Tuesday, August 14, 2007

Kekuasaan Angkuh dengan Angka-Angka Semu

Sukardi Rinakit / Jawapos

Kekuasaan Angkuh dengan Angka-Angka Semu

Desain besar politik Indonesia ke depan kini dirumuskan lewat revisi paket RUU Politik. Akankah revisi itu menghasilkan mekanisme politik nasional yang konstruktif ataukah sebatas memproduksi regulasi yang menguntungkan elite politik tertentu?

Berikut wawancara santai Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) Sukardi Rinakit dengan Ahmad Khoirul Umam dari Jawa Pos.



Relevankah tuntutan penguatan sistem presidensial dengan merasionalkan jumlah partai dan fraksi di Senayan?

Langkah itu bergantung pada filosofi dasar konstitusi kita. Filosofi dasar UUD 1945 sebelum amandemen menggunakan asas kekeluargaan dan gotong royong. Dengan begitu, dalam sistem kepartaian, boleh diatur mekanisme threshold, sistem deposit, pendirian badan usaha partai, larangan calon independen, dan partai lokal. Tapi, produk amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali itu mengarahkan kita menjadi liberal dan mengikuti mekanisme pasar. Semua itu memiliki implikasi politik yang besar. Logikanya, jika asasnya liberal, sistem politik seharusnya mengikuti pola Amerika. Yakni, semua bebas, tidak perlu ada threshold, sistem deposit, dan lainnya.


Lalu, seperti apa corak konstitusi kita sebenarnya?

Corak negara ini acak-acakan dan tidak karuan. Sistem konstitusi kita yang baru menghendaki individualisme-kapitalisme, tapi masih ingin mengatur banyak hal. Cara berpikir negara ini tidak lateral. Dalam sistem politik liberal, yang diperbolehkan hanya pemimpin atau figur yang memiliki otoritas moral untuk menyerukan koalisi antarpartai secara sistemik. Itu pernah dilakukan Thomas Jafferson yang menyerukan bahwa Amerika hanya memerlukan dua partai. Muncullah dua kutub besar yang mewadahi beragam partai yang satu platform, yakni konservatif dan demokrat. Dua kutub itu menjadi wadah afiliasi 27 partai yang saat ini ada di sana.


Lalu, apa yang diperlukan untuk memperbaiki sistem kepartaian nasional?

Terpenting, ada mekanisme dialog yang dilakukan partai besar untuk menggandeng partai kecil menjadi koalisi. Caranya, partai besar harus membuat platform yang jelas sebagai magnet politik. Siapa yang setuju ide konservatif? Siapa yang secara ekonomi setuju menggunakan sistem kapitalisme-liberal? Jika Partai Golkar, misalnya, mengarah ke corak itu, Golkar bisa merayu partai-partai kecil untuk bergabung. Demikian pula, jika PDIP lebih sepakat menggunakan sistem pasar sosial terbuka atau sistem pasar sosial-demokrat (terminologi Jerman, Red), ia bisa menggandeng partai lain yang searah. Mungkin ada pula partai yang lebih sepakat mengangkat model islami. Karena prinsip dasar demokrasi adalah proporsional, tidak dibenarkan jika muncul aturan yang membatasi pendirian partai.


Dalam ruang teknis, apa persoalan paling mendasar dalam sistem Pemilu 2004?

Selain soal sistem daftar calon setengah terbuka, yang menjadi persoalan utama Pemilu 2004 adalah besarnya daerah pemilihan yang belum merata. Wilayah yang penduduknya banyak, dapil (daerah pemilihan)-nya juga banyak. Demikian pula sebaliknya. Akibatnya, terjadi ketidakadilan distribusi kursi. Sejumlah partai dirugikan. Misalnya, PDIP di Papua Barat yang seharusnya menang, tapi suaranya akhirnya masuk ke PDS. Lalu soal magnitude dapil, terutama tentang ketidakseimbangan daerah pemilihan antara Jawa dan luar Jawa. Yang dirugikan dalam soal ini adalah PKB. Sebagai juara tiga Pemilu 2004 dengan perolehan suara 11,9 juta, PKB hanya mendapatkan 52 kursi di parlemen. Itu disebabkan konstituennya terkonsentrasi di Jawa, sedangkan harga kursi Jawa relatif tinggi. Yakni, mencapai 425 ribu per kursi, sementara harga kursi luar Jawa hanya 325 ribu atau bahkan kurang.


Jika benar konstitusi kita menggunakan asas demokrasi kekeluargaan, perlu membatasi partai dengan threshold?

Pada dasarnya, penguatan sistem presidensial itu perlu. Tapi, tidak perlu dengan menyederhanakan partai melalui peningkatan angka threshold, penerapan sistem deposit, dan lainnya. Desakan partai besar untuk meningkatkan threshold itu bukan manifestasi keserakahan. Tetapi, hanya kekhawatiran akan tercurinya suara mereka oleh partai-partai baru.


Sampai sedemikian mengkhawatirkankah kehadiran partai baru itu bagi partai besar?

Benar, magnitude politik kita adalah angka. Kita sering menilai persoalan itu berdasar angka. Jadi, perasaan kebanggaan semu karena angka-angka itu begitu menelusup dalam alam bawah sadar kita ketika berpolitik dan berdemokrasi. Buktinya, demonstrasi, kalau tidak diikuti 10 ribu orang, dinilai tidak berarti. Padahal, 50 orang saja, kalau esensinya berisi, itu lebih penting. Magnitude angka tersebut dominan. Akibatnya, angka statistik lebih menjadi ukuran utama ketimbang esensi dan kualitas.

Misalnya, saat Presiden SBY tidak datang ke interpelasi, muncul suara bahwa itu dilakukan karena merasa sudah didukung 63 persen rakyat. Jadi, ada semacam paham keangkuhan dalam ranah kekuasaan yang didasarkan pada angka-angka semu itu. Intinya, partai-partai besar takut suaranya tergerogoti, baik terjadi dalam skala besar maupun kecil. Untuk menghadapi itu, partai kecil harus berkoalisi. Sebab, ini adalah permainan politik parlemen.


Bergeser ke soal pilpres. Dengan meningkatkan threshold dalam pilpres hingga 30 persen, sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa bisa kian membaik?

Untuk Pilpres 2009, threshold 15 persen itu masih layak dipertahankan. Tiga sampai empat pasangan tersebut sudah ideal. Yang perlu diperbaiki adalah memperjelas identitas platform para pasangan capres dan partai yang mengusulkan. Secara general, platform itu hendaknya memanifestasikan tujuan proklamasi yang kemudian diformulasi secara rinci dalam format teknis kebijakan. Misalnya, tujuan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Oleh PDIP, misalnya, tujuan itu dijabarkan ke dalam komitmen memperkuat persenjataan militer. Lalu, tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat diwujudkan dalam rencana kebijakan penggunaan 60 persen pajak untuk pendidikan atau pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Partai Golkar, misalnya, bisa berkomitmen 70 persen pajak akan diarahkan untuk kesehatan rakyat dan pembukaan investasi. Lalu PKS, 60 persen pajak untuk membangun masjid, misalnya. Semua itu harus dijabarkan. Contoh lagi untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, Golkar, misalnya, berani menargetkan alokasi 20 persen dana pendidikan setelah dua tahun memerintah dan lainnya. Jadi, mekanisme kontrol masyarakat kian jelas dan ideologi partai juga semakin terbuka.


Jika dianalisis dan dikalkulasi, siapa figur capres alternatif 2009?

Kalau calon empat orang, yakni SBY, Wiranto, Megawati, dan Sultan Jogjakarta, yang menang Sultan. Sebab, figur selain Sultan itu sudah memiliki catatan nasional bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak hebat. Sultan yang belum punya catatan nasional akan mudah sekali dimanuverkan untuk memperoleh tingkat akseptabilitas tinggi. Apalagi 61 persen pemilih dari Jawa. Hasil polling 2003, saat itu Sultan nomor satu, Nurcholis Madjid nomor dua, SBY di posisi ketiga, dan Megawati di posisi keempat. Akhirnya, terbukti bahwa SBY menang setelah Sultan dan Cak Nur tak maju. Jika di 2009 Sultan bersedia, dia memiliki tingkat probabilitas kemenangan yang tinggi. Dalam survei terakhir, di Jakarta saja Sultan masih berada di nomor satu. Ruang manuver itu kian besar kalau diperkuat luar Jawa. Tapi, kalau tidak ada partai yang mendukung Sultan, Wiranto yang menang.


Kenapa demikian?

Kepemimpinan nasional ke depan akan ditentukan karakter pemilih yang bersifat melodramatik. Artinya, perilaku pemilih itu sangat dipengaruhi penilaian yang tidak dalam, mengharu biru, dan gampang berubah. Semua itu disebabkan oleh rendahnya pendidikan rakyat. Sebanyak 60 persen pemilih adalah lulusan SD ke bawah. Jika standar dinaikkan menjadi SMP, angka tersebut menyentuh 80 persen. Jadi, para sarjana tidak menggunakan hak pilihnya juga tidak apa-apa karena jumlah mereka hanya 4 persen. Bukti dari karakter melodramatik tersebut ditunjukkan pengalaman, saat Presiden Megawati selalu saja diam, rakyat akan mencari figur yang banyak bicara. Terpilihlah SBY. Lalu kini SBY terbukti tidak tegas, kesadaran pemilih akan sangat rasional untuk bergeser ke figur yang tegas. Di sini, figur seperti Sultan dianggap manifestasi ketegasan dengan legitimasi sabdo pandito ratu. Jika ketegasan itu menjadi kata kunci bagi prospek kepemimpinan ke depan, Sultan dan Wiranto akan berpeluang. (aku)<>

No comments:

A r s i p