Monday, August 27, 2007

Cermin Buram Lembaga Perwakilan Rakyat

SULTANI

Di usianya yang genap 62 tahun pada 29 Agustus ini, kiprah Dewan Perwakilan Rakyat lebih banyak menampilkan sisi lemah dan citra buruk sebuah lembaga daripada representasi kekuatan rakyat. Tuntutan anggotanya akan peningkatan kesejahteraan dan fasilitas tidak sebanding dengan kinerja mereka yang lemah dan suka mangkir di persidangan.

Alih-alih menjadi medan negosiasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah terlihat gagap dalam menempatkan dirinya. Dua sisi agaknya bisa menjadi tolok ukur betapa lembaga legislatif ini tidak siap menjadi lokomotif perubahan.

Pertama adalah kegagalan lembaga ini menangkap aspirasi rakyat dan menerjemahkan UUD 1945. Kedua, anggota-anggotanya yang dinilai arogan menambah buruknya citra kelembagaan.

Sebetulnya era Reformasi telah mengubah dengan radikal kewenangan DPR. Pergeseran bandul kekuasaan dari pemerintah ke DPR dalam soal legislasi menjadi ciri yang menonjol dari wajah baru DPR.

Amandemen UUD 1945 Pasal 5 Ayat 1, yang dilakukan pada masa Reformasi, membuat kekuasaan membuat undang-undang (UU) yang tadinya berada di tangan presiden (dengan persetujuan DPR) beralih menjadi di tangan DPR.

Lembaga inilah yang kemudian memegang kekuasaan untuk membuat UU, sedangkan presiden hanya berhak mengajukan rancangan UU dan mengesahkannya setelah dibahas dan disetujui oleh DPR.

DPR, bahkan, berhak mengundangkannya kalau dalam waktu 30 hari presiden tidak mengesahkannya (Pasal 20 Ayat 5 Perubahan Kedua UUD 1945).

Sayangnya, kekuasaan tersebut sering kali tidak dimanfaatkan dengan maksimal oleh DPR. Hal ini terlihat dari jumlah UU yang jauh lebih banyak diusulkan oleh pemerintah dibandingkan atas inisiatif DPR.

Untuk DPR periode 2004 - 2009, misalnya, dari total 77 UU yang disahkan hingga Juli 2007, sebanyak 60 UU (78 persen) adalah usul dari pemerintah.

Kualitas UU yang dihasilkan oleh lembaga yang sudah berdiri lebih dari setengah abad lalu tersebut juga kian disangsikan. Terlebih setelah sejumlah UU diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan ditemukan ketidakkonsistenan dengan UUD 1945.

Pada 7 Desember 2006, MK mengeluarkan putusan yang membatalkan seluruh isi UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sebelumnya, MK juga membatalkan UU No 22/2004 yang mengatur pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.

Terakhir, DPR kembali mendapat pukulan telak setelah dilakukan uji materi terhadap Pasal 56 Ayat 2 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan keluarnya putusan MK, kandidat perseorangan menjadi dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah. Lebih jauh, dengan putusan itu, artinya DPR harus bekerja ekstra keras lagi membahas UU tersebut di tengah kepentingan mereka yang merupakan representasi kekuatan partai politik.

Diperbolehkannya calon perseorangan jelas akan mengurangi peran partai politik.

Publik sangsi

Lemahnya kelembagaan DPR juga menjadi fenomena yang kini ditangkap oleh responden jajak pendapat Kompas, yang secara khusus menyoroti kinerja DPR menjelang hari jadinya yang ke-62.

Publik masih menyangsikan kualitas DPR dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Sebagian besar (65,6 persen) responden mengaku tidak puas dengan fungsi legislasi yang dijalankan oleh DPR selama ini.

Selain fungsi legislasi, responden juga menyoroti fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah. Dua pertiga bagian (76,3 persen) responden mengaku tidak puas dengan kinerja DPR dalam mengontrol pemerintah. Gagalnya upaya interpelasi beras impor, nuklir Iran, dan lumpur Lapindo menunjukkan lemahnya DPR dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Penilaian yang sama juga diungkapkan responden terhadap fungsi DPR dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Dua dari tiga (76,4 persen) responden tidak puas dengan kinerja DPR dalam menjalankan fungsi ini.

Fakta-fakta tersebut merupakan ironi karena komposisi keanggotaan DPR pascareformasi memiliki kualitas yang lebih baik daripada anggota DPR periode sebelumnya.

Dari segi pendidikan, anggota DPR sekarang masih lebih banyak yang berpendidikan tinggi (S-1 ke atas) ketimbang periode sebelumnya. Dari segi pekerjaan, anggota DPR sekarang lebih beragam latar belakang pekerjaannya. Dari segi usia, mayoritas anggota DPR sekarang didominasi oleh kalangan muda.

Kendati diisi dengan personel-personel yang lebih baik, kualitas DPR saat ini ternyata tidak jauh beda dengan kualitas DPR sebelumnya. Menonjolnya aspek individual dalam sepak terjang para anggotanya membuat fungsi-fungsi DPR tersubordinat di bawah kepentingan para anggotanya. Akibatnya, performa DPR dari masa ke masa hanya merefleksikan pergeseran kepentingan antarkekuatan-kekuatan yang ada di sana.

Kendati terkadang bersikap kritis, DPR tetap tak memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh terhadap kebijakan pemerintah. Gagalnya sejumlah interpelasi menggambarkan jelas lemahnya sikap mereka.

Sikap DPR tersebut, bagi 66,9 persen responden, merupakan bentuk "egoisme" DPR yang hanya merespons kepentingan para anggotanya. Kepekaan DPR terhadap persoalan-persoalan yang dialami rakyat pun berkurang sebagaimana yang dirasakan oleh 66,7 persen responden.

Akibatnya, peran DPR sebagai ujung tombak dalam pembangunan politik, seperti mendorong proses demokratisasi di Indonesia, tidak pernah maksimal. Fenomena ini diungkapkan oleh 64,1 persen responden. Peran DPR dalam mendorong penegakan HAM pun tidak berjalan maksimal (71,5 persen).

Citra DPR pun diperlemah oleh sikap dan perilaku anggotanya yang lebih mencerminkan arogansi kelembagaan dan keinginan untuk memperoleh kenikmatan dari jabatannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota DPR saat ini dicirikan dengan kebiasaan mereka yang sering mangkir dari sidang, tetapi menuntut kenaikan gaji atau tunjangan-tunjangan kesejahteraan lainnya, meminta tambahan fasilitas dan tidak memedulikan kritikan masyarakat. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p