Tuesday, August 14, 2007

Merawat Reputasi Bangsa

William Chang / Kompas

Sebelum ber-Jambore Pramuka Dunia XXI di Hylands Park, Essex, Inggris, 27 Juli-8 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono meminta kepada 350 anggota pramuka peserta agar menjaga kehormatan jati diri bangsa kita di mata dunia.

Proses rehab reputasi bangsa dari aib-aib sosial digalakkan sejak tragedi peradaban akhir abad lalu (1990-an). Mantan Menlu Ali Alatas dan Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, misalnya, pertengahan Desember 2004 meluncurkan situs pengangkat harkat dan martabat bangsa. Sejumlah forum mendukung promosi tentang Indonesia yang aman, ramah, dan damai.

Dinamika reputasi hidup berbangsa selama 62 tahun jatuh-bangun. Baru-baru ini prestasi ekonomi dipuji mantan PM Singapura Lee Kuan Yew. Keunggulan Presiden memelihara kesatuan dan harmoni negara dikagumi PM Korsel Roh Moo-hyun. Badawi menghargai kemajuan demokrasi di Tanah Air. Para pemimpin Asia optimistis, Indonesia akan berperan penting di dunia.

Sementara proses rehab berjalan, negara dilanda kerusuhan sosial (1997), peledakan bom (2002), kelaparan, keterpurukan transportasi (2007), korupsi merajalela, dan penegakan hukum amat lemah. Keadaan sosial, politik, dan ekonomi bangsa analog dengan chaos lalu lintas negara kita yang ada di bawah Vietnam.

Mencari jati diri bangsa

Sejarah mencatat, setiap bangsa mewarisi cita, cerita, dan citra yang unik. Berbeda dengan riwayat dan nasib" Malaysia, Singapura, dan Brunai, kemerdekaan Indonesia tak pernah serius disiapkan Belanda dan Jepang. Sebagai arsitektur bangsa, Bung Karno dan kawan-kawan mengajak wakil dari berbagai daerah untuk mendirikan negara berasas Pancasila dan UUD 1945.

Pencarian identitas bangsa dilakukan dalam falsafah hidup yang menjunjung nilai-nilai dasar (basic values) sebagai anti-(neo-) kolonialisme. Jati diri bangsa tercermin dalam mentalitas, bobot kemanusiaan, kerohanian, keadilan, sosial, politik, dan budaya. Internalisasi dan ekspresi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kekhasan bangsa. Bagaimanakah semangat saling menghargai perbedaan (dalam sidang BPUPKI dan PPKI) bisa diteruskan di masyarakat majemuk tanpa merugikan pihak mana pun?

Kemanusiaan sebagai jantung bangsa akan mengkritisi kecenderungan kaum utilitarian pragmatis yang berjuang untuk mengegolkan konsep-konsep yuridis dalam tim drafter (pemerintah). Nilai kemanusiaan kerap berhadapan dengan mentalitas priayi birokrat (feodal) di lapangan. Hingga kini kepastian dan jaminan hukum di negara kita sering dikeluhkan dan diragukan pencari keadilan. Aneka bentuk "sirkus" hukum sudah harus ditinggalkan (N Simanjuntak).

Perbaiki reputasi bangsa

Spiritualitas awal para arsitektur negara kita menjadi titik tolak perbaikan reputasi bangsa. Irama persaudaraan dalam sidang BPUPKI dan PPKI mencerminkan jiwa toleran dan saling pengertian di kalangan anggota yang berbeda budaya, etnis, dan agama. Kini semangat persaudaraan itu terasa kian luntur dan sikap saling curiga kian menonjol.

Proses perbaikan reputasi bangsa setidaknya menempuh tiga langkah.

Pertama, membarui Weltanschauung, sikap dasar dan perilaku anak bangsa yang terkait nilai-nilai civilization. Paradigma perilaku berorientasi pada mentalitas kesetiakawanan dalam menghadapi aneka ideologi sektarian yang memecah persaudaraan.

Kedua, perbaikan reputasi bangsa dimulai dengan mewujudkan habitus kedisiplinan nasional terutama dalam law enforcement yang adil kepada semua lapisan masyarakat. Sistem kontrol yang serius merupakan kunci penting penegakan nilai-nilai dasar kehidupan bangsa.

Ketiga, membekali generasi muda dengan character building yang lebih sesuai cita-cita dasar negara. Agenda penggemblengan watak bangsa belum terlaksana secara konsisten dan menyeluruh. Ini termasuk pekerjaan rumah dan tanggung jawab bersama. Tanpa pembentukan watak, jati diri bangsa akan luntur dan kehilangan orientasi. Suntikan dana yang biasanya diselewengkan untuk proyek fiktif sebaiknya dialokasikan untuk proses perbaikan mentalitas bangsa.

Tiada gading yang tak retak; tak satu pun negara di dunia ini yang perfek. De facto, telah muncul sejumlah negara yang sukses dalam mengatur sistem pemerintahan yang menjamin kepastian hukum dalam penerapan hak-hak terasasi manusia—hidup, kesehatan, keamanan, pendidikan, religius dan kesejahteraan— tiap warga negara. Segala bentuk premanisme tunduk pada ketentuan hukum. Biasanya, sistem pemerintahan negara sukses itu relatif baik, bersih, transparan, dan terkontrol. Kapan dan bagaimanakah kita dapat menyaksikan "Indonesia (yang sungguh) Raya" yang menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat? Atau "Indonesia Raya" hanya lirik lagu nasional yang sulit diwujudkan?

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

No comments:

A r s i p