jakarta.

Kamis (16/8) siang, ratusan pemuda dengan pelbagai seragam organisasi dan puluhan bendera Merah Putih berkumpul di depan Gedong Joeang, Menteng Raya Nomor 31, Jakarta Pusat.

Mereka menyusur tapak sejarah proklamasi. Kala itu, 62 tahun lalu, sebutan pemoeda adalah momok bagi Belanda, Sekutu (dulu disebut Serikat dari kata Belanda: Geallierdeen), dan serdadu Jepang selepas menyerahnya Dai Nippon kepada Laskar Serikat.

Gedong Joeang 45 adalah salah satu titik awal gerakan kaum muda yang akhirnya memaksa dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pemoeda identik dengan kumpulan kaum muda militan, tanpa harta apalagi ambisi pribadi, dan hanya satu tujuan: hidup bermartabat atau paling tidak mati sebagai manusia merdeka!

Lebih Baik Moesna’ Dari Pada Didjajah, itulah semboyan utama para pemuda saat itu. Bagaimana keadaan sekarang?

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Pariwisata dan Kebudayaan Hari Oentoro Dradjat menjelaskan, tapak sejarah Proklamasi Kemerdekaan sebetulnya masih ada dalam keadaan baik, tetapi tidak begitu dikenal terlebih di kalangan muda.

"Gedong Joeang 45, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Pegangsaan Timur Nomor 56 yang menjadi Tugu Proklamasi, dan Gedung Pola, serta amanat Bung Karno untuk memindahkan Bendera Sang Saka Merah Putih dapat dijelajahi dalam satu kawasan," papar Hari.

Dalam kesempatan langka napak tilas, empat mobil Repoeblik-1 (Rep-1) yang pernah digunakan Presiden Soekarno dikendarai menyusur jejak sejarah hari-hari menentukan sekitar Agustus 1945. Salah satunya adalah mobil presiden pertama, sebuah sedan Buick keluaran tahun 1939.

Salah seorang keluarga proklamator, yakni Meutia Hatta, juga secara rutin menyediakan waktu untuk ikut acara napak tilas tersebut yang berawal di Menteng Raya Nomor 31.

Selanjutnya, tapak sejarah berlanjut ke Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Museum tersebut menempati sebuah vila bergaya art deco di salah satu kawasan paling bergengsi di Menteng Tempo Doeloe, yakni Boulevard Nassau dan Boulevard Oranje (Nassau dan Oranje adalah wangsa penguasa Kerajaan Belanda) yang kini menjadi Jalan Imam Bonjol.

Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi terletak sedikit di ujung barat daya Menteng, yakni di Jalan Imam Bonjol dekat Taman Surapati dengan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Paulus (dulu Nassau Kerk). Rumah itu merupakan kediaman Laksamana Maeda yang banyak mendukung upaya kemerdekaan Indonesia secara rahasia.

Maeda adalah satu dari segelintir petinggi Angkatan Laut (Kaigun) Nippon yang mengambil risiko dengan mendukung gerakan pemuda, karena kala itu Jawa dan Sumatera berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang. Kaigun memiliki otoritas di Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia timur.

"Baru pada pukul 03.00 (17 Agustus 1945) konsep naskah proklamasi selesai dan segera diketik setelah disetujui para hadirin. Konsep yang penuh corat-coret menggambarkan proses penulisan yang dilakukan dalam keadaan serba mendesak.

Tempat ini merupakan titik terakhir dalam perumusan naskah yang melibatkan Maeda, Bung Hatta, Bung Karno, dan Ahmad Soebardjo yang kelak menjadi menteri luar negeri," tutur Hari.

Sehari sebelumnya, Bung Karno sempat diculik para pemuda pimpinan Sukarni dan kawan-kawan, lalu dibawa ke Rengasdengklok dan ditampung di rumah seorang Tionghoa. Angkatan muda inilah yang membuat sejarah dengan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pembawa perubahan

Seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda selalu membawa perubahan. Sejarah mencatat, "pemaksaan" para pemuda itu menghasilkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Naskah Proklamasi yang bersejarah itu pun, ungkap Hari Oentoro, disimpan di Museum Naskah Perumusan Proklamasi.

Lepas dari vila Laksama Maeda, titik napak tilas mengarah ke timur, yakni Jalan Pegangsaan Timur (dulu Pegangsaan Oost) Nomor 56 yang kini menjadi Tugu Proklamasi (dibangun kembali semasa pemerintahan Soeharto) dan Gedung Pola yang dibangun atas perintah Soekarno. Tempat ini menjadi ajang pamungkas upaya mencapai kemerdekaan dengan berlangsungnya Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih, pembacaan naskah Proklamasi dan Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat pada pagi bersejarah itu.

Jepang menguasai radio dan sarana pemberitaan. Walhasil, berita kemerdekaan disampaikan dari mulut ke mulut, selebaran, dan siaran sandi yang dipancarkan oleh para pemuda yang bekerja di kantor berita Domei, sekarang Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara di bilangan Pasar Baru (dulu Postweg Noord).

Lokasi Pegangsaan Timur berdekatan dengan sejumlah situs bersejarah seperti Central Burger Ziekenhuis (CBZ), yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dan Opium Fabriek (Pabrik Opium), yang kini menjadi bagian Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba.

Penjualan cadangan opium ke Singapura pada zaman revolusi fisik merupakan salah satu modal keuangan Republik Indonesia yang baru lahir.

Bagian akhir napak tilas ini seharusnya Monumen Nasional (semasa pemerintahan kolonial Belanda disebut Koningsplein atau Lapangan Raja sama dengan pusat kota di Amsterdam).

Lapangan ini di zaman Jepang diberi nama Ikatan Atletik Djakarta (Ikada), menjadi saksi keteguhan rakyat Indonesia mendukung kemerdekaan dalam rapat akbar yang digalang oleh Tan Malaka pada September 1945.

Konon, seturut amanat Bung Karno, Sang Saka Merah Putih seterusnya akan disemayamkan di Monumen Nasional (Monas). Hingga saat ini Sang Saka Merah Putih buah tangan ibu Fatmawati Soekarno itu masih berada di Istana Negara (Paleis de Rijswijk yang digunakan sebagai tempat kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda).

Menteng Raya, Jalan Imam Bonjol, Pegangsaan Timur, hingga seputaran Istana dan Monas adalah tapak sejarah kemerdekaan sebuah bangsa besar yang kerap limbung saat menatap perubahan zaman dan terbuai akan kekayaan serta kekuasaan semu duniawi.

No comments:

A r s i p